NovelToon NovelToon
Civil War: Bali

Civil War: Bali

Status: tamat
Genre:Action / Sci-Fi / Tamat / Spiritual / Kehidupan Tentara / Perperangan / Persahabatan
Popularitas:588
Nilai: 5
Nama Author: indrakoi

Di masa depan, dunia telah hancur akibat ledakan bom nuklir yang menyebabkan musim dingin global. Gelombang radiasi elektromagnetik yang dahsyat melumpuhkan seluruh teknologi modern, membuat manusia kembali ke zaman kegelapan.

Akibat kekacauan ini, Pulau Bali yang dulunya damai menjadi terjerumus dalam perang saudara. Dalam kehidupan tanpa hukum ini, Indra memimpin kelompok Monasphatika untuk bertahan hidup bersama di tanah kelahiran mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 20

Di tengah lahan pertanian kentang, kerumunan budak dan prajurit milik Ashura berkumpul untuk menonton pertarungan yang akan segera dimulai. Suasana tegang menggantung di udara, dipenuhi dengan desas-desus dan bisikan penuh antisipasi.

Pertarungan ini bukan hanya sekadar adu kekuatan saja, melainkan pertarungan hidup dan mati. Di satu sisi, berdiri seorang prajurit Karangasem bertubuh gemuk dengan wajah yang memerah dilalap amarah. Di sisi lain, Indra, pemimpin kelompok Monasphatika, tampak tenang dengan senyuman yang menantang.

Tujuan Indra pada pertarungan ini adalah untuk menarik simpati para budak dan membangkitkan keberanian yang tenggelam di dasar hati mereka. Keberanian itu nantinya akan dimanfaatkan untuk memicu pemberontakan yang bisa melemahkan kekuatan tempur Karangasem dari dalam.

Kedua petarung itu saling menatap dengan mata setajam pedang yang siap mencabik. Wajah prajurit gemuk itu semakin memerah dan napasnya semakin berat. Sementara itu, Indra tetap dingin seolah pertarungan ini hanyalah permainan belaka.

Di sekeliling mereka, bisikan-bisikan penonton memecah kesunyian. “Tidak diragukan lagi, si gemuk itu pasti menang.” Bisik seorang prajurit dengan nada penuh keyakinan.

“Benar.” Sahut seorang prajurit lainnya dengan suara penuh keraguan. “Anak itu sepertinya ingin mengakhiri hidupnya dengan cara yang epik.”

“Walaupun berhasil menang, dia tetap saja akan dieksekusi mati.” Tambah prajurit lain dengan nada mengejek.

Suara riuh yang rendah itu tak menggoyahkan fokus kedua petarung. Mereka tetap saling mengintai, seolah mencari celah kelemahan masing-masing.

Tiba-tiba, prajurit gemuk itu melesat seperti pegas yang dilepaskan. Tubuhnya yang besar bergerak menyerang Indra dengan cepat bagai sebuah bola meriam. Namun, Indra mampu menghindarinya dengan gerakan yang lincah. Tubuhnya berputar seperti angin, lalu tendangannya mendarat tepat di wajah lawannya.

Darah kemudian mengucur dari hidung prajurit gemuk itu, tapi amarahnya justru semakin membara. Ia mengayunkan tangannya seperti baling-baling, lalu mengejar Indra yang terus menghindar sambil mencari kesempatan untuk melakukan serangan balasan.

Setelah beberapa saat, Indra menyadari sebuah celah pada musuhnya. Kaki prajurit gemuk itu terbuka lebar dan tak terlindungi sama sekali. Dengan sigap, ia melompat ke bawah, lalu memeluk kaki prajurit itu hingga membuatnya jatuh ke tanah. Ketika Indra hendak berdiri, sebuah tendangan keras menghantam dadanya hingga membuatnya terhempas ke udara.

“Ugh!” Indra mengerang dengan darah terciprat dari mulutnya.

Ia terbanting ke tanah dengan tubuh yang terasa remuk. Dari kejauhan, ia melihat prajurit gemuk itu berlari mendekat dan siap untuk memberikan tendangan telaknya. Indra berusaha melindungi kepalanya dengan tangan, tapi tendangan itu terlalu keras hingga membuatnya terpental jauh ke belakang.

Setelah terbanting berkali-kali di tanah yang basah, ia mencoba untuk bangun dan menghadapi monster itu lagi. “Agh… Sialan!” Indra merintih dengan tubuh yang gemetaran.

Indra terus mencoba untuk bangkit, tapi tubuhnya tak lagi mau menuruti perintah. Dari kejauhan, ia melihat prajurit gemuk itu mendekat dengan wajah yang kaya akan kebencian.

“Kau mati seka— Ugh!” Tiba-tiba, Aryandra melesat dari kerumunan seperti kilat yang menyambar. Ia melompat tinggi, lalu menendang wajah prajurit gemuk itu berkali-kali selagi masih melayang di udara. Empat tendangan yang cepat, akurat, dan mematikan berhasil membuatnya merintih di tengah-tengah kalimatnya.

“Lawanmu adalah aku sekarang.” Ucap Aryandra dengan suara yang berat setelah berhasil mendarat ke tanah. Para budak serta prajurit lain yang menonton terlihat terkesan dengan kedatangan Aryandra yang epik.

“Kau…” Prajurit gemuk itu mengerang dengan mata yang melotot penuh amarah. “WOARGHH!” ia lalu berteriak dan mengamuk sambil mengayunkan tangannya ke arah Aryandra dengan membabi buta.

Tapi, Aryandra terlalu cepat. Ia dapat menghindari setiap pukulan itu dengan gesit, lalu menendang lutut lawannya hingga terdengar suara patahan tulang. Prajurit itu hampir terjatuh, tapi amarah dan tekadnya berhasil membuatnya bertahan.

Aryandra kemudian memutar badannya dengan cepat, lalu melancarkan sebuah tendangan ke arah wajah lawan. Akan tetapi, serangan itu tidak mampu untuk menjatuhkannya sama sekali. Malahan, prajurit gemuk itu terlihat menjadi semakin liar. Tangannya yang besar kemudian menghantam pundak Aryandra hingga membuatnya terkapar ke tanah.

“Argh!” Aryandra mengerang sambil menahan rasa sakit yang menusuk pundaknya.

Prajurit gemuk itu mengangkat tangannya sekali lagi untuk memberikan sebuah pukulan yang dapat menewaskan lawannya seketika. Mata Aryandra terbelalak ketika menyadari bahwa hidupnya sebentar lagi akan berakhir hanya dalam satu pukulan.

Namun sebelum itu terjadi, Indra tiba-tiba muncul dari belakang dengan membawa batu di tangannya. Ia menghantamkan bongkahan itu ke bagian belakang kepala sang prajurit gemuk, hingga darahnya menyembur kemana-mana. Prajurit gemuk itu seketika terjatuh tak sadarkan diri.

Walaupun pertarungan telah dimenangkan olehnya, Indra tak berhenti sampai disitu saja. Amarahnya yang meledak-ledak membuatnya terus menghantamkan batu tersebut ke kepala lawannya. Tawa jahat yang menggelegar keluar dari mulutnya, dilengkapi dengan tatapan mata yang terbutakan oleh api kebencian.

Prajurit Karangasem lain yang menyaksikan adegan itu seketika gemetaran. Mereka terlihat marah, tapi di saat yang bersamaan, tidak ada yang berani maju sama sekali. Saat ini, Indra terlihat seperti iblis neraka yang sedang lepas kendali.

Melihat situasi semakin kacau, Kiara melompat ke depan untuk melayangkan pukulan keras ke wajah Indra hingga membuatnya tak sadarkan diri. Luthfi, yang menyamar sebagai prajurit Karangasem, kemudian menendang Aryandra sebagai bagian dari perannya.

“Kami akan ambil alih di sini. Semuanya bubar dan kembali bekerja!” Teriak Luthfi penuh wibawa.

Kerumunan pun perlahan bubar, meninggalkan lahan pertanian yang kini dipenuhi darah dan sisa-sia pertarungan. Luthfi lalu mengamankan kedua rekannya, sementara Kiara mengangkut mayat prajurit Karangasem berbadan gemuk itu.

...***...

Malam hari telah tiba, menyelimuti gedung penampungan budak dengan kegelapan yang pekat. Keempat penyusup itu kembali ke atas gedung yang menjadi tempat persembunyian sementara mereka. Indra dan Aryandra terlihat berbaring dengan luka-luka sisa pertarungan tadi siang. Sementara itu, Luthfi dan Kiara sibuk merawat mereka berdua dengan obat dan peralatan seadanya.

“Maaf aku memukulmu terlalu keras tadi, Ndra.” Ucap Kiara sambil mengoleskan salep dingin pada memar di wajah Indra. Suaranya terdengar lembut dan terdapat rasa bersalah di baliknya.

Indra mengerang pelan, lalu tersenyum kecil. “Ah, nggak masalah. Maaf juga aku lepas kendali tadi, hahaha.”

Kiara mengangguk dengan mata yang terfokus pada luka-luka di wajah Indra dengan perhatian penuh. Di sebelahnya, Luthfi juga terlihat sedang membalut bahu Aryandra yang cedera. Suasana terasa berat, tapi juga penuh keakraban. Dalam situasi seperti ini, mereka saling menjaga satu sama lain sebagai sebuah tim yang solid.

“Aku punya ide.” Ujar Luthfi tiba-tiba, memecah kesunyian. “Gimana kalau kita berempat pura-pura bertarung aja biar nggak ada perkara kayak gini lagi?” Usulnya kepada rekan-rekannya.

Indra mengerutkan kening, lalu menggeleng pelan. “Nggak bisa, Fi. Mereka pasti bakal sadar kalau kita cuma pura-pura bertarung aja.”

Luthfi menghela napas, mengakui kebenaran dalam kata-kata Indra. Suasana pun kembali sunyi, hanya diisi oleh desiran angin malam yang menerpa atap gedung. Saking heningnya, mereka sampai bisa mendengar suara para budak di dalam gedung dengan jelas. Para budak itu kedengarannya sedang membicarakan keberanian Indra dan Aryandra pada pertarungan tadi.

Indra menyimak bisikan-bisikan itu dengan seksama. Sebuah senyum tipis mengembang di bibirnya, menyadari bahwa usahanya sedikit lagi akan membuahkan hasil.

“Tinggal sedikit lagi, ya…” Gumam Indra pelan.

Luthfi yang mendengar gumaman itu menoleh. “Hmm? Apanya yang tinggal sedikit lagi?” Tanyanya penasaran.

Indra menatap Luthfi dengan mata berbinar penuh semangat. “Kemenangan kita, tentu saja.”

Luthfi tersenyum, lalu mengangguk pelan. Meski perjalanan masih panjang, mereka semua tahu bahwa kemenangan sudah ada di depan mata. Pada malam yang dingin ini, di atas gedung penampungan budak yang sunyi, mereka merasakan getaran pertama dari kemenangan itu.

...***...

Keesokan harinya, saat jam istirahat makan siang tiba, Indra dan Aryandra memutuskan untuk menghampiri enam orang budak yang sedang duduk di pinggir sungai. Lokasi ini sengaja dipilih karena tempatnya yang sepi dan jauh dari pengawasan para prajurit, sehingga mereka bisa ngobrol dengan leluasa.

Tatapan keenam budak itu langsung tertuju pada Indra dan Aryandra yang sedang mendekat. Mata mereka membelalak karena tidak percaya bahwa mereka berdua masih hidup. Detak jantung mereka terasa berat penuh kengerian dan juga kekaguman.

“B-bagaimana kalian masih hidup?” Tanya salah satu budak penuh rasa ketidakpercayaan.

“B-bukannya kalian diringkus oleh dua orang prajurit itu setelah pertarungan kemarin?” Tambah budak lainnya dengan wajah penuh kekaguman.

Indra tidak langsung menjawab. Ia berjongkok perlahan di dekat mereka, seolah mencoba mengakrabkan diri dengan keenam budak itu. Kemudian, ia menjawab dengan suara yang tenang namun penuh keyakinan. “Kami membunuh kedua prajurit itu kemarin. Itulah sebabnya kami masih hidup sampai sekarang.”

Suasana seketika berubah. Keenam budak itu saling memandang satu sama lain dengan perasaan yang bercampur dalam tatapan mereka. Salah satu dari mereka kemudian berniat untuk bertanya lebih lanjut, tapi Indra langsung memotongnya.

“Tidak ada pertanyaan lagi.” Ucap Indra tegas. “Ada sesuatu yang lebih penting yang harus kusampaikan.”

Ia mengambil jeda sejenak, memastikan setiap mata tertuju padanya. “Malam ini, kami akan membunuh para prajurit di dalam gedung penampungan. Akan tetapi, jelas mustahil jika kami melakukannya berdua saja. Maka dari itu, kami membutuhkan bantuan kalian.”

Keenam budak itu langsung membelalak dengan tatapan yang menunjukkan rasa takut. “J-jangan bercanda! Mana mungkin kami mau!” Protes salah satu budak itu.

“Benar! Dulu sudah ada orang yang mencoba memberontak, tapi dia malah berakhir dibunuh oleh Ashura. Tidak ada kesempatan bagi kita untuk menang, kawan!” Sahut budak lainnya dengan wajah yang muram.

Indra tidak gentar. Ia langsung membantah dengan suara penuh tekad yang menggelegar. “Omong kosong! Kita punya kesempatan untuk menang jika kita bersatu. Sampai kapan kalian mau menjadi budak dan dipaksa untuk bekerja setiap hari dengan ancaman kematian yang mengintai di belakang kepala kalian?”

Ucapannya terasa seperti tamparan keras. Keenam budak itu termenung, seolah baru tersadar dari mimpi buruk yang telah mereka jalani selama ini.

Indra lalu melanjutkan dengan suara yang lebih rendah dan bersahabat. “Ashura saat ini sedang melemah. Pasukannya yang berada di Amlapura telah berkurang drastis karena sebagian besarnya dikerahkan untuk berperang melawan Aliansi di selatan. Ini adalah kesempatan yang pas bagi kita untuk memberontak!”

Mata keenam budak itu berbinar, seolah mendapatkan secercah harapan baru. Indra tersenyum tipis karena mengetahui hasutannya sudah mulai merasuk ke pikiran mereka.

“Setelah kalian selesai beristirahat,” lanjut Indra sambil berdiri, “sampaikan semua yang kalian dengar hari ini kepada para budak lainnya. Malam ini, kita harus bersatu untuk memberontak dan mengakhiri kekejaman Ashura!”

Keenam budak itu kemudian mengangguk dengan wajah serius. Tatapan mereka yang awalnya dibutakan oleh rasa takut, kini menjadi penuh dengan tekad dan amarah yang membara. Indra melihatnya dengan perasaan puas, mengetahui bahwa malam ini akan terjadi pembantaian besar-besaran.

...***...

Ketika malam tiba, semua budak dikumpulkan di dalam gedung penampungan yang pengap dan remang-remang. Begitu pintu gedung ditutup dengan cara yang kasar, para prajurit Karangasem langsung memerintahkan mereka untuk tidur. Namun, tak satupun dari budak-budak itu yang bergerak. Mereka tetap duduk dengan mata yang menatap tajam ke arah para prajurit.

“Oi, cepat tidur, kalian budak-budak sialan!” Bentak salah satu prajurit dengan suara yang menggema.

Tiba-tiba, Indra yang berada di tengah kerumunan, bangkit dari tempat duduknya. Matanya yang tajam mengamati para budak yang ada di sekelilingnya. Ia melihat mereka mengangguk ke arahnya, seolah-olah sudah siap untuk menerima perintah.

Salah satu prajurit yang melihat Indra berdiri langsung menghampiri dengan parang yang terhunus. “Oi, apa yang kau lakukan di sana, hah? Cepat berbaring dan tidur!” Teriaknya penuh ancaman.

“Hei, kau orang yang melawan si gemuk itu kemarin, kan? Aku kira kau sudah mati.” Sergah prajurit lain dengan nada penuh ejekan.

Indra tetap tenang tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Matanya menatap tajam ke arah pintu gedung, seolah sedang menantikan sesuatu yang akan segera terjadi.

Tiba-tiba, suara teriakan, erangan, dan juga pukulan terdengar dari arah luar gedung. Suara itu semakin keras, seolah-olah pertarungan sengit sedang terjadi di sana. Prajurit yang berdiri di dekat pintu berniat untuk memeriksa apa yang terjadi. Akan tetapi, pintunya sudah terkunci rapat dari luar.

“Prajurit yang berjaga di luar sedang diserang?” Gumamnya dengan suara gemetar. "O-Oi! Katakan apa yang terjadi di sana?! Siapa yang menyerang kalian?!" Teriaknya penuh tanya dan kekhawatiran

Lima puluh prajurit yang ada di dalam ruangan kemudian saling memandang dengan tatapan yang penuh kebingungan dan juga ketakutan. Suasana yang tadinya tenang, kini berubah menjadi mencekam bagi mereka.

Indra lalu tersenyum dingin karena semuanya berjalan sesuai rencana. Para budak di sekelilingnya terlihat sedang menunggu perintah dengan tidak sabaran. Mereka sepertinya sudah tidak tahan untuk membalas segala penderitaan yang telah dialami.

Aryandra kemudian berjalan mendekati Indra untuk membisikkan sesuatu. “Indra, aku rasa mereka semua sudah siap.”

Indra mengangguk perlahan, lalu berseru dengan suara yang menggelegar. “Baiklah, semuanya!” Ucapnya dengan dagu yang mendongak seolah menunjukkan dominasinya.

Seluruh budak yang berada di ruangan itu berdiri serentak, seperti gelombang yang siap menerjang. Suara langkah mereka menggema, menciptakan irama yang menegangkan. Para prajurit itu mundur perlahan dengan ketakutan yang terpancar jelas di wajah mereka. Situasi telah berbalik, dimana mereka yang tadinya berkuasa, kini sedang berada di ujung tanduk.

Indra tersenyum lebar dengan penuh aura kejahatan yang terpancar. Ia kemudian mengucapkan kalimat yang akan memulai revolusi para budak di Amlapura.

“Selamat bersenang-senang!”

1
jonda wanda
Mungkin cara bicara karakter bisa diperbaiki agar lebih natural.
IndraKoi: baik, makasih banyak ya masukannya🙏
total 1 replies
Abdul Aziez
mantap bang
IndraKoi: makasih bang🙏🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!