novel ini adlaah adaptasi dari kelanjutan novel waiting for you 1
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uppa24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
hari-hari berat part 1
“Aidan... Itu akan menjadi ujian bagi keluarga kita, dan aku sudah memutuskan apa yang akan kita lakukan,” jawab Alexander dengan suara berat, memberikan Elena kesempatan untuk mendengarkan lebih jauh. Matanya beralih ke Alvio, yang masih duduk di samping ibunya. “Aku... terpaksa harus meminta keputusan lebih tegas mengenai ini, Elena.”
Alvio menatap sang kakek dengan tatapan lebih serius, memahami betapa pentingnya apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, meskipun mengerti, ia tidak akan menyerah pada perubahan yang sudah dimulai. "Jika kakek ingin kita berpisah, maka akan ada jalan lain yang akan kita pilih," jawab Alvio dengan suara yang sangat dalam.
Alexander memandang anak cucunya, lalu kembali menatap Elena. “Aku akan beri waktu untuk berpikir. Tapi ingat, pilihan ini bisa merubah semua kehidupan kita,” ujarnya tegas.
...~||~...
Keesokan harinya, udara di dalam rumah El Bara terasa lebih berat dari biasanya. Setiap langkah seakan penuh dengan ketegangan, menyelimuti setiap ruangan yang dihuni oleh keluarga tersebut. Elena sudah mengenakan jaket hitam elegan dan duduk di ruang tamu yang luas, menunggu seseorang yang sangat ia kenal namun kini terasa asing: Aidan.
Pikirannya kembali teralih pada malam sebelumnya, pada perbincangan dengan Ayahnya. Kata-kata Alexander menggema di benaknya, membuat dadanya semakin sesak. Aidan, pria yang pernah merenggut kebahagiaan keluarganya, pria yang terlibat dalam sebuah tragedi yang menghancurkan banyak hati, kini harus dipertimbangkan sekali lagi. Meski masa lalu mereka begitu rumit dan penuh luka, saat ini Elena tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa, bagaimanapun juga, mereka memiliki masa depan bersama. Tapi dengan Ayahnya yang keras kepala dan penuh dendam, semua itu bisa terancam hancur hanya dalam sekejap.
Sekuat apapun Elena berusaha menenangkan dirinya, perasaan cemas dan terancam tetap hadir. Berpikir tentang Alvio yang begitu percaya pada Aidan dan ingin melihat kedamaian, Elena merasa dihantui oleh ketidakpastian akan segala hal yang akan terjadi.
“Tuan El Bara, Aidan Bastoro telah datang,” kata Pak Jen dengan suara rendah saat dia masuk ke ruang tamu. Elena menghela napas dan mengalihkan pandangannya ke arah pintu yang baru saja terbuka. Aidan masuk, berpakaian formal seperti biasa, namun matanya tidak bisa disembunyikan dari keseriusannya.
“Aidan,” Elena menyapa dengan lembut, walau hatinya bergejolak. Dia mengingatkan dirinya sendiri untuk tetap tenang, untuk berfokus pada keputusan penting yang harus mereka ambil bersama demi Alvio.
Aidan menghampirinya, matanya tajam tetapi ada ketegangan yang memancar di balik ekspresinya. “Elena,” jawab Aidan, suaranya mengalir rendah, penuh rasa hormat. “Ada banyak hal yang harus kita bahas, dan aku tidak ingin menunda pembicaraan ini.”
Elena mengangguk pelan dan duduk, memberi tanda pada Aidan untuk duduk juga. Tak ada kata-kata lebih lanjut yang keluar dari bibir mereka. Mereka tahu ini bukanlah pertemuan biasa. Ini adalah pertemuan yang akan menentukan arah hubungan mereka—dan bahkan masa depan keluarga El Bara.
“Apa yang terjadi di masa lalu bukan salahmu, Aidan,” kata Elena akhirnya, suara nyaris tak terdengar namun penuh penekanan. "Tapi Ayah... Ayahku tidak pernah bisa menerima bahwa kita bisa memiliki hubungan. Dia menganggapmu—mungkin lebih dari siapa pun—berdosa dalam tragedi besar yang menimpa keluarganya. Kami kehilangan ibu, dan itu sangat berat."
Aidan menatap Elena, lehernya terasa kaku. Dia sangat saket dengan hal itu dan berusaha mengerti betapa dalam luka yang telah ditinggalkan. “Aku tahu itu, Elena. Aku tak bisa mengubah apa yang terjadi di masa lalu, tapi aku selalu berusaha menjadi lebih baik, dan... untuk Alvio,” jawab Aidan dengan suara tertahan. Dia mengalihkan pandangannya pada gambar Alvio yang berada di meja, tetapi kemudian kembali menatap Elena. “Aku tak akan lari. Aku ada di sini, dan aku ingin menjadi bagian dari hidup kalian.”
Elena terdiam sejenak, mencerna kata-kata Aidan. Hatinya bergejolak antara perasaan lama dan harapan baru. Mereka berdua pernah saling mencintai, namun kenyataan yang lebih keras membuat mereka terperangkap dalam keputusan yang menyakitkan.
“Hidupku dengan Ayah semakin menekan, Aidan... Aku benar-benar tak tahu bagaimana semua ini akan berakhir.” Suara Elena penuh kekhawatiran.
Aidan melihatnya dengan ekspresi kesakitan, seolah menyadari betapa berat beban yang Elena bawa. “Aku tidak ingin menambah bebanmu, Elena, tapi aku ingin membantumu. Aku akan melakukan apa saja, meskipun aku tahu betapa sulitnya hal ini... aku akan ada untukmu.”
Elena menggenggam tangannya erat-erat, hati ini sedang dilanda perasaan campur aduk. Bagaimana mungkin dia bisa melanjutkan hubungan ini sementara ayahnya masih terlalu menghancurkan di dalam dendamnya?
Pikiran mereka teralihkan oleh pintu yang terbuka, dan Alvio masuk dengan langkah ringan, namun matanya memperlihatkan kedalaman lebih dari sekadar seorang anak berusia tiga tahun.
"Ibu, Papa Aidan, kita bisa duduk bersama? Aku ingin kalian berbicara dengan jujur," ujar Alvio dengan suara penuh kewibawaan, tidak menunjukkan keraguan. Terkadang, ucapan anak sekecil itu terasa lebih mengena daripada ucapan orang dewasa.
Seketika Elena dan Aidan terkejut, melihat Alvio yang tampaknya sudah mulai melihat dunia ini dengan cara yang sangat matang.
“Apa maksudmu, Vio?” tanya Elena, khawatir.
“Apa pun yang terjadi, kita adalah keluarga. Aku tak mau ada yang pergi dari kita lagi,” jawab Alvio sambil memandang wajah kedua orang dewasa itu dengan penuh kesungguhan.
Perlahan, Elena dan Aidan saling berpandangan. Di mata Alvio, mereka bisa melihat kebijaksanaan yang lebih dari sekadar anak kecil. Dan lebih dari apapun, mereka sadar: mereka tidak bisa terus menghindari kenyataan ini, tak hanya untuk diri mereka, tapi untuk Alvio.
Elena menunduk, menghela napas dalam, dan dengan suara penuh harapan namun tegas, ia berkata, "Aidan, kita harus terus berjuang untuk masa depan kita, untuk anak ini, untuk Alvio. Apa pun yang akan terjadi, kita harus bersama, meski tak mudah."
Aidan menundukkan kepalanya, tanda bahwa ia juga menyadari beban berat itu. "Aku akan mendukungmu, Elena. Aku siap melakukan apa saja untuk kita semua."
Setelah sesi diam yang sejenak mengisi ruang itu, Elena menoleh ke arah Alvio yang tersenyum dengan penuh keyakinan. “Kau benar, Vio. Kita harus menjalani hidup ini bersama. Keluarga kita... adalah prioritas kita.”