Dina, seorang pelajar dari kota kecil dengan mimpi besar, memiliki hasrat yang kuat untuk menjelajahi dunia dan mengembangkan diri. Ketika sekolahnya mengadakan lomba sains tingkat provinsi, Dina melihat ini sebagai kesempatan emas untuk meraih impian terbesarnya: mendapatkan beasiswa dan melanjutkan studi ke luar negeri. Meskipun berasal dari keluarga sederhana dan di hadapkan pada saingan-saingan dari sekolah sekolah-sekolah elit, Dina tak gentar. Dengan proyek ilmiah tentang energi terbarukan yang dia kembangkan dengan penuh dedikasi, Dina berjuang keras melampaui batas kemampuannya
Namun, perjalanan menuju kemenangan tidaklah mudah. Dina Harus menghadapi keraguan, kegugupan, dan ketidakpastian tentang masa depannya. Dengan dukungan penuh dari keluarganya yang sederhana namun penuh kasih sayang, Dina berusaha membuktikan bahwa kerja keras dan tekad mampu membuka pintu ke peluang yang tak terbayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon avocado lush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Napas di Tengah Badai
Pagi itu, langkah-langkah warga terdengar bergema di sepanjang jalan setapak menuju bukit. Dina memimpin rombongan dengan clipboard di tangannya, ditemani Armand dan Mira. Warga telah bersepakat untuk mengganti baling-baling kincir ketiga dengan bahan yang lebih tahan angin. Namun, mereka tahu bahwa proses ini akan menguras waktu, tenaga, dan biaya.
“Semua sudah siap?” tanya Dina kepada salah seorang teknisi yang tengah memeriksa crane kecil yang baru saja tiba.
“Siap, Bu Dina,” jawab teknisi itu. “Tapi pemasangan di lokasi seperti ini cukup berisiko. Kita harus sangat hati-hati.”
Dina mengangguk sambil menatap baling-baling lama yang sudah dilepas. Baling-baling itu terlihat kokoh, namun retakan kecil di beberapa bagiannya menunjukkan seberapa berat beban yang harus ditanggung selama dua bulan terakhir.
“Armand, kamu yakin material baru ini cukup kuat untuk jangka panjang?” tanya Dina sambil menatap pria itu.
“Material ini sudah teruji di banyak proyek serupa,” jawab Armand. “Tapi kita juga perlu memonitor kondisi kincir secara rutin setelah pemasangan selesai.”
Siang itu, pemasangan baling-baling baru dimulai. Crane mengangkat bilah besar itu perlahan-lahan ke udara, sementara teknisi dan warga bergotong royong memastikan stabilitas alat berat. Dina mengawasi setiap langkah, matanya tak pernah lepas dari pergerakan baling-baling yang melayang di udara.
Namun, di tengah proses, angin mendadak bertiup lebih kencang dari biasanya. Crane bergoyang, membuat semua orang di lapangan menahan napas.
“Hentikan dulu! Turunkan sedikit!” teriak Armand kepada operator crane.
Dina segera maju, matanya penuh kecemasan. “Apa kita bisa lanjutkan pemasangan dengan kondisi angin seperti ini?”
Armand menggeleng pelan. “Risikonya terlalu besar. Kalau kita paksakan, baling-baling bisa jatuh dan merusak struktur.”
Dina terdiam, pikirannya berputar mencari solusi. Warga yang tadinya sibuk membantu kini mulai berbisik-bisik, sebagian tampak cemas.
Pak Karim, yang berdiri di dekat Dina, maju ke depan. “Kita tunggu saja anginnya reda, Dina. Bukit ini memang sering kena angin kencang, tapi biasanya tidak lama.”
Dina mengangguk setuju. “Baik, kita tunda sementara. Semua orang, istirahat dulu. Tapi tetap siaga.”
Sore harinya, angin mulai mereda. Dina memberi tanda untuk melanjutkan pemasangan. Kali ini, proses berjalan lebih lancar. Dalam waktu dua jam, baling-baling baru berhasil terpasang sempurna. Warga yang menyaksikan dari kejauhan bersorak gembira.
“Lihat itu!” seru salah satu pemuda desa sambil menunjuk ke arah kincir yang mulai berputar pelan.
Dina menghela napas lega, senyumnya mengembang. Ia menoleh ke Armand yang berdiri di sampingnya. “Terima kasih, Armand. Kalau bukan karena tim kamu, ini mungkin tidak akan berhasil.”
Armand tersenyum tipis. “Ini adalah usaha bersama, Dina. Kamu yang membuat semuanya tetap berjalan.”
Namun, malam itu, Dina tidak bisa tidur. Ia duduk di ruang kerjanya, membaca ulang laporan dari lembaga donor yang terus menghantui pikirannya. Meski proyek ini terus menunjukkan kemajuan, tenggat waktu yang mereka tetapkan semakin dekat.
Mira masuk ke ruangan, membawa secangkir teh. “Kamu nggak tidur lagi, Din?”
Dina menggeleng. “Aku masih kepikiran soal tenggat waktu itu, Ra. Kalau kita nggak bisa menyelesaikan kincir terakhir tepat waktu, semua ini bisa berakhir sia-sia.”
Mira meletakkan teh di meja dan duduk di samping Dina. “Kamu sudah melakukan yang terbaik, Din. Dan warga juga mendukung penuh. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri.”
Dina menatap Mira sejenak, lalu menghela napas. “Kadang aku bertanya-tanya, apa aku sudah membuat keputusan yang benar? Apa semua ini sepadan?”
Mira tersenyum lembut. “Din, kamu adalah alasan kenapa desa ini punya harapan. Kalau kamu meragukan dirimu sendiri, ingatlah bagaimana warga berdiri di belakangmu hari ini. Mereka percaya padamu.”
Kata-kata Mira menenangkan hati Dina. Meski keraguan masih menyelinap di benaknya, ia tahu bahwa menyerah bukanlah pilihan.
Keesokan harinya, Dina kembali memimpin rapat dengan tim teknis dan warga untuk membahas langkah selanjutnya.
“Kita sudah mengganti baling-baling kincir ketiga, dan hasilnya memuaskan,” kata Dina, membuka rapat. “Tapi ini belum selesai. Kita perlu mempercepat proses optimalisasi sistem agar semua kincir dapat bekerja maksimal sebelum tenggat waktu.”
Pak Karim mengangkat tangan. “Apa ada yang bisa kami lakukan untuk membantu, Dina?”
Dina tersenyum. “Banyak, Pak. Kita perlu memastikan semua jalur distribusi listrik sudah siap. Saya juga butuh tim kecil untuk membantu memantau performa kincir selama beberapa hari ke depan.”
Warga langsung menyanggupi. Semangat gotong royong yang telah menjadi kekuatan mereka selama ini kembali menguat.
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan kerja keras. Dina dan timnya bekerja tanpa kenal lelah untuk memastikan setiap detail berjalan sesuai rencana. Armand memimpin pengujian akhir pada sistem, sementara warga membantu membersihkan jalur kabel dan memastikan semua peralatan berada dalam kondisi terbaik.
Akhirnya, tepat seminggu sebelum tenggat waktu, ketiga kincir angin itu beroperasi penuh. Energi yang dihasilkan mampu menerangi seluruh desa Jatiroto, bahkan dengan cadangan yang cukup untuk dijual ke desa tetangga.
Malam itu, balai desa dipenuhi warga yang ingin merayakan keberhasilan ini. Dina berdiri di depan mereka, matanya berkaca-kaca.
“Bapak-bapak dan Ibu-ibu, ini semua adalah hasil kerja keras kita bersama,” ujar Dina dengan suara bergetar. “Proyek ini bukan hanya tentang teknologi, tetapi tentang semangat, keberanian, dan kebersamaan. Saya bangga menjadi bagian dari desa ini.”
Tepuk tangan bergemuruh memenuhi ruangan. Dina menatap wajah-wajah penuh harapan di sekelilingnya dan merasa bahwa semua perjuangan ini memang sepadan.
Di luar, baling-baling kincir angin berputar perlahan di bawah cahaya bulan, menjadi saksi bisu atas mimpi yang telah terwujud. ***
Malam itu, setelah perayaan sederhana di balai desa, Dina kembali ke ruang kerjanya. Seharusnya malam itu menjadi waktu untuk bersantai, tetapi pikirannya tidak bisa berhenti memikirkan ancaman penghentian dana dari lembaga donor. Meski ketiga kincir angin kini berdiri tegak dan berfungsi, mereka belum mencapai tingkat optimal yang dijanjikan dalam proposal awal.
Dina membuka email yang baru masuk. Pesan dari Mr. Anderson menarik perhatiannya.
> *Dina,
Saya mendengar kabar baik bahwa ketiga kincir telah selesai dibangun. Namun, saya juga menerima laporan bahwa lembaga donor masih menilai progres ini kurang memadai. Jika tidak ada data konkret tentang dampak proyek dalam dua minggu ke depan, mereka akan benar-benar menarik dukungan mereka.
Saya percaya kamu bisa menyelesaikan ini.
Anderson*
Dina meremas ujung mejanya. Dua minggu untuk menunjukkan hasil nyata dari proyek yang baru saja selesai? Itu terasa hampir mustahil.
Keesokan harinya, Dina mengadakan rapat mendadak dengan Armand, Mira, dan beberapa perwakilan warga di balai desa.
“Kita punya waktu dua minggu untuk menunjukkan bahwa proyek ini berdampak langsung pada kehidupan warga,” ujar Dina. “Kalau kita gagal, dana tambahan dari lembaga donor akan dihentikan, dan proyek ini bisa terhenti di tengah jalan.”
Pak Karim, yang selalu menjadi salah satu pendukung setia Dina, mengangkat tangan. “Apa yang harus kita lakukan, Dina? Kami siap membantu.”
Dina menarik napas dalam-dalam. “Kita butuh data. Saya ingin semua rumah yang sudah menerima listrik dari kincir ini didata. Catat perubahan apa saja yang mereka rasakan sejak proyek ini dimulai.”
Mira menambahkan, “Kita juga bisa membuat dokumentasi visual. Foto, video, wawancara dengan warga. Itu bisa jadi bukti konkret yang kuat.”
Armand mengangguk. “Saya dan tim teknis akan memastikan kincir berjalan pada efisiensi maksimal dalam dua minggu ini. Kalau perlu, kita tambah shift malam untuk memantau operasionalnya.”
Hari-hari berikutnya menjadi ujian terakhir bagi semua orang di desa Jatiroto. Tim teknis bekerja keras memastikan setiap komponen kincir berfungsi optimal, sementara warga bergotong royong membantu pendataan dan dokumentasi.
Mira memimpin tim kecil yang mewawancarai warga. Salah satu momen paling mengesankan adalah ketika mereka berbicara dengan Bu Sarti, seorang ibu rumah tangga yang kini bisa menjahit di malam hari karena desanya telah terang benderang.
“Sebelumnya, saya cuma bisa menjahit kalau matahari masih terang,” cerita Bu Sarti sambil tersenyum. “Tapi sekarang, lampu di rumah saya cukup terang. Pesanan juga jadi lebih banyak karena saya bisa bekerja lebih lama.”
Kisah seperti ini menguatkan semangat Dina. Setiap kali mendengar cerita baru, ia merasa bahwa semua kerja keras mereka tidak sia-sia.
Pada malam terakhir sebelum tenggat waktu, Dina mengumpulkan semua data yang telah dihimpun oleh tim. Ia dan Mira begadang di ruang kerjanya, menyusun laporan lengkap yang akan dikirim ke lembaga donor.
“Ini semua terasa seperti deja vu,” gumam Mira sambil menyeruput kopi. “Kamu begadang lagi, aku harus mengingatkanmu untuk istirahat.”
Dina tersenyum kecil. “Tapi kali ini rasanya berbeda. Aku tahu, kita sudah memberikan yang terbaik.”
Ketika fajar menyingsing, laporan itu akhirnya selesai. Dina mengirimkan file terakhir ke Mr. Anderson dengan rasa lega. Kini, yang bisa mereka lakukan hanyalah menunggu hasilnya.
Tiga hari kemudian, kabar itu datang. Dina menerima telepon dari Mr. Anderson yang suaranya terdengar lebih cerah dari biasanya.
“Dina, saya punya kabar baik. Laporanmu sangat meyakinkan, dan lembaga donor memutuskan untuk tidak hanya melanjutkan dana, tetapi juga memberikan tambahan anggaran untuk pengembangan lebih lanjut.”
Dina tertegun. “Mereka benar-benar memberikan tambahan?”
“Benar,” jawab Mr. Anderson. “Mereka terkesan dengan dampak nyata yang berhasil kalian capai dalam waktu sesingkat ini. Ini adalah kemenangan besar untuk desa Jatiroto dan untukmu, Dina.”
Dina menutup telepon dengan tangan gemetar. Air mata haru membasahi pipinya saat ia menatap ke luar jendela. Di kejauhan, ketiga kincir angin berputar perlahan di bawah sinar matahari pagi, seolah ikut merayakan keberhasilan ini.
Hari itu, Dina tahu bahwa perjuangan mereka belum selesai. Namun, ia juga tahu bahwa desa Jatiroto kini telah membuka pintu menuju masa depan yang lebih cerah. ***