(Warisan Mutiara Hitam Season 2)
Setelah mengguncang Sekte Pedang Awan dan memenggal Jian Chen, Chen Kai mendapati bahwa kemenangannya hanyalah awal dari mimpi buruk baru. Sebuah surat berdarah mengungkap kebenaran yang meruntuhkan identitasnya: ia bukan anak Klan Chen, melainkan putra dari buronan legendaris berjuluk "Sang Pengkhianat Naga".
Kini, Klan Jian dari Ibu Kota memburunya bukan demi dendam semata, melainkan demi "Darah Naga" di nadinya—kunci hidup untuk membuka segel terlarang di Utara.
Demi melindungi adiknya dan mencari jati diri, Chen Kai menanggalkan gelar Juara dan mengasingkan diri ke Perbatasan Utara yang buas. Di tanah tanpa hukum yang dikuasai Reruntuhan Kuno, Sekte Iblis, dan Binatang Purba ini, Chen Kai harus bertahan hidup sebagai pemburu bayangan. Di tengah badai salju abadi, ia harus mengungkap misteri ayahnya sebelum darahnya ditumpahkan untuk membangkitkan malapetaka kuno.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amarah Tulang Purba
Bumi tidak hanya berguncang; bumi sedang marah.
Lembah Tulang Naga, yang selama ribuan tahun menjadi kuburan sunyi bagi naga-naga purba, kini berubah menjadi lautan kekacauan. Rusuk-rusuk raksasa yang mencuat dari tanah—yang sebelumnya tampak seperti pilar batu mati—mulai berderak dan melengkung, seolah-olah dada raksasa yang terkubur di bawah tanah sedang mencoba menarik napas pertamanya setelah kematian.
GRAAAAAAAARRRR!!!
Raungan itu bukan suara; itu adalah gelombang kejut fisik.
Suara itu meledak dari tenggorokan tengkorak naga tempat altar tadi berdiri. Gelombang suara itu menyapu seluruh lembah, menghancurkan tenda-tenda Klan Jian dan Sekte Darah menjadi serpihan kain dan debu.
Ratusan murid yang tidak siap langsung meledak; organ dalam mereka hancur oleh getaran sonik murni itu. Bahkan para elit Tingkat Sembilan pun jatuh berlutut, darah mengalir dari telinga dan mata mereka.
"Lindungi telingamu!" teriak Chen Kai.
Dia menyeret Manajer Sun ke balik pecahan gigi naga raksasa yang jatuh, mencoba berlindung dari badai suara itu.
Di atas reruntuhan altar, Patriark Sekte Darah—pria tua kurus berjubah merah—tidak melarikan diri. Sebaliknya, dia berdiri di pinggir kawah bekas kolam darah, merentangkan tangannya lebar-lebar, wajahnya dipenuhi ekstasi gila.
"Bangkitlah! Bangkitlah, Leluhur Agung!" teriaknya histeris, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh. "Saya telah memberi Anda darah! Saya telah membebaskan Anda! Sekarang, berikan saya kekuatan keabadian!"
Dia melemparkan token giok darah ke arah tengkorak raksasa itu, mencoba mengikat kontrak jiwa dengan makhluk yang sedang bangkit.
Tengkorak naga itu mendongak perlahan. Dua titik api hijau hantu menyala di dalam rongga matanya yang kosong, sebesar rumah.
Naga itu melihat ke arah Patriark.
"Bagus..." bisik Patriark, air mata darah mengalir di wajahnya. "Akui saya sebagai tuan—"
HAP!
Tengkorak naga itu bergerak dengan kecepatan yang mustahil untuk ukurannya. Rahangnya yang hancur terbuka dan menutup dalam sekejap.
Patriark Sekte Darah—seorang ahli Pembangunan Fondasi—bahkan tidak sempat berteriak. Dia, beserta tanah tempat dia berdiri, ditelan bulat-bulat oleh rahang tulang itu.
KRAK KRAK KRAK.
Suara tulang yang digiling terdengar mengerikan.
"Dia... dia memakannya..." Manajer Sun gemetar hebat, wajahnya seputih kertas. "Itu bukan leluhur mereka... itu monster."
"Itu Naga Mayat," kata Kaisar Yao di benak Chen Kai, suaranya berat. "Darah kotor yang mereka gunakan telah mencemari sisa keinginan naga ini. Dia tidak bangkit sebagai naga suci. Dia bangkit sebagai iblis yang lapar akan segala sesuatu yang hidup."
Di kejauhan, Jian Lie—Komandan Klan Jian yang sombong—menyaksikan sekutunya dimakan hidup-hidup. Wajahnya pucat pasi. Arogansinya hancur berkeping-keping.
"Mundur! SEMUA MUNDUR!" teriak Jian Lie, suaranya pecah karena panik.
Dia tidak peduli lagi pada Chen Kai. Dia tidak peduli pada Kunci Giok Putih. Dia melompat ke udara, memanggil pedang terbangnya, dan mencoba melarikan diri dari lembah itu secepat kilat.
Tapi Naga Mayat itu melihat gerakan itu.
Ekor tulang raksasa, yang terkubur di ujung lembah, tiba-tiba meledak keluar dari tanah seperti cambuk raksasa.
WHIIIP!
Ekor itu menghantam udara, menciptakan ledakan sonik.
Jian Lie, yang sedang terbang di ketinggian lima puluh meter, terkena hempasan angin dari ekor itu.
"ARGH!"
Dia terlempar seperti lalat yang ditepis, menabrak dinding tebing lembah dengan keras. Dia muntah darah, tulang rusuknya patah, tapi dia berhasil bertahan hidup berkat baju zirah emas tingkat tingginya. Dia jatuh ke tumpukan salju di pinggir lembah, lalu dengan panik merangkak masuk ke dalam celah sempit untuk bersembunyi, auranya redup.
"Pembangunan Fondasi pun tidak berdaya..." batin Chen Kai. "Yao, apa level naga ini?"
"Fisiknya setara dengan Inti Emas," jawab Yao. "Tapi karena jiwanya rusak dan baru bangkit, dia mungkin hanya bisa menggunakan kekuatan kasar. Tetap saja, satu sentuhan darinya berarti kematian bagimu."
Lembah itu kini menjadi penggilingan daging. Murid-murid yang tersisa berlarian panik, diinjak-injak oleh kaki-kaki naga yang mulai menggali keluar dari tanah, atau dihancurkan oleh reruntuhan yang jatuh.
"Xiao Mei!" Chen Kai teringat.
Gadis itu masih bersembunyi di rongga tulang rusuk di sektor barat.
"Kita harus menjemputnya dan keluar dari sini," kata Chen Kai pada Manajer Sun. "Bisakah kau lari?"
"Aku akan merangkak jika perlu," kata Manajer Sun, memaksakan diri berdiri.
Mereka berlari melintasi medan perang yang kacau. Chen Kai menggunakan sisa-sisa tenaga 'Tulang Api'-nya untuk menepis puing-puing yang jatuh.
"Lewat sini!"
Mereka mencapai rongga tulang tempat Xiao Mei bersembunyi. Gadis itu meringkuk di sudut, menutupi telinganya, menangis ketakutan.
"Xiao Mei! Ayo!" Chen Kai menariknya berdiri.
"Tuan Muda... apa itu... suara apa itu..."
"Kiamat," jawab Chen Kai singkat. "Ayo!"
Mereka bertiga keluar dari persembunyian.
Tapi jalan keluar utama—celah tempat Chen Kai masuk tadi—kini tertutup oleh tubuh Naga Mayat yang sedang menggeliat.
"Jalan keluar tertutup!" teriak Manajer Sun putus asa.
"Tidak semua jalan," kata Chen Kai, matanya liar mencari celah.
Dia melihat ke bawah. Ke kawah besar tempat kolam darah tadi berada. Tanah di sana telah runtuh, memperlihatkan sebuah lubang gelap yang mengarah jauh ke bawah tanah.
Itu adalah saluran pembuangan alami, atau mungkin jalur menuju jantung naga yang sebenarnya.
"Ke bawah!" perintah Chen Kai.
"Apa?! Itu menuju ke bawah monster itu!" Xiao Mei menjerit.
"Di atas sini kita pasti mati!" balas Chen Kai. "Di bawah sana ada peluang! Lompat!"
Naga Mayat itu meraung lagi, dan kali ini, ia mulai menyemburkan Api Hantu Hijau dari mulutnya, membakar apa pun yang tersisa di permukaan lembah. Api itu menyapu ke arah mereka.
Tidak ada pilihan.
Chen Kai memeluk Manajer Sun dan Xiao Mei.
"Tahan napas!"
Dia melompat ke dalam lubang gelap di tengah kawah itu, tepat sebelum gelombang api hijau menghanguskan tempat mereka berdiri.
Mereka jatuh ke dalam kegelapan, meninggalkan dunia permukaan yang sedang dihancurkan oleh amarah tulang purba.
[Bawah Tanah Lembah Naga]
Mereka meluncur turun melalui terowongan batu yang licin dan curam selama beberapa detik yang terasa selamanya, sebelum akhirnya terlempar keluar dan mendarat di tumpukan pasir lunak.
BUG!
Chen Kai mengerang, rasa sakit dari efek samping 'Pembakaran Darah' mulai menyerangnya dengan kekuatan penuh sekarang setelah adrenalin mereda. Seluruh tubuhnya terasa seperti ditusuk ribuan jarum.
"Tuan Muda!" Xiao Mei segera bangkit dan memeriksa Chen Kai. "Anda berdarah!"
Chen Kai terbatuk, melambaikan tangan. "Aku... hidup. Kalian?"
Manajer Sun duduk, napasnya tersengal. "Tulang tua ini masih utuh. Terima kasih padamu."
Chen Kai menyalakan api kecil di tangannya untuk menerangi sekitar.
Mereka berada di sebuah gua bawah tanah yang sangat luas. Berbeda dengan gua-gua sebelumnya, dinding gua ini dipenuhi dengan kristal-kristal merah yang berdenyut pelan, seolah-olah bernapas.
Dan di tengah gua itu, terdapat sebuah pintu gerbang batu raksasa.
Gerbang itu tingginya tiga puluh meter, diukir dengan relief naga yang bertarung melawan langit. Di tengah gerbang itu, terdapat sebuah cekungan berbentuk tetesan air... dan sebuah lubang kunci berbentuk persegi panjang.
Mata Manajer Sun melebar.
"Ini..." bisiknya. "Ini dia. Peta itu tidak berbohong."
"Ini adalah pintu masuk ke Makam Naga Sejati," kata Kaisar Yao di benak Chen Kai. "Tempat di mana yang diduga sebagai ayahmu menyegel warisan utamanya."
Chen Kai berdiri tertatih-tatih, berjalan mendekati gerbang itu.
Dia melihat dua kunci yang dibutuhkan.
Satu adalah Darah Naga. Satu lagi adalah Kunci Giok Putih.
"Sepertinya kita tidak tersesat," kata Chen Kai, menatap Manajer Sun. "Kita justru jatuh tepat di depan pintu."
Di atas mereka, suara gemuruh Naga Mayat masih terdengar, tapi teredam oleh lapisan tanah yang tebal. Mereka aman dari monster itu untuk saat ini.
Tapi Chen Kai tahu, Jian Lie masih hidup. Dan begitu monster di atas reda, dia pasti akan mencari jalan ke sini.
"Manajer Sun," kata Chen Kai, mengulurkan tangan. "Kuncinya."
Manajer Sun ragu sejenak, lalu dia memuntahkan sebuah kotak kecil dari mulutnya (menggunakan teknik penyimpanannya). Dia membukanya, memperlihatkan balok giok putih yang bersinar lembut.
"Ini milikmu, Tuan Muda," kata Manajer Sun, menyerahkannya. "Kau yang menyelamatkan nyawaku. Harta ini tidak ada artinya jika aku mati."
Chen Kai mengambil kunci itu.
Dia menempelkan kunci giok itu ke lubang persegi. Lalu dia mengiris telapak tangannya, membiarkan darahnya menetes ke cekungan tetesan air.
DUNG...
Gerbang raksasa itu bergetar. Debu ribuan tahun rontok.
Garis-garis cahaya merah dan putih mulai menyala di permukaan gerbang, menjalar seperti pembuluh darah yang hidup.
"Siap-siap," kata Chen Kai. "Kita akan melihat apa yang tersembunyi di sini."