Dira Amara adalah seorang mahasiswi berusia 21 tahun yang penuh ambisi, cerdas, dan selalu berusaha keras untuk mencapai tujuannya. Ia tumbuh dalam keluarga miskin di sebuah kampung kecil, di mana kehidupan yang serba kekurangan membuatnya terbiasa untuk bekerja keras demi mencapai apa yang diinginkan. Ayahnya, seorang buruh pabrik yang selalu bekerja lembur, dan ibunya, seorang penjual makanan keliling, berjuang keras untuk menyekolahkan Dira hingga kuliah.
Suatu ketika, hidup Dira berubah drastis saat ayahnya terjerat utang kepada organisasi mafia yang dipimpin oleh Rafael. Tanpa pilihan lain, Dira dipaksa untuk berhadapan langsung dengan Rafael, pemimpin mafia yang terkenal kejam. Sebagai perempuan muda yang tidak berdaya, Dira harus menghadapi situasi yang tak pernah dia bayangkan, tetapi dia tetap berusaha bertahan dengan kebijaksanaan dan keberanian yang dimilikinya.
Namun, hatinya mulai terikat dengan sosok Rafael yang tidak hanya kejam, te
bagaimana kelanjutannya yuks lnjt 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayda Pardede, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
masa pemulihan
Sudah seminggu berlalu sejak Dira ditembak oleh Rafael, dan sejak saat itu, kehidupan dalam rumah besar itu terasa seperti sebuah penjara bagi dirinya. Setiap hari, ia terbangun dengan rasa sakit yang berdenyut di kakinya, diiringi oleh perasaan kosong yang terus menghantuinya. Meskipun tubuhnya perlahan pulih berkat perawatan dan makanan bergizi yang diberikan oleh pelayan-pelayan rumah Rafael, hatinya merasa semakin berat, terpenjara oleh situasi yang ia tak bisa hindari.
Dira mulai beradaptasi dengan rutinitas baru yang ditentukan oleh suaminya, Rafael. Setiap hari, pelayan datang membawakan makanannya, mengganti infusnya, dan memeriksa kondisinya. Maria, pelayan yang merawatnya, selalu memastikan ia mendapatkan makanan yang bergizi dan obat yang diperlukan untuk pemulihan, meskipun tak pernah ada kata-kata yang menenangkan atau berbicara lebih jauh dari tugas mereka.
Rafael sendiri jarang sekali terlihat. Hanya sekali-sekali ia datang ke kamarnya, tetapi tidak pernah ada percakapan yang berarti. Kadang-kadang, dia hanya berdiri di pintu, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dipahami, lalu pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun. Keberadaan Rafael lebih terasa seperti bayangan yang melayang di sekitar Dira, menambah rasa terperangkap yang semakin dalam.
Pada suatu sore, ketika Dira tengah duduk di tepi tempat tidurnya, tubuhnya terasa sangat lemah setelah hampir setengah hari tidur, ia mendengar langkah kaki dari luar kamar. Pintu kamar terbuka pelan, dan Maria masuk dengan wajah serius.
“Nona Dira, Tuan Rafael meminta Anda untuk datang ke ruang tamu,” kata Maria dengan suara datar, namun ada sedikit kekhawatiran yang tertangkap di matanya.
Dira menatap Maria dengan bingung. “Kenapa? Apa yang dia inginkan dariku?” tanya Dira, suaranya hampir tak terdengar karena kelelahan.
“Tidak ada yang perlu Anda khawatirkan. Tapi, Tuan Rafael ingin berbicara dengan Anda,” jawab Maria, meskipun jelas ada yang tersembunyi di balik kata-katanya.
Dira tidak memiliki pilihan selain menurut. Ia berusaha berdiri dengan perlahan, merasakan betapa kakinya masih nyeri setiap kali ia bergerak. Maria membantunya berdiri, kemudian dengan hati-hati membimbingnya keluar dari kamar menuju ruang tamu yang luas di rumah itu.
Ruang tamu itu dipenuhi dengan barang-barang mewah—perabotan antik, lukisan-lukisan besar yang menggantung di dinding, dan tirai tebal yang menyelimuti setiap jendela. Rafael duduk di kursi besar di ujung ruangan, matanya menatap kosong ke depan. Ia tampak tidak terganggu dengan kehadiran Dira, seolah segala hal yang terjadi tidak berpengaruh padanya.
Dira merasa cemas saat melihatnya. “Ada apa, tuan?” suara Dira penuh dengan ketegangan. Ia ingin segera tahu apa yang sebenarnya diinginkan pria itu darinya, mengingat dia hanya diberi sedikit perhatian selama seminggu terakhir.
Rafael tidak langsung menjawab. Ia tetap diam sejenak, hanya menatapnya dengan pandangan yang sulit diterjemahkan. Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya ia berkata, “Kau sudah cukup pulih untuk berjalan sedikit. Aku ingin memastikan kaki itu benar-benar sembuh.”
Dira merasakan darahnya berdesir mendengar kata-kata itu. Ia tahu bahwa Rafael berbicara dengan nada yang tak bisa ditentang, namun di dalam dirinya, ada keinginan untuk lari, untuk melarikan diri dari segala hal yang mengikatnya di sini.
Apa yang akan terjadi padaku setelah ini? pikirnya dalam hati.
“Aku ingin kau berjalan ke sana,” Rafael menunjuk ke arah ruang besar yang terletak di ujung ruangan. "Jika kau bisa melakukannya tanpa banyak kesulitan, maka aku akan pertimbangkan untuk memberimu lebih banyak kebebasan. Tapi jika kau tidak bisa, maka kau tetap harus tinggal di sini sampai pemulihanmu benar-benar sempurna."
Dira menatapnya, merasa seolah-olah dia sedang diuji. Ada ketegangan yang menyelimuti antara mereka berdua. Namun, ia tidak ingin menunjukkan kelemahan. Meskipun kakinya masih sakit, Dira memutuskan untuk mencoba. Ia mulai berjalan, langkah demi langkah, mencoba menahan rasa sakit yang menggerogoti setiap langkahnya.
Rafael mengamatinya dengan tatapan tajam. Setiap kali Dira hampir terjatuh, ia segera membantu dengan meletakkan tangannya di punggung Dira, memastikan bahwa dia tidak kehilangan keseimbangan. Tindakan ini, meskipun terkesan seperti perhatian, terasa sangat dingin bagi Dira—seolah ia hanyalah objek yang harus memenuhi keinginan Rafael.
Namun, Dira berhasil sampai di tempat yang ditunjuk tanpa jatuh, meskipun tubuhnya terasa sangat lemas. Ia berdiri tegak, napasnya terengah-engah. Ia menatap Rafael dengan pandangan yang penuh kebingungan, tidak tahu apa yang harus ia rasakan tentang semua ini.
Rafael masih berdiri di sana, menatapnya tanpa ekspresi. Setelah beberapa detik, ia berkata, “Bagus. Kau bisa berjalan, meskipun aku rasa kau masih harus beristirahat lebih banyak lagi. Aku akan memberikan sedikit kebebasan padamu. Kau bisa tidur bisa tidur di ranjang itu sampai kau benar-benar pulih ini untuk beberapa waktu. Tapi, jika kau mencoba kabur lagi, aku tidak akan ragu untuk menghentikanmu.”
Dira merasa amarahnya mulai membara. Ia menatap Rafael dengan tajam. “Kau pikir aku akan tinggal di sini selama-lamanya? Kau hanya mengikatku dengan aturan yang tak masuk akal. Aku tidak akan bertahan lama dalam penjara ini,” katanya, meskipun ada rasa takut yang mencengkeram hatinya.
Rafael tersenyum tipis, senyuman yang tidak tulus. “Kau tidak punya pilihan, Dira.kau sendiri yang yang menandakan tangani surat perjanjian itu dan Jangan coba-coba untuk melanggar, jika tidak mau aku mengurung mu lagi"
Dira menundukkan kepala, berusaha menahan amarah yang hampir meledak. Ia tahu bahwa berhadapan dengan Rafael hanya akan membuatnya semakin terperangkap. Tapi dalam hatinya, ia sudah memutuskan—suatu saat nanti, dia akan mencari jalan keluar, apapun yang terjadi.
Setelah pertemuan singkat itu, Dira dibimbing kembali ke kamarnya. Selama perjalanan kembali, Maria memperhatikannya dengan cermat, seolah ingin memastikan bahwa Dira tidak jatuh lagi.
“Apa dia… baik-baik saja?” tanya Dira dengan suara lemah, merujuk pada Rafael yang mengamati setiap langkahnya dengan intens.
Maria terdiam sejenak, kemudian menjawab dengan suara lembut, “Tuan Rafael memang keras, Nona. Tapi dia juga… sulit dipahami. Kadang-kadang, dia menunjukkan perhatian yang tidak bisa dijelaskan. Mungkin dia tidak tahu cara yang benar untuk menunjukkan perasaan.”
Dira hanya mengangguk, tidak yakin dengan apa yang baru saja didengar. Ia merasa kebingungannya semakin dalam. Perhatian yang ditunjukkan Rafael, meskipun terasa dingin, entah mengapa tetap mengganggunya. Ada sesuatu di balik tindakan kerasnya yang masih belum ia pahami. Apakah itu sebuah bentuk kepedulian yang tertahan, atau hanya kontrol dan kekuasaan semata?
Dira kembali ke kamarnya, berbaring di tempat tidur dengan pikiran yang berputar-putar. Ia tahu bahwa ia harus mencari cara untuk keluar dari sini. Rumah ini terasa semakin seperti penjara, dan Rafael—meskipun memberinya sedikit kebebasan—tetaplah menjadi penguasa yang tak bisa ia lawan. Namun, di dalam dirinya, Dira tidak pernah menyerah. Ia tahu bahwa selama ia masih hidup, ada harapan untuk kebebasan.
Suatu saat nanti, ia akan melarikan diri—dan kali ini, ia tidak akan gagal.