[Update tiap hari, jangan lupa subscribe ya~]
[Author sangat menerima kritik dan saran dari pembaca]
Sepasang saudara kembar, Zeeya dan Reega. Mereka berdua memiliki kehidupan layaknya anak SMA biasanya. Zeeya memenangkan kompetisi matematika tingkat asia di Jepang. Dia menerima hadiah dari papanya berupa sebuah buku harian. Dia menuliskan kisah hidupnya di buku harian itu.
Suatu hari, Zeeya mengalami patah hati sebab pacarnya menghilang entah kemana. Zeeya berusaha mencari semampu dirinya, tapi ditengah hatinya yang terpuruk, dia malah dituduh sebagai seorang pembunuh.
Zeeya menyelidiki tentang masa lalunya. Benarkah dia merupakan seorang pembunuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 | Rumah Sakit
Dalam perjalanan, hujan masih melanda, menciptakan tirisan air yang menempel di kaca mobil. Suara hujan yang deras menambah kegelisahanku di dalam mobil. Pikiran tentang Hansel menghantui setiap detik, semakin membuatku tidak nyaman. Kenapa semuanya jadi begini? Aku merasa seolah semua ini salahku. Tak peduli preman-preman jalanan itu mengejarku, aku ingin sekali melihat keadaan Hansel
Hana menatapku dengan khawatir. “Are you alright? Lu kelihatan tegang dari tadi.”
Aku menghela napas dalam-dalam. “Aku hanya merasa bersalah pada Hansel. Seharusnya aku ada di sana, menggantikannya melawan Kanara. Dia tidak seharusnya mengalami ini sendirian.”
“Dia peduli sama lu,” jawab Hana lembut. “Seharusnya gua yang bawa dia ke rumah sakit. Bukan malah ngejar si cewek brengsek itu.”
Aku merasakan Hana yang juga bersedih di dalam hatinya. Meskipun rasa cemas di dadaku masih tak kunjung reda. Ketika mobil berhenti di depan rumah sakit, hujan masih turun, menciptakan suasana suram yang seolah mencerminkan perasaanku.
.........
Setelah keluar dari mobil, kami bergegas masuk ke dalam gedung rumah sakit. Aroma rumah sakit yang khas dan kesibukan para perawat menyambut kami. Hana menggenggam tanganku saat kami berjalan menuju ruang di mana Hansel dirawat. Detak jantungku semakin cepat seiring kami mendekati pintu kamar Hansel.
Saat kami memasuki ruangan, pandanganku langsung tertuju pada sosok Hansel yang terbaring lemah di ranjang. Wajahnya pucat, dengan baju pasien yang tersingkap memperlihatkan balutan luka di perutnya. Hatiku terasa ikut tertusuk melihatnya dalam keadaan seperti ini. Rasa bersalah menyengat, membuatku ingin memeluknya dan mengatakan maaf padanya.
“Hansel,” panggilku pelan.
Dia membuka matanya perlahan, lalu tersenyum lemah. “Hey, I’m waiting for you, Zee ...”
Aku melangkah mendekat, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. “Maafkan aku, Hansel. Aku seharusnya nggak ninggalin kamu dan Hana di sekolah waktu itu.”
“Don’t worry about it,” katanya, suaranya lemah namun tetap menyenangkan. “Yang penting, gua bisa ngelindungin lu.”
Hana berdiri di sampingku,menatap percakapan kami berdua. Aku meraih tangan Hansel dan merasakan betapa dinginnya.
“Kamu harus cepat sembuh. Kami semua di sini untukmu,” ucapku pada Hansel.
“Thanks,” balasnya sedikit berbisik.
Obrolan kami terus mengalir, meskipun Hansel tampak cepat lelah. Aku menceritakan semua hal yang aku alami seharian tadi pada Hansel. Termasuk ayahnya yang datang ke mansion ku. Aku berjanji dalam hati untuk tidak merahasiakan apa pun dan membiarkannya menghadapi ini sendirian lagi.
Setelah beberapa saat, Hana meminta izin untuk keluar sejenak. “Gua mau ke kafetaria, lu mau ikut nggak, Zee?” tanyanya.
“Tidak, terima kasih. Aku lebih baik di sini menjaga Hansel,” jawabku, meski hati ini sedikit ragu.
Aku belum sempat makan makam ini, tetapi aku harus menceritakan semuanya kepada Hansel. Hana keluar ruangan, meninggalkan kami berdua dalam suasana yang cukup serius. Hanya suara detak jam dinding yang menemani obrolan kami.
“So, my dad datang ke mansion lu dan dia mengira lu yang menikam gua?” Hansel memecah keheningan dengan nada bingung.
Aku mengangguk pelan. “Iya. Apa kamu nggak ngasih tau ayahmu kalau pelakunya Sarah? Maksudku, nama asli Sarah adalah Kanara.”
“Udah. Gua udah bilang ke dia kalau lu nggak bersalah. Tapi papa gua tetap ngotot mau masukkan lu ke penjara,” kata Hansel.
Aku berpikir sejenak. “Sepertinya ayahmu tahu tentang rahasia keluargaku. Apa ada hal lain yang kamu temukan selain dokumen kasus waktu itu?”
Hansel menggeleng, tetapi matanya tiba-tiba berbinar, seolah menemukan sesuatu yang penting. “Waktu aku menyelinap ke ruang kerja papa, gua kepergok waktu papa kedatangan tamu …”
Dia berusaha mengingat kejadian itu. “… dia manggil si tamu itu Tuan Vierhalt …”
Krek …
Suara pintu yang terbuka tiba-tiba membuat kami terdiam. Pandangan kami berdua tertuju pada pintu itu.
Hansel berteriak lemah, “Hey! Ketuk dulu sebelum buka…”
Seorang pria masuk ke ruangan, dan aku langsung tertegun. Tidak percaya dengan apa yang kulihat.
“Papa?” seruku, terkejut oleh seorang pria di hadapanku.
Tuan Vierhalt, yang kupanggil papa, kini berdiri di depan kami. Dia menggenggam tanganku dan menarikku keluar ruangan.
“Pa, kenapa datang ke sini?” tanyaku, berusaha melepaskan genggamannya.
Dia tidak langsung menjawab. Ekspresinya terlihat emosi, seolah ada sesuatu yang sangat penting yang dapat mengancam kami. Saat kami melangkah menuju koridor, pikiranku melayang. Kenapa papa terlihat tidak tenang?
“Pa, apa ada yang tidak beres?” tanyaku, berusaha mendapat jawaban darinya.
“Pa! Jawab aku!” Aku menarik keras tanganku hingga terlepas dari genggamannya.
Langkah kami terhenti di koridor rumah sakit dan pandangan orang-orang mulai tertuju pada kami berdua. Ada bisikan yang tak bisa kudengar, tapi aku bisa merasakan ketidaknyamanan di koridor ini.
“Nak, ini di rumah sakit. Kita harus kembali ke mansion sekarang,” kata papa dengan tegas.
“Kembali ke mansion? Aku nggak mau kembali sebelum papa menceritakan semua masalah keluarga kita sekarang,” ujarku dengan nada mengancam, berusaha menunjukkan betapa seriusnya situasi ini bagiku.
Papa menghela napas dalam, seolah beban di pundaknya semakin berat. “Dengar, nak, ada banyak hal yang tidak boleh diceritakan. Tentang kasus yang melibatkanmu … dan tentang keluarga kita. Musuh keluarga kita bukan musuh biasa.”
Aku mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan papa. Pikiran melayang antara rasa ingin tahuku yang mendalam dan rasa takut yang mengancam. Siapa sebenarnya musuh kami? Hatiku berdebar, mengapa ada hal-hal yang tak bisa papa ungkapkan padaku?
“Papa, aku punya hak untuk tahu! Ini tentang hidupku juga!” suara hatiku berteriak, tetapi aku tahu betul bahwa mengancam papa bukanlah solusi.
Papa sudah berkorban banyak untukku. Aku bisa merasakan ketegangan yang mengikat kami berdua.
“Jika kita tidak kembali sekarang, kita semua akan dalam bahaya,” papa tetap mengalihkan topik.
Aku merendahkan nada bicaraku. “Apa maksud papa? Apa karena aku adalah seorang pembunuh? Dan papa berusaha menutupi segala kejahatanku.”
“Bukan, Zeeya tidak terlibat dengan semua masalah ini. Orang-orang itu berusaha menjatuhkan papa dengan memfitnah Zeeya, putri papa satu-satunya.”
Raut wajah papa memperlihatkan beban yang dia pikul, aku bisa merasakan betapa beratnya. Setiap kerut di dahinya dan tatapan matanya yang penuh kekhawatiran seolah menceritakan sebuah kisah panjang yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Seketika papa memelukku dengan erat, ada kehangatan dalam pelukannya yang selama ini aku dambakan. Seolah semua ketakutanku sejenak menghilang dalam pelukan, memberikan rasa aman yang begitu mendalam.
“Lalu apa yang harus kita berdua lakukan? Duduk diam dan bersembunyi bukan solusi untuk semua masalah ini,” ujarku, terlarut dalam rasa nyaman yang dia berikan.
Papa melepas pelukannya dan menatap mataku. “Tidak mudah menghadapi semua ini. Banyak mata yang mengawasi kita. Kita harus segera kembali ke mansion, tempat yang paling aman untukmu,”
Perasaan tertekan menghantui diriku. Langkahku terasa berat, seolah ada yang menghalangi untuk kembali ke mansion, yang terasa seperti sangkar.
“Ta-tapi… apa tidak bisa aku tinggal di rumah dan tetap bersekolah seperti dulu?” pintaku dengan nada memelas, berharap papa mengerti perasaanku.
“Maaf, nak. Untuk saat ini, tidak bisa. Papa berjanji, setelah kita kembali ke mansion nanti, papa akan menceritakan semua masalah itu padamu.” Suara papa terdengar lembut.
Hatiku berat, aku tahu bahwa papa melakukan ini untuk melindungiku. Dengan enggan, aku menuruti kata-kata papa, meskipun rasa ingin tahuku semakin membara, seperti bara api yang tak kunjung padam.
.........
dari judulnya udah menarik
nanti mampir dinovelku ya jika berkenan/Smile//Pray/
mampir di novel aku ya kasih nasihat buat aku /Kiss//Rose/