Kepergok berduaan di dalam mobil di daerah yang jauh dari pemukiman warga membuat Zaliva Andira dan Mahardika yang merupakan saudara sepupu terpaksa harus menikah akibat desakan warga kampung yang merasa keduanya telah melakukan tindakan tak senonoh dikampung mereka.
Akankah pernikahan Za dan Dika bertahan atau justru berakhir, mengingat selama ini Za selalu berpikir Mahardika buaya darat yang memiliki banyak kekasih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon selvi serman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10.
Keesokan paginya.
Pukul setengah enam pagi Za terjaga dari tidur lelapnya. Ya, semalam Za tertidur dengan lelap, sepertinya bantalnya semalam begitu nyaman. Sepersekian detik kemudian, barulah Za tersadar jika ia berada dalam dekapan Mahardika. Gadis itu sedikit mendongakkan kepala, menatap wajah tampan yang masih memejamkan mata tersebut.
Tidak dapat dipungkiri wajah tampan Mahardika memang memikat maka tak heran banyak wanita yang terpikat oleh pesona pria itu. Hanya saja Mahardika menyalah gunakan ketampanan dengan menjadi lelaki buaya darat, begitu pikir Za. Cukup lama Za menatap wajah suaminya itu, sampai dengan beberapa saat kemudian deheman Mahardika menyadarkan Za atas tindakannya.
"Ehem...." Masih dengan mata terpejam Mahardika berdehem. "Sudah puas?." imbuh Mahardika sesaat kemudian seraya membuka mata.
"Apaan sih mas. Aku hanya ingin membangun mas, takutnya telat berangkat kerja kalau mas belum bangun juga." kelit Za. istri Mahardika itu memang memiliki gengsi setinggi gunung Everest, dan Mahardika tahu betul akan hal itu.
"Begitu rupanya....Mas pikir lagi terpesona." balas Mahardika seraya mengulum senyum. "Kalau terpesona pun nggak masalah, kamu kan istrinya mas."
"Idih...pede banget sih, mas." Kata Za sambil beranjak turun dari tempat tidur, hendak berlalu menuju kamar mandi.
Mahardika langsung melebarkan senyumnya setelah tubuh Za menghilang dibalik pintu kamar mandi. "Sejak dulu sampai sekarang kamu nggak pernah berubah Za, gengsinya tetap setinggi gunung." Gumam Mahardika di sisa senyumnya. Sekalipun Za tidak mengakuinya, tapi Mahardika meyakini satu hal, perlahan ia sudah berhasil meraih perhatian istrinya.
Setelah selesai mandi, bersiap dan juga sarapan berdua, karena papa Okta dan mama Riri belum kembali, Mahardika dan Za pun berangkat. Sebelum menuju perusahaan tentunya Mahardika mengantarkan istrinya terlebih dahulu. Setibanya di depan gerbang rumah sakit Za mengulurkan tangannya, Mahardika yang paham pun langsung menyambut uluran tangan istrinya itu.
"Sore nanti mas jemput. Jangan lagi pulang naik taksi online seperti kemarin!." Sebelum Za turun dari mobil Mahardika kembali berpesan, dan kali ini pria itu terlihat tak ingin mendengar bantahan.
"Iya." balas Za kemudian membuka pintu mobil dan berlalu memasuki gerbang rumah sakit. Melihat Za sudah memasuki gedung rumah sakit Mahardika Lantas melanjutkan perjalanannya menuju perusahaan.
"Dokter Za..." mendengar seseorang menyerukan namanya, Za lantas menghentikan langkahnya kemudian menoleh ke sumber suara.
Suster Hilda berlari kecil ke arah Za.
"Apa dokter Za kenal sama tuan ganteng? Soalnya kemarin beliau datang ke sini nyariin dokter." Hilda yang sejak kemarin hampir mati karena penasaran, lantas langsung bertanya kepada Za tanpa banyak basa-basi.
"Tuan ganteng?." Cicit Za dengan dahi berkerut.
"Maksudnya tuan Mahardika, dok." Hilda memperjelas siapa yang ia maksud. "Apa dokter Za kenal dengan tuan Mahardika?." Dari mimik wajahnya terukir jelas jika gadis itu sangat penasaran dan tak sabar menunggu jawaban dari Za.
Za tak langsung menjawab, ia bingung harus jujur atau terpaksa berdusta.
"Tuan Mahardika adalah sepupu saya." jawab Zaliva yang tidak sepenuhnya berdusta karena selain suami baginya, bukankah Mahardika juga sepupunya, iya kan. Bukannya tidak ingin mengakui Mahardika sebagai suaminya, Za hanya tidak ingin menghebohkan satu gedung rumah sakit jika mengaku sebagai istri dari pemilik separuh saham di rumah sakit tersebut.
"Jadi dokter Za dan tuan Mahardika saudara sepupu. Astaga ....aku jadi malu, kemarin sudah banyak omong tentang tuan Mahardika." Hilda menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal sama sekali. pengakuan Za membuat Hilda merasa malu sendiri. Setelahnya, Za dan Hilda kembali mengayunkan langkah menuju ruang IGD, di mana keduanya bertugas.
"Untungnya kemarin dokter Yuli sudah pulang, kalau sampai beliau melihat tuan Mahardika datang ke sini mencari seorang wanita, bisa-bisa dokter Za dianggap merebut pujaan hatinya, karena nggak tau kalau dokter Za itu sepupunya tuan Mahardika." Kata Hilda. Hilda memang mengagumi sosok Mahardika yang tampan dan juga mapan, tapi untuk berharap menjadi kekasih dari pria itu tentu saja tidak karena Hilda cukup tahu diri. Berbeda dengan salah seorang dokter yang juga bekerja di rumah sakit tersebut, Dokter Yuli, gadis yang berprofesi sebagai dokter spesialis anak tersebut menaruh hati bahkan dengan penuh percaya diri mengatakan hanya dirinya yang paling pantas mendampingi Mahardika.
"Dokter Yuli?." Cicit Za. entah mengapa setelah mendengar penyampaian Hilda, Za jadi penasaran pada rekan sejawatnya itu.
"Dokter Yuli itu dokter spesialis anak yang juga bekerja di rumah sakit ini. Beliau sudah lama sekali naksir sama tuan Mahardika, tapi sayangnya nggak pernah diladeni sama tuan Mahardika. Tetapi dasarnya dokter Yuli nggak tahu malu, setiap kali tuan Mahardika berkunjung ke rumah sakit ini untuk bertemu Dirut RS, dokter Yuli selalu saja mencari-cari alasan biar bisa masuk ke rumah Dirut, biar bisa caper sama tuan Mahardika." Mengingat sikap tak tahu malu dokter Yuli, sebagai sesama wanita Hilda jadi malu sendiri.
Dari panjangnya penjelasan Hilda tadi, hanya penolakan Mahardika yang menarik ditelinga Za. Tidak meladeni bukankah sama artinya dengan menolak, begitu pikir Zaliva. Bukankah sejak dulu Mahardika itu lelaki buaya darat, lalu kenapa ia menolak wanita yang menyukainya? Hingga tiba di ruangannya bertugas, Za masih sibuk dengan pemikirannya sendiri, untungnya pagi ini tak banyak pasien yang datang ke IGD. Tak lupa sebelum memasuki pintu utama ruangan IGD beberapa saat yang lalu, Za meminta Hilda untuk merahasiakan dari siapapun jika ia dan Mahardika merupakan saudara sepupu, dan Hilda mengiyakannya.
Za berdiri dari duduknya ketika melihat seorang ibu menggendong anaknya tiba di ruang IGD. Dengan sigap Za meminta si ibu untuk membaringkan anaknya ke tempat tidur pasien, lalu mengarahkan stetoskop yang menggantung di lehernya ke beberapa bagian tubuh pasien.
"Sepertinya pasien harus segera mendapat pemeriksaan lanjutan dari dokter spesialis anak. Saya khawatir pasien akan mengalami kejang jika tidak segera mendapatkan penanganan yang tepat." Jelas Za pada salah seorang dokter senior di ruangan tersebut, setelah melakukan pemeriksaan. Kondisi pasien yang sedang demam tinggi mengharuskan pasien segera mendapat pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter spesialis, takutnya mengalami kejang jika terlambat.
"Anda benar dokter Zaliva. Kalau begitu segera hubungi dokter spesialis anak!." dalam kondisi darurat seperti ini, dokter yang bertugas di IGD segera menghubungi dokter spesialis untuk melakukan visit lanjutan pada pasien. Ini adalah salah satu kinerja terbaik di rumah sakit ini, jika ada pasien yang harus mendapatkan penanganan lanjutan para tim dokter sigap dalam memberi pelayanan, terutama para dokter spesialis.
Tak Lama berselang, seorang wanita cantik berjas putih tiba di ruang IGD.
"Dr Yuli Sp.Anak." batin Za ketika membaca name tag yang tertera di da-da kanan dokter wanita tersebut. Sebagai dokter di IGD yang menangani pasien tersebut Za pun bertanggung jawab merujuk pasien pada dokter spesialis, menjelaskan kondisi pasien berdasarkan hasil pemeriksaan sementara.
"Cantik sih, tapi lumayan angkuh." batin Za setelah cukup lama berkomunikasi langsung dengan dokter Yuli.
bener nih kata papa Okta,baru juga ditinggal sebentar udah sedih...
gimana nanti jika pisah beneran...