Liu Wei, sang kultivator bayangan, bangkit dari abu klannya yang dibantai dengan Pedang Penyerap Jiwa di tangannya. Dibimbing oleh dendam dan ambisi akan kekuatan absolut, dia mengarungi dunia kultivasi yang kejam untuk mengungkap konspirasi di balik pembantaian keluarganya. Teknik-teknik terlarang yang dia kuasai memberinya kekuatan tak terbayangkan, namun dengan harga kemanusiaannya sendiri. Di tengah pertarungan antara takdir dan ambisi, Liu Wei harus memilih: apakah membalas dendam dan mencapai keabadian lebih penting daripada mempertahankan sisa-sisa jiwa manusianya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pralam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Pedang Kembar
Fajar belum sepenuhnya menyingsing saat Liu Wei merasakan getaran familiar dari Pedang Penyerap Jiwa. Di sampingnya, Guru Feng dan Biksu Hui Chen masih tertidur - kelelahan setelah seharian mengintai pergerakan Sekte Awan Hitam.
Dengan hati-hati, Liu Wei mengeluarkan pedangnya dari sarung. Cahaya keemasannya tampak lebih redup dari biasanya, tapi ada denyut energi yang lebih kuat - seolah pedang itu mencoba memberitahu sesuatu pada tuannya.
"Kau merasakannya juga, bukan?" Liu Wei berbisik pada pedangnya. "Saudaramu sudah dekat."
Seolah menjawab, Pedang Penyerap Jiwa bergetar lebih kuat. Tiba-tiba, dunia di sekitar Liu Wei berputar dan memudar.
Dia berdiri di sebuah ruangan yang tidak dia kenal - sebuah altar dengan pilar-pilar obsidian yang menjulang tinggi. Di tengahnya, Lin Xiao Mei berlutut, tangannya terantai dengan rantai qi hitam. Dan di hadapannya...
"Pedang Pembakar Surga," suara dalam kepala Liu Wei - yang dia kenali sebagai suara Kaisar Bayangan - bergema. "Saudara sekaligus musuh abadi Pedang Penyerap Jiwa."
Pedang itu melayang di udara, memancarkan aura merah darah yang kontras dengan aura keemasan Pedang Penyerap Jiwa. Tapi ada sesuatu yang aneh - seolah pedang itu... menderita.
"Mereka memaksakan ikatan yang tidak alami," Kaisar Bayangan menjelaskan. "Gadis itu bukan wadah yang ditakdirkan untuk Pedang Pembakar Surga. Dan karena itu... kedua-duanya menderita."
Liu Wei tersentak kembali ke realitas, keringat dingin membasahi keningnya. Di sampingnya, Guru Feng sudah bangun, menatapnya dengan khawatir.
"Visi lagi?" sang guru bertanya lembut.
Liu Wei mengangguk. "Aku tahu di mana mereka menyimpan Pedang Pembakar Surga," dia berkata sambil bangkit. "Dan aku tahu kenapa mereka membutuhkan ritual itu."
Hui Chen, yang rupanya juga sudah bangun, mendekat. "Ceritakan."
"Pedang Pembakar Surga menolak Xiao Mei sebagai wadahnya," Liu Wei menjelaskan. "Tapi Sekte Awan Hitam tidak peduli. Mereka akan menggunakan Ritual Pembalikan Surga dan Bumi untuk memaksakan ikatan itu... bahkan jika itu berarti menghancurkan jiwa Xiao Mei dalam prosesnya."
Guru Feng mengerutkan kening. "Tapi kenapa mereka begitu ngotot dengan gadis itu? Surely ada kultivator lain yang lebih cocok..."
"Karena," Liu Wei memotong, matanya menyipit, "mereka tidak menginginkan wadah yang cocok. Mereka menginginkan wadah yang bisa mereka kendalikan." Dia berhenti sejenak. "Dan siapa yang lebih mudah dikendalikan daripada seseorang yang sudah kehilangan segalanya?"
Keheningan yang menyusul terasa berat dengan pemahaman. Sekte Awan Hitam telah merancang semua ini - pembunuhan Lao Tianwei, pengkhianatan yang dirasakan Xiao Mei - semua untuk menciptakan wadah yang sempurna dalam kepedihan dan dendamnya.
"Kita harus bergerak sekarang," Liu Wei akhirnya memecah keheningan. "Aku bisa merasakan Pedang Pembakar Surga... dan dia membutuhkan pertolongan."
Hui Chen mengangkat alisnya. "Kau ingin menyelamatkan pedang yang menjadi sumber kekacauan ini?"
"Pedang Pembakar Surga bukan musuh kita," Liu Wei menjawab, tangannya menggenggam erat Pedang Penyerap Jiwa. "Dia korban, sama seperti Xiao Mei. Dan mungkin... mungkin dengan menyelamatkannya, kita bisa menyelamatkan Xiao Mei juga."
Mereka bergerak dalam kegelapan terakhir sebelum fajar, mengikuti koneksi samar antara kedua pedang kembar. Setiap langkah membawa mereka lebih dekat ke jantung teritorial Sekte Awan Hitam.
Di sebuah tikungan, mereka nyaris berpapasan dengan patroli. Liu Wei menarik kedua rekannya ke balik batu besar, napas mereka tertahan. Saat para penjaga lewat, mereka bisa mendengar percakapan mereka.
"...Ketua Sekte tidak sabar. Dia ingin ritual dimulai malam ini."
"Tapi bulan purnama masih..."
"Ada cara untuk memaksa purnama datang lebih awal. Dengan pengorbanan yang cukup..."
Setelah para penjaga berlalu, Liu Wei menoleh pada rekan-rekannya. Tidak perlu kata-kata - mereka tahu waktu mereka sudah hampir habis.
"Wei'er," Guru Feng berbisik saat mereka kembali bergerak. "Kau harus tahu... menyelamatkan pedang itu mungkin berarti..."
"Aku tahu," Liu Wei memotong. Tangannya tanpa sadar menyentuh rambutnya yang kini seputih salju. "Tapi aku sudah kehilangan masa laluku. Aku tidak akan membiarkan Xiao Mei kehilangan masa depannya."
Mereka terus mendaki dalam diam, dipandu oleh denyut lemah Pedang Penyerap Jiwa dan tekad sekuat baja Liu Wei. Karena terkadang, untuk menyelamatkan seseorang... kita harus berani menghadapi tidak hanya musuh kita, tapi juga takdir itu sendiri.
Dan di puncak gunung, dua pedang kembar - satu keemasan dan satu merah darah - menunggu untuk dipersatukan kembali, dalam harmoni atau kehancuran.