Permainan anak kecil yang berujung menjadi malapetaka bagi semua murid kelas 12 Ips 4 SMA Negeri Bhina Bhakti.
Seiring laporan dari beberapa orang tua murid mengenai anaknya yang sudah berhari-hari tidak pulang ke rumah. Polisi dan tim forensik langsung bergegas untuk mencari tahu, tidak ada jejak sama sekali mengenai menghilangnya para murid kelas 12 yang berjumlah 32 siswa itu.
Hingga dua minggu setelah laporan menghilangnya mereka tersebar, tim investigasi mendapat clue mengenai menghilangnya para siswa itu.
"Sstt... jangan katakan tidak jika kamu ingin hidup, dan ikuti saja perintah Simon."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cakefavo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
- Mayat Hidup
Setelah suara perempuan itu tidak terdengar lagi, Kanin dan beberapa siswi lainnya menghampiri Michael dan langsung memeluknya, mengucapkan kata-kata terima kasih dengan begitu tulus, Hannah yang melihat itu semua hanya terdiam dan memutar matanya.
"Dia yang udah selamatin kita, seenggaknya lu harus berterima kasih." ucap Chaiden di sampingnya, laki-laki itu menggeleng pelan lalu menghampiri Michael dan yang lainnya.
"Tch, ini cuman karena beruntung aja."
Alin memeluk Michael sambil merengek, dia benar-benar ketakutan karena permainan ini, sedangkan Axel menatap tubuh Vino yang tidak bergerak di atas papan ular tangga. Dengan urat-urat wajah yang menonjol, Yaksa menghampiri Yahezkael dan memegang kedua pundak laki-laki itu dengan cukup kuat, giginya mengatup dan rahangnya mengeras.
"Kalau lu nggak nge dorong dia, mungkin dia bakalan selamat!" bentaknya.
Yang lainnya terdiam, udara berubah menjadi tegang saat yang lainnya memperhatikan Yaksa dan juga Yahezkael, Yaksa ingin sekali memukul wajah bajingan itu, melihatnya yang hanya menyeringai tanpa merasa bersalah sedikit pun, itu sama saja seperti pembunuhan baginya.
"Heh lu gak usah nyalahin temen gue," sahut Rean sambil menghampirinya dan berdiri tepat di belakang Yaksa.
"Gue ngeliat jelas kalau dia nge dorong Vino!" teriak Yaksa sambil menoleh kebelakang untuk menatap Rean.
Axel menghembuskan nafas karena lelah, tidak hanya lelah secara fisik tetapi secara emosional juga. Selain harus mengurus dirinya sendiri, Axel pun harus menanggung beban teman-temannya, sebagai ketua kelas dia harus berani bertanggung jawab dan melindungi teman-temannya dalam situasi ini.
"Cukup, gak usah berantem lagi..."
"Kita semua capek, lebih baik kita balik ke kelas terus istirahat." sahut Kanin yang langsung di setujui oleh yang lainnya.
Yaksa maju beberapa langkah, mendekati Rean dan kemudian berbisik di telinganya dengan pelan sehingga hanya Rean yang bisa mendengar bisikannya itu.
"Gue tau lu benci sama Vino, tapi sejauh ini lu udah keterlaluan, lu sama temen-temen lu itu gak jauh dari kata seorang pembunuh, kalian cuman sampah yang cuman bisa nge bebanin orang lain."
Saat yang lainnya bersiap-siap untuk kembali ke kelas, Michael menghentikan langkahnya yang membuat Denzzel pun berhenti, dia menatap sahabatnya dengan wajah penuh kebingungan.
"Lu baik-baik aja?" tanya Denzzel.
Michael mengendus-endus badan Denzzel dan juga dirinya sendiri lalu kembali menatap laki-laki itu dengan kerutan yang dalam di keningnya. "Lu ada nyium bau amis gak?" tanyanya yang membuat Denzzel terdiam, beberapa detik kemudian dia pun menggeleng pelan.
Axel yang sudah berjalan di depan mereka seketika berhenti setelah mendengar pertanyaan gadis itu, dia berbalik untuk melihat Michael dan Denzzel, begitu pun yang lainnya.
"Ada apa?" tanya Axel.
"Kata Michael, dia nyium bau amis..." jawab Denzzel sambil menatap Axel.
"Bau amis?" gumam Kanin.
Yang lainnya pun segera mengendus badan mereka masing-masing atau pun sekitar, salah satu dari mereka tidak mencium apapun seperti yang di katakan oleh Denzzel tadi.
"Kita harus cari Alifa, setidaknya kita harus bikin dia berhenti," kata Kanin.
Axel mengangguk setuju, dia pun kembali berjalan menyelusuri lorong untuk pergi ke kelas, begitu pun dengan yang lainnya. Baru beberapa langkah, mereka kembali berhenti saat mendengar suara geraman seperti hewan buas, Rean dan Yahezkael saling memandang sedangkan yang lainnya bersembunyi di belakang Axel karena takut. Axel kemudian berjalan beberapa langkah, pandangannya fokus menatap lurus ke lorong yang gelap di depannya, Kanin yang berada di sampingnya segera mencengkram lengan Axel saat laki-laki itu hendak pergi memeriksanya.
Tatapan Axel melembut saat menatap Kanin, dia dengan perlahan melepaskan cengkraman tangan gadis itu lalu kembali maju beberapa langkah.
Kerutan kecil di keningnya dapat terlihat saat Axel mendapati sesuatu yang bergerak-gerak di lorong yang gelap itu, suara langkah kaki dan geraman yang terdengar semakin dekat dan dekat membuatnya menjadi waspada, tanpa sadar Denzzel menggenggam pergelangan tangan Michael untuk melindunginya.
"LARII!" teriak Axel yang membuat mereka terkejut dan bingung.
"Sialan, apa lagi sekarang?!" umpat Rean yang langsung berlari meninggalkan mereka, di susul oleh Yahezkael dan juga Reygan.
Mata Kanin melebar saat melihat Axel yang di serang oleh beberapa temannya. Tunggu... bukankah mereka semua telah meninggal karena di eksekusi oleh Simon? lalu mengapa mereka kembali hidup dan kini malah menyerang Axel.
"Guys, lepasin Axel..." lirih Kanin dengan mata yang berkaca-kaca saat melihat bagaimana mereka menggigit Axel, Kanin melangkah untuk mendekati temannya itu tetapi dengan cepat Yaksa memegang tangan Kanin dan menariknya untuk berlari meninggalkan tempat itu, Denzzel pun melakukan hal yang sama dan berlari untuk menghindari kejaran dari teman-temannya yang berubah menjadi mengerikan itu.
Dengan nafas yang tersengal-sengal, Rean memasuki ruangan bimbingan konseling dan langsung menutup pintunya rapat-rapat, kedua pundaknya bergetar hebat saat dia duduk di lantai. Matanya berkaca-kaca saat kepalanya bersandar di pintu, dia mengangkat kedua tangannya dan mengusap wajahnya dengan kasar, omongan Yaksa beberapa menit yang lalu terngiang-ngiang di otaknya, ya... dia sama saja seperti seorang pembunuh. Bahkan, dalam situasi seperti ini dia masih selalu merundung Vino dan yang lainnya.
Disisi lain, Alin terjatuh saat dia berlari di belakang Hannah, dia menangis dan mengulurkan tangannya untuk meminta bantuan kepada gadis itu.
"B-bantuin gue..."
Hannah mengumpat, saat dia hendak mendekati Alin, dia melihat beberapa mayat teman-temannya yang hidup kembali berlari menghampiri mereka berdua, dia berdecak frustasi lalu tanpa berpikir panjang berlari meninggalkan Alin sendirian di sana.
"Hannah, tolongin gue!" teriak Alin.
Hannah sama sekali tidak menoleh kebelakang, dia memasuki salah satu ruangan kelas yang kosong dan langsung mengunci pintunya rapat-rapat, dia menghembuskan nafasnya dengan kasar lalu menarik rambutnya sendiri karena frustasi. Beberapa detik kemudian, dia melihat sekeliling ruangan kelas yang gelap, dia mendengar suara seseorang yang sedang memakan sesuatu, perlahan dia melangkah mendekati meja guru.
"Livy..." dia mundur saat melihat Livy yang sedang memakan sesuatu, wajahnya begitu berantakan karena darah, Livy yang mendengar suara itu lantas berdiri dan melangkah mendekatinya.
"G-gue..." geraman Livy membuat Hannah ketakutan, bagaimana rambutnya yang gimbal dan aroma tubuhnya yang berbau amis itu membuat Hannah mual, tak lama kemudian Livy berlari dan mencakar wajah Hannah membuat gadis itu berteriak kesakitan, Hannah mengerang saat Livy menggigit sisi wajahnya sehingga kulit gadis itu ikut tertarik.