[Update tiap hari, jangan lupa subscribe ya~]
[Author sangat menerima kritik dan saran dari pembaca]
Sepasang saudara kembar, Zeeya dan Reega. Mereka berdua memiliki kehidupan layaknya anak SMA biasanya. Zeeya memenangkan kompetisi matematika tingkat asia di Jepang. Dia menerima hadiah dari papanya berupa sebuah buku harian. Dia menuliskan kisah hidupnya di buku harian itu.
Suatu hari, Zeeya mengalami patah hati sebab pacarnya menghilang entah kemana. Zeeya berusaha mencari semampu dirinya, tapi ditengah hatinya yang terpuruk, dia malah dituduh sebagai seorang pembunuh.
Zeeya menyelidiki tentang masa lalunya. Benarkah dia merupakan seorang pembunuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 | De Javu
Air hujan membasahi rambut dan wajahku. Aku berjalan tanpa arah, langkahku terasa berat, seakan beban di pundakku semakin bertambah seiring jauh aku meninggalkan rumah Kanara. Setiap titisan air yang menyentuh kulitku mengingatkan pada kenangan yang kulupakan, kenangan tentang Kairo dan Kian.
Ketika akhirnya aku berhenti di tepian sungai, sebatang pohon besar menjadi tempat berlindungku dari derasnya hujan. Badanku menggigil setengah mati, bukan hanya karena dinginnya air yang membasahi, tetapi juga karena perasaan cemas yang menggelayuti hati. De javu, rasanya seperti aku pernah berada di sini sebelumnya, termenung dan meratapi sesuatu yang hilang.
Tatapanku berfokus pada aliran sungai yang tenang, tetapi dalam pikiranku, bayangan Kairo dan Kian melintas. Mereka hanyut dalam aliran yang sama, tak berdaya. Apa yang sebenarnya sudah terjadi pada mereka? Rasa takut mencengkeramku. Apa aku harus kembali ke mansion lalu menanyakannya lagi pada papa?
“Sekarang apa lagi yang harus aku cari?” bisikku pada diri sendiri, suara itu hanya teredam oleh deru hujan.
Semua fakta itu membuatku sengsara, terjebak dalam lingkaran ingatan yang tak kunjung usai.
Drap, drap, drap!
Suara langkah kaki memercikkan genangan air, seakan memanggilku kembali dari lamunan. Aku terlonjak, mengamati sekeliling dengan penuh kewaspadaan. Di tengah hujan ini, siapa yang berani mendekat?
Seseorang muncul dari balik pepohonan, sosok tinggi dengan hoodie yang menutupi wajahnya. Hatiku berdegup kencang.
“Siapa kamu?” teriakku, suaraku nyaris tenggelam oleh suara hujan.
Sosok itu berhenti, dengan langkah pelan, ia mendekat, dan aku dapat melihat sepasang mata yang tajam menatapku.
“Gua, teman lu,” katanya pelan, suaranya hampir tak terdengar di tengah guyuran air.
Dia membuka tudung hoodie yang dipakainya. Hana! Sosok yang begitu aku kenal.
Aku kaget. “Ha-hana? Sedang apa di sini? Bagaimana bisa menemukanku?”
“Gua mau menyelidiki kasus yang menghantui lu, Zee. Gua nggak bisa tinggal diam melihat Hansel terbaring di rumah sakit.” Perkataan itu mengusik pikiranku.
Dalam hati, aku tidak ingin membuatnya terlibat lebih jauh. “Apa kamu tau apa yang terjadi? Mengulik kasus ini berbahaya bagi kita berdua.”
“Nggak,” jawabnya, “Gua tau bahaya, lu nggak boleh egois lagi. Kita harus selesaikan bersama.”
Kata-katanya menusuk, membuatku merenung. Mungkin, aku memang harus menerima bantuan dari orang lain, aku tidak bisa mengandalkan diriku sendiri.
Aku menghembuskan napas berat. “Jadi, untuk apa kamu jauh-jauh ke mari?”
“Gua minta bantuan Satya buat cari akun sosmed Sarah. Dia pakai identitas palsu di sosmed itu. Gua akhirnya bisa tau alamatnya.”
Aku bertanya dengan ragu. “Apa kamu yakin bisa membantuku?”
“Yes! Gua pasti akan bantu lu. Sekarang kita berteduh dulu, mobil gua ada di sana.” Hana menunjuk sebuah mobil hitam di seberang jalan.
Kami berdua berjalan menuju mobil yang terparkir di pinggir jalan. Sopir pribadi Hana tampak duduk di kursi depan, menunggu kami berdua.
“Han, bisa anterin aku ketemu Hansel? Aku belum sempat menjenguk keadaannya,” ujarku.
“Ya,” jawab Hana sambil memanggil sopirnya. “Pak, ayo pergi ke rumah sakit yang waktu itu.”
Dalam perjalanan, hujan masih melanda, menciptakan tirisan air yang menempel di kaca mobil. Suara hujan yang deras menambah kegelisahanku di dalam mobil. Aku ingin segera melihat Hansel. Karena aku, keadaannya jadi begitu
“Kamu udah ketemu Sarah, eh, maksudku Kanara?” tanyaku, berusaha mencari tahu sejauh mana Hana menggali informasi.
“Nope. Tadi waktu gua sampe, gua ngelihat lu keluar dari rumah lusuh itu. Gua akhirnya ngikutin lu, deh,” jawab Hana dengan nada santai.
Mobil melaju dengan lancar hingga tiba-tiba berhenti di salah satu lampu lalu lintas. Namun, bukan karena lampunya merah. Sekelompok orang menghadang jalan kami, berdiri di tengah jalan dengan tatapan yang mengancam.
“Siapa itu?” tanyaku, memperhatikan luar jendela.
“Entah. Preman jalanan kali,” Hana menjawab, tampak tidak ambil pusing.
Dia kemudian menyuruh sopirnya, “Langsung jalan aja, Pak!”
Tetapi saat mobil melaju sedikit, perasaan panik mulai menyelimutiku. Tubuhku bergetar bercampur dengan rasa merinding. Ini bukan pertama kalinya aku menghadapi situasi seperti ini. Kejadian yang dulu pernah aku alami, sepotong demi sepotong mulai muncul dalam ingatanku.
Sopir menginjak gas, tetapi sekelompok orang itu tidak mundur. Mereka mulai mengetuk kaca jendela mobil, suara ketukan yang membuatku semakin cemas.
“Pak, cepat!” teriak Hana, suaranya kini terdengar panik.
Salah seorang pria yang menghalangi jalan kami mendekat, memukulkan tangan ke kaca mobil. “Buka kaca mobil! Kami hanya ingin bicara!” teriaknya, nada suaranya penuh ancaman.
Ketakutan menyergapku. Aku segera bersembunyi di bawah kursi mobil, tubuhku bergetar, menunggu pria itu pergi. Jantungku berdetak kencang, berharap semuanya akan baik-baik saja.
Dengan tangan gemetar, sopir membuka kaca mobil, jelas terlihat ketakutan di wajahnya.
“Apa bapak pernah lihat anak ini?” tanya pria itu sambil menyodorkan sebuah foto.
Sopir itu terkejut, wajahnya berubah pucat. “A- anu ...”
“Jangan bertele-tele! Cepat jawab!” Pria itu menodongkan senjata tajam ke leher sopir.
Suara ketajaman logam itu membuatku merinding, tak berani bergerak sedikit pun.
Hana tak bisa menahan diri, dia angkat suara, “tidak, Pak!” Dia membuka kaca di sebelahnya, berusaha menarik perhatian pria itu.
“Apa benar?!” pria itu menyodorkan kembali foto itu pada Hana.
Hana menatap foto itu, lalu menegaskan, “Benar, Pak. Kami nggak tau siapa itu.”
Akhirnya, pria itu membuka jalan untuk kami. “Baiklah. Pergi!”
Setelah itu, dia memberi isyarat agar mobil kami bisa melanjutkan perjalanan. Sopir, meski masih gemetar, segera menginjak pedal gas. Mobil melaju menjauh dari kerumunan itu, tetapi ketegangan di dalam mobil tetap terasa.
“Zee, orang yang barusan itu lagi cari lu!” ujarnya dengan nada panik saat kami menjauh dari tempat kejadian.
Aku kembali duduk setelah bersembunyi, jantungku masih berdetak kencang. “Cari aku? Kenapa? Apa yang mereka inginkan?”
Hana menatapku. “Gua nggak tau. orang-orang itu kelihatan bukan preman biasa. Kita harus hati-hati.”
Hatiku kini terasa cemas. Kenapa orang-orang itu mencari aku?
.........
Di sisi lain
Tuan Karizal Vierhalt menunggu di sebuah markas untuk mencari putrinya. Dia memerintahkan pasukan khusus yang dia sewa mencari ke mana putrinya itu menghilang selama berjam-jam.
“Tuan, kami menemukan jejak CCTV di jalanan kota yang memperlihatkan Nona Zeeya,” kata pak Argan.
Salah satu pasukan khusus menyerahkan sebuah tab untuk melihat rekaman CCTV.
“Dia masuk ke dalam mobil?” tanya tuan Karizal mencemaskan putrinya.
“Iya, kami sedang menjari CCTV lain untuk melacak ke mana mobil itu pergi membawa Nona Zeeya.” Jelas pak Argan.
“Tunggu apa lagi?! Kita kejar mobil itu sekarang!” Tuan Karizal mengambil jasnya lalu melangkah keluar.
“Tuan, Anda tidak boleh tergesa-gesa. Mafia berandal itu juga sudah bergerak. Anda lebih baik menunggu di markas, biar pasukan kita yang mengejar mobil itu.”
“Tidak! Aku sendiri yang akan menjemput putriku pulang!”
.........
- Hansel itu cowok apa cewek sih?😁
- Perkembangan ceritanya bakal rumit saat Zee satu tim dengan cowok idaman Nisa
- Tuduhan macam apa yang ada disurat itu?
- kenapa Ree dan Zee tidak pulang bersama?
Ceritanya bagus suka❤