Narecha memilih untuk melarikan diri dari kehidupannya penuh akan kebohongan dan penderitaan
Lima tahun berselang, Narecha terpaksa kembali pada kehidupan sebelumnya, meninggalkan berjuta kenangan indah yang dia ukir ditempat barunya.
Apakah Narecha sanggup bertahan dengan kehidupannya yang penuh dengan intrik?
Di tengah masalah besar yang terjadi padanya, datang laki-laki dari masa lalunya yang memaksa masuk lagi dalam kehidupannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ssintia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Datang
...••••...
Sore harinya, rombongan pendakian itu turun lagi di karenakan memang tidak berniat untuk bermalam lebih dari satu hari.
Seperti biasa, Echa memilih untuk berjalan paling belakang dan seperti biasa juga dengan Javas yang menemani. Padahal Echa tidak memintanya sedikitpun.
Tapi kali ini Echa tidak terlalu menanggapi perkataan Javas di karenakan setelah pendakian ini bukankah mereka tidak akan bertemu lagi.
"Nanti dijemput atau bagaimana?" Javas membantu Echa yang lagi-lagi hampir tergelincir.
Selain karena cuacanya yang mendung, siang tadi juga sedikit gerimis mengakibatkan tanah yang dipijak basah dan licin membuat mereka harus ekstra berhati-hati dalam memilih langkah.
"Iya," lebih baik Echa iyakan saja agar cepat meskipun belum tahu akan bagaimana dirinya pulang.
"Oh, oke." Sepertinya Javas mulai menyadari jika Echa menjaga jarak dengan berbicara seadanya saja.
Entah kesalahan apa yang tidak sengaja Javas lakukan hingga membuat Echa berubah dingin seperti ini. Pokoknya Javas tidak boleh menyerah untuk mendekati wanita yang sejak awal menarik perhatiannya ini.
Echa benar-benar sangat cocok sesuai dengan tipe idealnya dalam wanita.
Dan jika sudah menemukan yang sesuai seperti ini Javas tidak boleh untuk diam saja bukan?
Javas harus bergerak cepat agar tidak kalah cepat dari orang lain yang sama sepertinya.
Tidak tahu saja Javas jika Echa sudah ditandai oleh seseorang yang tidak akan pernah melepaskan apa yang sudah menjadi miliknya barang sedikitpun.
Setelah tiba di bawah, satu persatu orang mulai pulang. Ada yang dijemput, dan ada juga yang membawa kendaraan masing-masing.
Sedangkan Echa memilih untuk menaiki Go-Jek. Setelah memikirkannya, lebih baik Echa menginap saja sehari di hotel. Karena tidak memungkinkan untuknya langsung pulang mengingat jika tubuhnya sudah lelah dan menjerit untuk diistirahatkan.
"Kamu tidak mau bareng saja?" kebetulan juga Javas membawa motor dan menawari Echa yang duduk di sebuah bangku kayu.
"Tidak usah, itu teman kamu sudah menunggu." Echa melihat seorang wanita yang tengah menatap kearah keduanya dengan tatapannya yang tajam membuat Echa langsung mengerti akan situasi yang terjadi.
Javas adalah orang yang harus Echa jauhi sejauh-jauhnya jika tidak ingin dirinya mendapatkan masalah.
"Ya sudah kalau begitu, boleh aku minta nomor kamu?"
Javas menyodorkan ponselnya didepan Echa membuat wanita itu tidak bisa lagi menolaknya setelah sebelumnya dia menolak memberikan nomornya dengan berbagai alasan.
Saat Echa akan mengambilnya ponsel Javas, suara klakson mobil yang memekakkan telinga terdengar membuat perhatian keduanya teralih.
Echa melihat sebuah Rubicon hitam berdiri dengan gagah tidak jauh dari posisi keduanya.
Orang kurang kerjaan mana yang membunyikan klakson mobil seperti itu, batin Echa bertanya-tanya.
Lalu keluar seorang pria dari balik kemudi membuat mata Echa melotot begitu tahu siapa sosoknya.
Pram, pria itu berjalan kearah keduanya dengan langkahnya yang tegas dan penuh akan percaya diri.
Hari ini Pram terlihat begitu berbeda. Tidak ada lagi pakaian formal yang sehari-hari dipakainya. Hari ini pria itu mengenakan polo t-shirt putih yang ditutupi jaket kulit hitam dan celana panjang berwarna serupa membalut tubuh besarnya.
Jangan lupakan juga kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya.
Echa benar-benar tidak percaya jika sosok yang kini berada di depannya adalah Pram. Sosok yang dihindarinya, dan sialnya kini malah ada didepannya.
"M-mas?" Echa berdiri dengan perasaan gugup membuat Javas yang masih berada di sana menebak-nebak situasi yang tengah terjadi.
Kemungkinan yang paling besar dipikirannya membuat Javas mencoba untuk tidak mempercayai asumsinya sendiri akan siapa sosok pria disampingnya yang sejak awal kedatangannya tidak melepas sedikitpun tatapannya dari Echa.
Meskipun mata itu tertutupi kacamata hitam, tapi Javas bisa melihatnya dengan jelas.
"Ayo pulang," Pram mengulurkan tangannya pada Echa yang tidak disambut wanita itu.
"Mas kenapa," Echa terlihat menggelengkan kepalanya pelan dan itu terlihat di mata Pram yang menaikkan satu alisnya melihat kelakuan wanita nakalnya.
"Javas kamu bisa pulang, aku sudah tidak sendiri sekarang."
Meskipun terlihat enggan meninggalkan Echa dengan sosok yang membuatnya merasa terintimidasi oleh auranya, tapi Javas menuruti perkataan Echa untuk pulang.
Meskipun kali ini Javas meninggalkan Echa, tapi bukan berarti niatnya untuk mendekati wanita itu sirna. Malah dia semakin penasaran akan sosoknya.
Masih banyak kesempatan yang bisa Javas manfaatkan. Untuk nomor ponselnya sendiri nanti bisa Javas tanyakan pada Melania.
Setelah Javas menghilang, Echa kini memusatkan perhatiannya pada Pram yang tidak melepas sedikitpun tatapan darinya.
"Mas kenapa bisa ada disini?" Echa sungguh tidak mengerti, bagaimana bisa Pram mengetahui keberadaannya disaat Echa sendiri pergi diam diam.
Atau apakah Lania yang memberitahukannya, tapikan sudah Echa katakan pada gadis itu agar tidak memberitahukan kepergiannya pada siapapun yang mencarinya.
"Lebih baik kita masuk mobil," Pram menggenggam tangan Echa lembut dan menuntunnya untuk masuk kedalam mobil.
Udara yang semakin dingin terasa mulai menusuk. Echa yang mengenakan kaus tipis meskipun panjang mulai terlihat kedinginan dan Pram menyadari hal itu.
Sebelum masuk ke bangku kemudi, Pram terlihat mengambil sesuatu dari bangku belakang. Dan Echa tidak bisa melihat apa yang pria itu ambil karena terhalang.
Hingga tidak lama kemudian Pram masuk dengan sebuah selimut ditangannya.
"Lepas dulu ranselnya," Echa menuruti permintaan Pram dengan melepaskan ranselnya lalu dia simpan di bangku tengah.
Tidak Echa duga, Pram memasangkan selimut itu ke tubuhnya membuat tubuhnya menegang sejenak sebelum menguasainya kembali.
"Mas badanku bau," protes Echa yang akan membuka lilitan selimut ditubuhnya tapi berhasil Pram tahan.
"Dingin Narecha," inginnya mengiyakan perkataan Pram jika memang saat ini udara semakin dingin tapi gengsinya yang begitu tinggi membuat Echa hanya diam tanpa bersuara.
"Mas kenapa bisa ada disini?" Echa kembali mengulang pertanyaan yang belum dijawab Pram.
"Karena kamu disini." Jawab Pram dengan tenang membuat Echa mengerutkan keningnya karena bukan itu jawaban yang ingin dia dengar.
Tapi karena sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk bertanya, Echa memilih untuk diam saja dengan menyadarkan kepalanya pada jendela.
Tubuhnya benar-benar sudah lelah dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Tidak biasanya Echa seperti ini. Padahal dulu Echa sampai beberapa hari mendaki tapi dia tidak pernah sampai seperti ini.
Hingga tanpa sadar jika Echa menutup matanya perlahan dan lama-kelamaan terlelap sepenuhnya.
Pram yang tidak lagi mendengar Echa bersuara melihat mata wanitanya yang sudah tertutup dengan kepala menyandar pada kaca.
Pram mengentikan mobilnya sejenak. Memajukan tubuhnya untuk membenarkan posisi tidur Echa yang tidak nyaman. Pram juga merendahkan kursi agar Echa tidur dengan nyaman.
Tidak lupa juga Pram membenarkan selimut yang membalut tubuh Echa agar tidur dengan nyaman ditengah cuaca yang semakin dingin.
...••••...