Zoe Aldenia, seorang siswi berprestasi dan populer dengan sikap dingin dan acuh tak acuh, tiba-tiba terjebak ke dalam sebuah novel romantis yang sedang populer. Dalam novel ini, Zoe menemukan dirinya menjadi peran antagonis dengan nama yang sama, yaitu Zoe Aldenia, seorang putri palsu yang tidak tahu diri dan sering mencelakai protagonis wanita yang lemah lembut, sang putri asli.
Dalam cerita asli, Zoe adalah seorang gadis yang dibesarkan dalam kemewahan oleh keluarga kaya, tetapi ternyata bukan anak kandung mereka. Zoe asli sering melakukan tindakan jahat dan kejam terhadap putri asli, membuat hidupnya menjadi menderita.
Karena tak ingin berakhir tragis, Zoe memilih mengubah alur ceritanya dan mencari orang tua kandungnya.
Yuk simak kisahnya!
Yang gak suka silahkan skip! Dosa ditanggung masing-masing, yang kasih rate buruk 👊👊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menolong
Suasana ruang makan membeku.
Semua suara sebelumnya cemoohan, tuduhan, dan tangisan sedih kini lenyap seketika saat Zoe berdiri dari kursinya, menatap tajam seluruh anggota keluarga yang kini terdiam menatapnya.
Ia mengangkat alis tipisnya dengan sikap tenang tapi tajam, lalu membuka suara dengan nada datar namun menghentak:
“Aku ulang sekali lagi. Kalian sudah selesai bicara?”
Tak ada yang menjawab.
Zoe melanjutkan, tatapannya beralih ke Alicia yang masih memainkan wajah sedih dengan mata berkaca-kaca.
“Apa aku menyakiti Alicia?”
Suara Zoe makin dingin. “Apa aku menumpahkan sup ke Alicia? Apa aku membentaknya? Apa aku mengganggunya?”
Semua mata berpindah pada Alicia.
Gadis itu, meskipun tampak seperti korban, menggeleng pelan dengan bibir bergetar.
Zoe semakin menatap dingin. "Jawab aku, apa aku melakukan semua itu padamu?"
“Gak … gak …” ucapnya lirih.
Zoe menyipitkan mata, memperjelas setiap katanya.
“Lalu kenapa kau menangis? Seolah aku menyakitimu, seolah aku menyirammu sup. Padahal kau sendiri yang ceroboh.”
Alicia tak bisa menjawab. Dia hanya menunduk, dia tak menyangka Zoe akan berkata seperti itu. Biasanya Zoe akan langsung mengamuk dan mendorongnya.
Zoe mengangkat tangan kirinya yang masih terlihat merah dan sedikit melepuh karena sup panas.
“Yang seharusnya marah itu gue.” Ia tunjuk dirinya sendiri.
“Gue yang kena sup panas. Tangan gue yang melepuh. Bukan lo.”
Tatapannya kembali beralih ke seluruh keluarga. “Lalu kenapa gue yang harus minta maaf?”
Hening.
Tak satu pun dari mereka mampu menjawab.
Zoe mengedarkan pandangan ke sekeliling meja, satu per satu. Jesper menunduk, si kembar saling melirik gelisah, Varo hanya menatapnya diam tanpa ekspresi, dan Tina terlihat canggung tapi tidak bicara.
“Aku diam … salah.”
“Aku mencari perhatian … salah.”
Zoe tertawa kecil, tapi terdengar getir.
“Lalu kalian mau apa dariku sebenarnya?”
Hening makin dalam. Bahkan dentingan sendok tak terdengar lagi.
Zoe menunduk menatap Alicia yang masih berpura-pura sedih, lalu menatapnya dengan mata tajam, datar, penuh tekanan.
“Kalau kau mau bermain drama .…”
Zoe melangkah mendekatinya satu langkah, membuat Alicia terpaksa menegakkan badan. “jangan sama gue.”
“Karena gue muak.”
“Muak sama orang yang berpura-pura jadi korban.”
“Muak sama keluarga ini yang selalu buta dan pilih-pilih siapa yang salah.”
Zoe menatap mereka semua satu per satu lagi, lalu berkata mantap. “Mulai hari ini, gue bukan Zoe yang kalian kenal.”
“Dan gue gak akan tunduk lagi.”
Tanpa menunggu tanggapan, Zoe mengambil bekalnya dari meja, lalu melangkah keluar dari ruang makan dengan langkah tenang, meski telapak tangannya masih terasa perih.
***
Zoe menyandarkan tubuhnya ke jok belakang taksi yang melaju perlahan di jalanan ibukota pagi itu. Satu tangannya menekan perban kecil di bagian tangannya yang masih terasa panas, bekas terkena sup tadi. Matanya menatap kosong keluar jendela.
Di sampingnya, kotak bekal berisi makanan sehat terletak rapi di dalam tas. Dia membuatnya untuk dirinya sendiri dan hanya untuk dirinya sendiri.
“Aku gak butuh lagi fasilitas keluarga Wiratmaja,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Gak butuh sopir pribadi, gak butuh mobil mewah, gak butuh supir yang doyan nguping percakapan.”
Ia melirik ke luar, menyaksikan jalanan yang mulai padat.
“Dasar keluarga gak masuk akal,” desahnya pelan. “Pantes aja si Zoe yang asli selalu berbuat ulah. Diperlakukan kayak gitu.”
Namun baru saja Zoe hendak kembali bersandar lebih nyaman, taksi mendadak berhenti mendadak, membuat tubuhnya sedikit terdorong ke depan.
“Eh?!” Zoe mengerutkan kening.
“Ada apa, Pak?” tanyanya dari belakang, nada suaranya heran.
Supir taksi, pria paruh baya dengan topi lusuh dan tangan kekar, menoleh sebentar lewat kaca spion.
“Maaf ya, Neng. Kayaknya ada kecelakaan di depan. Macet total.”
Zoe menegakkan badan, melongok ke jendela depan. Di kejauhan, suara klakson bersahut-sahutan. Beberapa orang berdiri di tengah jalan, tampak panik dan berkerumun di sisi trotoar.
Zoe menatap jam di pergelangan tangannya.
Masih ada waktu sebelum bel masuk. Tapi rasa penasaran perlahan mengalahkan rasa malasnya.
“Pak, saya turun di sini aja.”
Supir itu menoleh cepat. “Yakin, Neng? Masih jauh loh ke depan.”
“Gapapa.” Zoe sudah membuka pintu dan keluar sebelum supir sempat menahan.
Udara pagi langsung menyambutnya dengan hangat yang lembap. Suara gaduh dari kerumunan makin terdengar jelas. Zoe melangkah maju dengan tenang, menyelip di antara pejalan kaki yang penasaran dan kendaraan yang berhenti.
Beberapa orang berbisik-bisik. “Katanya tabrakan motor sama mobil.”
“Ada yang luka, tapi belum ada ambulans .…”
Zoe terus melangkah, hingga akhirnya ia sampai di pinggir trotoar, tempat sebuah motor tergeletak, dan seorang pemuda berseragam SMA duduk bersandar di tiang listrik, wajahnya pucat, tangan kirinya berdarah.
Darah menetes dari pelipisnya, dan napasnya terengah. Untungnya tidak terlalu parah.
Orang-orang hanya mengerumuni, beberapa merekam dengan ponsel, tapi tak ada yang benar-benar mendekat.
Zoe mengerutkan kening. “Ini beneran, orang pada nonton doang?”
Tanpa pikir panjang, ia melangkah maju. “Minggir dong. Nonton doang kalian?” serunya ketus sambil menyibak beberapa orang.
Zoe jongkok di depan pemuda itu. Matanya menatap luka di lengan dan pelipisnya.
“Hei … lo bisa denger gue?”
Pemuda itu membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur, tapi ia bisa melihat siluet seorang gadis dengan seragam yang sama dan tatapan yang dingin namun sigap.
“Lo siapa?” gumamnya lemah.
Zoe tidak menjawab. Dia hanya membuka tasnya, mengambil kotak P3K yang Zoe selalu bawa seperti kebiasaannya.
“Gue bukan siapa-siapa. Tapi kalau gak ada yang bantu, ya gue bantu.”
Zoe mulai membersihkan lukanya, lalu membalut lengan berdarah itu dengan cepat dan telaten.
Suasana di sekitar tempat kecelakaan mulai mereda. Beberapa orang sudah kembali ke kendaraan mereka, kerumunan perlahan bubar setelah tahu korban masih bisa berdiri dan berbicara.
Zoe selesai membalut luka di lengan pemuda itu dengan perban dari kotak kecil di tasnya. Ia menghela napas panjang, berdiri sambil menepuk-nepuk lutut celananya yang berdebu.
“Luka Lo nggak terlalu parah.” Suaranya datar, nyaris tanpa empati. “Sini, gue antar ke rumah sakit.”
Pemuda itu mengangkat wajahnya meski masih pucat, ada sorot tajam di matanya. Wajahnya tampan, dengan rahang tegas dan poni sedikit berantakan karena kecelakaan.
“Gak usah ke rumah sakit.” ucapnya pelan. “Gue mau ke sekolah aja.”
Zoe mengerutkan kening, menatapnya seperti baru saja mendengar hal paling bodoh pagi ini.
“Lo yakin?”
Pemuda itu mengangguk. “Yakin.”
Zoe mendecak kecil. “Baiklah.” Ia memutar tubuhnya, lalu mendekati motor yang masih rebah miring di tepi jalan. Dengan cekatan, ia menarik motor itu ke posisi tegak.
“Sini, gue bawa motor lo.”
Pemuda itu langsung membelalak. “Tunggu—apa?!”
“Lo mau nyetir motor gue?”
Zoe menoleh dengan wajah datar. “Emangnya kenapa?”
“Aku gak pengin mati sekarang,” jawab pemuda itu dengan nada setengah panik. “Badan gue udah luka, jangan ditambah trauma jiwa.”
Zoe mengangkat satu alis. Lalu mendengus pendek, seperti sedang berusaha menahan tawa. Tapi bukan karena lucu, lebih ke arah geli menghadapi drama yang menurutnya gak penting.
“Siapa juga yang mau mati, bego.” Zoe menatapnya dingin, menyesuaikan posisi helm di tangan. “Gue cuma mau bawa lo ke sekolah. Bukan bawa lo ke alam baka.”
Pemuda itu menatap Zoe lebih lama kali ini, seolah sedang menilai sesuatu dalam dirinya. Tatapan itu bukan main-main penuh rasa penasaran.
“Lo gak takut ditilang?”
Zoe nyengir tipis. Dingin. “Lebih takut ketinggalan pelajaran.”
Pemuda itu mendecak, lalu meringis saat mencoba berdiri sendiri.
“Awas, jangan banyak gerak.” Zoe menahan lengannya. “Naik aja. Pegangan kuat.”
“Lo yakin bisa nyetir motor gede kayak gini?”
“Lo terlalu banyak nanya,” balas Zoe tajam, “padahal gue lagi nolongin lo.”
Akhirnya, dengan ragu-ragu, pemuda itu duduk di boncengan, dan Zoe naik di depan. Dengan satu gerakan mantap, ia menyalakan mesin motor itu dan menarik gas perlahan.
ayo Thor lebih semangat lagi up-nya 💪 pokoknya aq padamu Thor 🤭