Sinopsis:
Zayden Levano, pewaris perusahaan besar, dihadapkan pada permintaan tak terduga dari kakeknya, Abraham Levano. Sang kakek memintanya untuk mencari Elara, seorang gadis yang kini bekerja sebagai wanita penghibur di klub malam. Keluarga Zayden memiliki hutang budi kepada keluarga Elara, dan Abraham percaya bahwa Elara berada dalam bahaya besar karena persaingan bisnis yang kejam.
Permintaan ini semakin rumit ketika Abraham menuntut Zayden untuk menikahi Elara demi melindungi dan menjaga warisan keluarga mereka. Di tengah kebingungan dan pertarungan moralnya, Zayden juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa istrinya, Laura, mengandung anak yang bukan darah dagingnya. Kini, Zayden terjebak antara tanggung jawab keluarga, cinta yang telah retak, dan masa depan seorang gadis yang hidupnya bergantung padanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ditahan Takut Menyakiti
Bab 19
"Apa? Kamu pikir apa?" tanya Zayden setelah melepas sesaat aktivitasnya.
Namun, Elara tidak bisa bergerak meskipun Zayden berhenti. Sebab tubuhnya ada dalam kukungan tubun Zayden.
"Lupa? Jangan panggil aku dengan sebutan itu. Jadi kau terima hukumnya bukan? Lalu, aku akan berbaik hati. Kau tidak perlu menggunakan lingerie itu."
Bibir Elara tersenyum tipis, dia senang. Dia tetap bisa menggunakan baju tidurnya yang nyaman.
"Eh. Kenapa senyum? Aku pikir percuma kau pakai baju itu. Karena..." Zayden sengaja menggantung ucapannya.
"Karena apa Tu... Em, Zayden?"
"Karena ... em," ucap Zayden dengan tatapan berbinar melihat tubuh Elara dan langsung menyergapnya dengan berkata, "Kita tidak membutuhkan pakaian malam ini."
Elara terkejut, dia tidak berpikir ke sana. Zayden tentu tidak akan menyiakan malam ini. Pikirannya salah jika menganggap suaminya akan berbaik hati melepaskan.
"Zayden." Elara berkata dengan susah payah, sebab Zayden tak henti bekerja. "Ini di luar perjanjian. Kau hanya mengajakku menikah, bukan bercinta."
Zayden tidak peduli dengan ucapan Elara. Dia terus membuat istrinya seperti yang diinginkan. Namun, saat melihat tubuh Elara tanpa sehelai kain pun. Ada sesuatu yang aneh
Zayden menatap Elara yang terbaring di atas ranjang dengan mata penuh kebingungan. Selimut yang melingkupinya seolah menjadi batasan yang tak bisa dia tembus. Di luar ekspektasinya, malam pertama mereka yang seharusnya penuh gairah justru berubah menjadi malam yang menyisakan pertanyaan dan keraguan. Elara yang di bayangannya adalah wanita penuh godaan, justru tampak rapuh dan polos di bawah kelamnya cahaya lampu kamar.
Ruangan itu hening. Zayden, yang beberapa saat lalu tampak begitu menggebu, kini duduk diam di tepi tempat tidur, punggungnya lurus tetapi tampak lemah, seolah seluruh energinya diserap oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab.
Sementara Elara, meskipun dia tak memahami perubahan sikap suaminya, tetap membiarkan dirinya diliputi selimut, menyembunyikan tubuhnya yang polos. Bayangan dari lilin yang bergoyang di sudut kamar hanya memperkuat kesan sunyi, seolah ada sesuatu yang tak terucap di antara mereka.
“Elara...” suara Zayden terdengar rendah, nyaris tenggelam dalam keheningan.
Elara mengangkat wajahnya sedikit, seolah menunggu penjelasan, namun yang dia lihat hanya kebingungan di mata Zayden. "Kenapa kau berhenti?" tanyanya pelan, nyaris berbisik. Rasa canggung mulai merayapi dirinya. Dia tidak tahu mengapa Zayden, yang awalnya begitu mendominasi, kini duduk diam dengan wajah muram.
Zayden memandanginya sebentar, sebelum akhirnya membuka mulut dengan suara ragu-ragu. “Apakah kau... masih ...?”
Kalimat itu terasa bagai pukulan bagi Elara. Wajahnya seketika memucat, dan kedua tangannya yang menahan selimut mulai gemetar. Bibirnya terbuka, namun tak ada kata yang keluar. Dia bisa merasakan jantungnya berdegup kencang, seolah ingin berlari dari situasi ini.
Bagaimana mungkin, di malam pernikahan mereka, Zayden menanyakan hal ini? Namun, di sudut hatinya, Elara tahu mengapa Zayden mempertanyakannya. Dia, wanita yang telah hidup di bawah label "wanita penghibur", bagaimana bisa dianggap perawan?
“Aku... iya,” jawabnya lirih, hampir seperti sebuah pengakuan yang memalukan.
Matanya tak berani menatap Zayden. Ada ketakutan yang mendesak, seolah Zayden akan menghakiminya atau merasa tertipu. Dia bisa merasakan pipinya merona merah, campuran antara rasa malu dan kekhawatiran.
Zayden mendengkus kecil, tak percaya. Matanya menyipit, mencoba mencari kebenaran di balik setiap kata Elara.
“Tapi... bagaimana mungkin?” tanyanya, suaranya sedikit bergetar. “Bukankah kau seorang wanita penghibur? Bagaimana bisa kau belum pernah...?” Pertanyaan itu menggantung di udara, meninggalkan jejak ketidakpastian.
Elara menelan ludah, merasa kata-kata sulit keluar dari tenggorokannya. Namun dia tahu, malam ini bukan hanya tentang tubuh mereka yang bersatu, melainkan juga tentang kebenaran yang harus diungkapkan. Dia menghela napas panjang sebelum mulai menjelaskan.
“Aku memang bekerja di dunia malam, Zayden. Tapi itu tidak berarti aku menjual seluruh tubuhku. Banyak orang berpikir begitu, termasuk kau, mungkin...”
Zayden terdiam, mendengarkan dengan perhatian penuh. Dia tidak memotong, tidak membantah, hanya menatap Elara dengan tatapan yang semakin dalam.
Elara melanjutkan dengan suara yang lebih tenang namun masih ada getar di dalamnya.
“Aku tidak pernah mau melangkah sejauh itu. Tugasku adalah menghibur, membuat para tamu senang, tapi tidak dengan menyerahkan segalanya. Aku hanya membiarkan mereka menyentuh... ya, permainan luar. Banyak yang ingin lebih dari itu, tapi aku selalu memasang harga yang tak terjangkau, dan tak ada yang berani menawarnya. Mereka datang, mencari hiburan ringan, hanya itu. Itulah sebabnya aku tidak pernah mendapatkan banyak uang dari pekerjaan itu.”
Zayden terdiam, mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan istrinya. Wajahnya semakin sulit terbaca. Ada rasa heran yang jelas terlihat di matanya, tapi juga rasa bersalah yang mulai muncul. Malam yang dia harapkan akan menjadi malam penuh gairah dan kemenangan, malah berubah menjadi malam penuh pengakuan yang mengubah pandangannya tentang Elara.
“Kenapa kau tidak pernah... melakukan itu?” Zayden bertanya pelan, kali ini suaranya lebih lembut, seperti seseorang yang ingin memahami, bukan menghakimi.
Elara menghela napas lagi, menatap selimut yang menutupi tubuhnya, seolah itu adalah perlindungan terakhir dari keterbukaannya.
“Aku tidak siap. Tubuhku tidak untuk itu, Zayden. Aku hanya tidak bisa... setidaknya, belum. Bukan dengan cara seperti itu.”
Keheningan kembali mengisi ruangan, hanya suara samar napas mereka yang terdengar. Zayden merasakan ada beban yang menghilang dari dadanya, namun digantikan oleh kesadaran baru yang lebih berat. Di depannya, bukan seorang wanita malam seperti yang dia bayangkan selama ini, melainkan seorang gadis yang masih terluka oleh masa lalunya dan perjuangan untuk bertahan.
Elara menatap Zayden, melihat bagaimana pria itu terdiam. Dia merasa takut, takut akan reaksi suaminya. Namun di saat yang sama, dia juga merasa lega karena telah jujur. Meskipun malam ini tidak berjalan sesuai harapan mereka, setidaknya dia telah menceritakan kebenarannya.
Zayden menarik napas panjang, lalu mengalihkan pandangannya ke langit-langit. “Aku tak bisa membuatmu kesakitan. Jika benar kau belum pernah melakukan ini sebelumnya...”
Elara tersenyum lemah, memahami kesulitan yang dihadapi Zayden. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya saat menyadari bahwa pria ini, meskipun penuh dengan kebanggaan dan ketegasan, tetap peduli terhadap dirinya.
“Tidak apa-apa, Zayden,” bisik Elara pelan, "Kau suamiku.“
"Tapi, aku merasakan kau belum siap. Pantas saja kau seakan menghindar."
"A-aku, mungkin hanya butuh waktu.”
Zayden menundukkan kepalanya, lalu tanpa berkata-kata lagi, dia meraih selimut yang menutupi tubuh Elara, menyesuaikannya agar lebih nyaman. Alih-alih memaksakan kehendaknya, dia memutuskan untuk membiarkan malam ini berakhir dengan keheningan yang damai. Mungkin, di malam ini, mereka baru benar-benar memahami satu sama lain.
"Maafkan aku telah salah paham," ucap Zayden, sambil merebahkan dirinya di samping Elara. Dia pun mengenakan selimut, tapi berbeda dari yang dipakai Elara.
Bersambung...