Riana pikir kakaknya Liliana tidak akan pernah menyukai suaminya, Septian. Namun, kecurigaan demi kecurigaan membawanya pada fakta bahwa sang kakak mencintai Septian.
Tak ingin berebut cinta karena Septian sendiri sudah lama memendam Rasa pada Liliana dengan cara menikahinya. Riana akhirnya merelakan 5 tahun pernikahan dan pergi menjadi relawan di sorong.
"Kenapa aku harus berebut cinta yang tak mungkin menjadi milikku? Bagaimanapun aku bukan burung dalam sangkar, aku berhak bahagia." —Riana
Bagaimana kisah selanjutnya, akankah Riana menemukan cinta sejati diatas luka pernikahan yang ingin ia kubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Riana sudah mengumpulkan keberaniannya untuk bertanya pada sang kakak tentang apa yang baru saja ia lihat. Sayangnya, tepat setelah kalimat itu terlontar, sambungan telepon terputus begitu saja.
Ia menatap layar ponselnya dengan dada berdebar, lalu buru-buru mengalihkan pandangan ke arah butik tempat ia melihat suami dan kakaknya tadi. Namun, bayangan keduanya sudah lenyap, hilang di antara keramaian mal.
“Ke mana mereka?” bisiknya lirih pada diri sendiri. Rasa penyesalan langsung menghantam, kenapa tadi ia tak segera mengabadikan momen itu, dan sekarang kesempatan sudah terlewat begitu saja.
“Apa aku salah lihat?” Riana menggelengkan kepala keras-keras, mencoba menepis keraguan. Suaranya lirih, nyaris tak terdengar. “Tidak… aku lihat dengan sangat jelas. Itu Kak Lili… sama Mas Septian.”
Saat Riana masih tenggelam dalam kebingungan, sebuah tepukan ringan di pundaknya membuatnya tersentak.
“Riana, apa yang kamu lakukan di sini? Aku cari kamu dari tadi,” suara Liliana terdengar lelah namun datar.
Riana membalikkan badan dengan jantung berdebar. Matanya menyapu sosok kakaknya dari atas sampai bawah. Tidak ada belanjaan di tangannya, hanya wajah pucat dengan gurat kelelahan yang jelas terlihat.
“Riana,” panggil Liliana lagi sambil menggoyangkan tangan di depan wajah adiknya yang masih terpaku.
“Hah? Eh… Kak,” Riana berusaha menguasai diri. “Apa toilet benar-benar antri? Terus… tadi kenapa ponselmu langsung mati?”
Liliana menghela napas sebentar, lalu tersenyum tipis. “Maaf ya… tadi kebetulan aku langsung masuk ke bilik, jadi sinyalnya jelek. Suaramu juga nggak jelas, makanya aku matikan.” Ia kemudian menoleh ke arah kereta dorong, matanya berbinar. “Wah… kamu sudah belikan semua keperluan Lira? Ya ampun… Riana, terima kasih banyak.”
Riana memaksakan senyum, tapi matanya tak bisa berbohong. Ada sesuatu yang terasa janggal. Kata-kata Liliana terdengar masuk akal, tapi bayangan yang ia lihat tadi jelas-jelas bukan halusinasi.
“Kenapa Kak Lili kelihatan capek banget?” Riana akhirnya bertanya, mencoba menggali.
Liliana terdiam sepersekian detik, lalu tertawa kecil sambil merapikan rambutnya. “Ya biasalah, namanya antri lama, bikin pegal. Kamu ini, kenapa nanya aneh-aneh sih?”
Riana menunduk, berpura-pura sibuk membereskan kantong belanja. Dalam hati, ia justru semakin yakin ada yang disembunyikan. Kalau benar cuma ke toilet, kenapa wajahnya setegang itu?
“Ya sudah, ayo kita pulang,” ucap Liliana cepat, seolah ingin mengakhiri pembicaraan. Ia meraih gagang kereta dorong Lira, tapi Riana menahan dengan tangannya.
“Kak…” suara Riana bergetar, matanya menatap lekat ke wajah kakaknya. “Kamu beneran cuma dari toilet, kan?”
Liliana menarik napas panjang, lalu menatap adiknya dengan sorot mata yang sulit ditebak. Ada sekelebat ketidaksukaan di sana, namun segera ia balut dengan senyum tipis.
“Tentu saja tidak. Tadi aku jalan-jalan sama suamimu.”
Riana terperanjat. “Apa?”
Liliana langsung terkekeh, menepuk pelan lengan Riana. “Hahaha… itu kan yang kamu pikirkan, ya? Haduh, Ri… kamu kebanyakan nonton film deh. Mana mungkin aku jalan-jalan sama Septian terus ninggalin kamu sama Lira.”
Ia menunduk sebentar, jemarinya menyentuh lembut kepala Lira di dalam kereta dorong. Suaranya melembut, “Kamu tahu kan, Lira itu hidupku. Aku nggak mungkin macam-macam.”
Riana masih terdiam, mencoba mencerna kata-kata kakaknya. Liliana buru-buru menambahkan dengan nada menghibur, “Sudahlah, jangan kesal lagi. Kakak beliin baju di butik itu, anggap sebagai tanda terimakasih karena sudah jagain Lira. Oke?"
Riana mengangguk sambil tersenyum tipis, mencoba menelan bulat-bulat kata-kata kakaknya. Namun entah kenapa, hatinya masih menolak percaya meski logikanya memaksa untuk diam.
***
Waktu yang dijanjikan Septian akhirnya tiba. Meski tubuhnya letih setelah seharian berkeliling mal dan mengurus rumah, Riana tetap menepati janji. Ia mengenakan gaun yang sudah dipilihkan Liliana, hati berdebar tak menentu. Ada rasa tak sabar ingin tahu kejutan apa yang disiapkan sang suami, meski di sisi lain hatinya menyiapkan diri pada kemungkinan terburuk, bahwa semua ini tidak akan berakhir bahagia.
“Wow, kamu cantik sekali, Riana. Pasti Septian bakal klepek-klepek lihat kamu,” puji Liliana sambil tersenyum puas setelah selesai merias wajah adiknya.
Riana menunduk malu. Jemarinya menggenggam ujung gaun, matanya menatap pantulan dirinya di cermin. “Apa ini nggak berlebihan, Kak?” tanyanya ragu.
Saat ini Riana mengenakan gaun selutut berwarna krem lembut dengan detail renda sederhana, dipadukan dengan riasan tipis yang menonjolkan kesan natural. Rambutnya digerai dengan sedikit ikal di ujung, membuat wajahnya terlihat lebih lembut.
“Berlebihan gimana? Justru pas. Kamu harus tampil cantik malam ini. Sekali-sekali Septian harus sadar kalau punya istri seanggun kamu,” ucap Liliana sambil menepuk bahu adiknya.
Riana tersenyum tipis, ucapan itu terasa menenangkan, harusnya ia tidak perlu menaruh curiga berlebihan pada sang kakak. Lagipula kasih sayang Liliana padanya gak pernah berubah dari dulu. Jika memang malam ini Septian membuatnya kecewa lagi, tidak apa-apa ia menyerah, karma akan datang pada Septian, bagaimanapun cinta lelaki itu tidak akan pernah terbalas.
"Terimakasih, Kak. Kalau gitu aku jalan dulu, ini hampir telat," pamit Riana yang langsung diberikan anggukan kepala Liliana.
Hanya butuh setengah jam Riana samapai ditempat itu. Restoran X tampak megah dengan cahaya lampu temaram dan dentingan musik klasik yang mengalun pelan. Riana melangkah masuk, langkahnya tertata hati-hati.
Pelayan menyambut ramah, "Reservasi atas nama siapa Bu?"
"Septian Prawira," jawab Riana.
"Oh, Ibu Riana Calista Putri?" Melihat Riana mengangguk pelayan itu menuntunnya ke meja yang telah dipesan atas nama Septian.
Sebuah meja dengan lilin dan bunga segar sudah tertata indah. Riana menarik kursi perlahan dan duduk. Degup jantungnya berpacu dengan jarum jam.
"Mas Septian, kamu benar-benar membuatku terkejut," ucapnya mengagumi selera Septian untuk memberikan kejutan padanya. Karena Septian belum datang ia menunggu.
Sepuluh menit berlalu. Segelas air putih sudah ia habiskan.
Dua puluh menit berlalu. Pelayan beberapa kali datang menawarkan menu, tapi ia menolak, berharap Septian yang memesan.
Tiga puluh menit… Riana mulai menggenggam erat tas kecilnya. Jemarinya bergetar, bibirnya menahan senyum getir. Mungkin dia terjebak macet, mungkin ada urusan kantor mendadak. Ia mencoba menenangkan diri dan meyakinkan untuk berbagai kemungkinan.
Satu jam.
Sepasang suami istri di meja sebelah sudah menghabiskan hidangan utama mereka, tertawa bersama, sementara Riana masih menunggu sendirian. Matanya mulai panas, tapi ia menunduk, tak ingin air mata jatuh di tempat umum.
Pelayan mendekat dengan raut simpati. “Maaf, Bu, apakah suaminya masih menyusul? Atau ingin pesan sesuatu dulu?”
Riana tersenyum kaku. “Tidak usah… saya tunggu sebentar lagi.” Suaranya hampir tak terdengar.
Ponselnya ia genggam erat. Ia membuka layar berkali-kali, berharap ada pesan masuk. Tapi layar itu tetap kosong, tidak ada kabar, tidak ada penjelasan.
"Maaf Bu, restoran hampir tutup. Ibu yakin gak mau menelpon suaminya dulu, mungkin kami bisa menunggu karena Pak Septian sudah jadi member VIP," tanya pelayan itu.
Riana menggeleng, membuat pelayan itu menarik napas berat seolah ingin berkata kasian. Namun, suara Riana terdengar, "Jika aku adalah semestanya, tidak perlu merengek hanya untuk mendapatkan kabar. Jika aku semestanya dia akan menepati janjinya."
Akhirnya, Riana berdiri. Kursi berderit pelan saat ia dorong ke belakang. Lilin di meja masih menyala karena diganti berulang kali, seolah mengejek—meskipun harapan itu ada tapi ia tidak akan pernah mendapatkannya.
Ia pun berjalan keluar meninggalkan restoran, dalam perjalanan ia berbisik lirih pada dirinya sendiri, “Selamat menikmati kejutan, Riana. Kejutan yang bahkan tak pernah datang.”
Malam itu, di trotoar depan restoran yang mulai sepi, Riana membiarkan setetes air mata jatuh. Rasanya hampa, getir, dan menusuk hingga ke tulang.
"Mas Septian, ini terakhir kalinya aku meneteskan air mataku untukmu."