Lara telah menghabiskan tiga belas tahun hidupnya sebagai wanita simpanan, terperangkap dalam cinta yang terlarang dengan kekasihnya, seorang pria yang telah menikah dengan wanita lain. Meski hatinya terluka, Lara tetap bertahan dalam hubungan penuh rahasia dan ketidakpastian itu. Namun, segalanya berubah ketika ia bertemu Firman, seorang pria yang berbeda. Di tengah kehampaan dan kerapuhan emosinya, Lara menemukan kenyamanan dalam kebersamaan mereka.
Kisahnya berubah menjadi lebih rumit saat Lara mengandung anak Firman, tanpa ada ikatan pernikahan yang mengesahkan hubungan mereka. Dalam pergolakan batin, Lara harus menghadapi keputusan-keputusan berat, tentang masa depannya, anaknya, dan cinta yang selama ini ia perjuangkan. Apakah ia akan terus terperangkap dalam bayang-bayang masa lalunya, atau memilih lembaran baru bersama Firman dan anak mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syah🖤, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 06
Jangan lupa like komen dan votenya yah
Terimakasih;)
_
David terdiam sejenak, menundukkan kepalanya. “Aku tahu aku telah membuat kesalahan besar, Arini. Aku tidak punya alasan. Aku hanya bisa mengatakan bahwa aku menyesal, dan aku akan melakukan apa saja untuk mendapatkan kepercayaanmu kembali.”
Arini menggertakkan giginya, menahan luapan emosi yang hampir tumpah. “Kamu bilang kamu menyesal, tapi itu tidak menghapus apa yang sudah terjadi. Kamu berbohong, David. Kamu menyakiti aku dengan cara yang paling dalam. Bagaimana kamu bisa berharap aku memaafkanmu begitu saja?”
David mengangkat wajahnya, matanya memohon pengampunan. “Aku tahu ini tidak akan mudah, tapi aku bersedia mencoba. Aku akan melakukan apa pun yang kamu minta. Aku ingin kita kembali seperti dulu, Arini. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa kamu.”
Kata-kata itu menusuk hati Arini. Dulu, ia mungkin akan merasa tersentuh oleh pengakuan semacam ini. Tapi sekarang, setelah semua yang terjadi, kata-kata itu terdengar hampa. Cinta tidak lagi cukup ketika kepercayaan sudah hilang.
“Kamu tidak bisa membayangkan hidup tanpa aku? Lalu bagaimana kamu bisa menjalani belasan tahun berhubungan dengan orang lain di belakangku?” Suara Arini bergetar dengan kepedihan yang tak bisa ia sembunyikan.
David tampak semakin hancur, wajahnya menyiratkan penyesalan yang dalam. “Aku tidak punya jawaban untuk itu, Arini. Aku terlalu pengecut untuk mengakhiri sesuatu yang tidak seharusnya terjadi. Aku membiarkan semuanya berjalan terlalu lama, dan aku tahu aku menghancurkanmu. Tapi aku benar-benar ingin memperbaiki ini.”
Arini berdiri dari tempat duduknya, tak lagi bisa menahan diri. “Lara menghubungiku hari ini,” ucapnya dingin.
David terkejut. “Apa? Lara? Kalian bertemu?”
Arini mengangguk, menatap David tanpa gentar. “Ya, kami bertemu. Dia mengatakan bahwa hubungan kalian sudah berakhir sebelum aku menemukan semuanya. Dia bilang kamu memilihku.”
David terdiam, jelas tidak menyangka Arini bertemu Lara. “Itu benar. Aku mengakhiri semuanya, Arini. Aku memilih kamu.”
Arini tertawa kecil, penuh ironi. “Memilihku? Setelah semua ini? Setelah bertahun-tahun kamu bermain di belakangku, sekarang kamu bilang kamu memilihku?”
David tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata Arini begitu tajam, dan setiap kalimatnya membuatnya semakin tenggelam dalam rasa bersalah. “Aku tidak bisa mengubah masa lalu, Arini. Tapi aku ingin masa depan kita lebih baik.”
Arini berjalan ke jendela, memandangi hujan yang masih turun. “Kamu bilang kamu ingin masa depan yang lebih baik, tapi kamu tidak pernah berpikir tentang masa depan kita ketika kamu bersama Lara. Bagaimana aku bisa mempercayai itu sekarang?”
David mendekati Arini dengan hati-hati, namun ia tahu ada jarak yang tak kasat mata di antara mereka—jarak yang tercipta dari tahun-tahun kebohongan yang ia bangun sendiri.
“Aku tidak akan menyerah pada kita, Arini,” kata David dengan tegas. “Aku tahu aku salah, tapi aku akan berjuang untuk memperbaikinya. Apa pun yang diperlukan.”
Arini menutup matanya sejenak, berusaha meredam gejolak emosi yang terus menguasainya. "David... aku butuh waktu. Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu, atau bahkan apakah aku mau mencoba. Aku butuh waktu untuk berpikir. Untuk diriku sendiri."
David tampak ingin memprotes, tapi ia menahan diri. “Aku mengerti,” katanya akhirnya, suaranya terdengar lemah. “Ambil waktu sebanyak yang kamu butuhkan. Tapi aku akan menunggu. Aku akan terus mencoba memperbaiki ini.”
Malam itu, Arini kembali tidur sendirian. Hujan di luar semakin deras, seolah mencerminkan badai di dalam dirinya. David mungkin sudah "memilihnya," tapi kepercayaannya tidak akan begitu mudah kembali. Dan entah bagaimana, Arini merasa bahwa pertempuran ini belum selesai—bahwa masih ada banyak hal yang harus dihadapi di depan.
Dan mungkin, jalan menuju penyembuhan masih jauh dari kata berakhir.
_
Sudah hampir seminggu sejak pertemuan Arini dengan Lara, dan meski David berusaha keras untuk memperbaiki hubungan mereka, Arini masih terjebak dalam keraguan. Setiap kali ia melihat David, yang ia ingat hanyalah kebohongan yang telah menyelimuti hidup mereka selama bertahun-tahun. Seperti bayangan yang terus membuntutinya, kenangan akan pengkhianatan David selalu hadir, meski ia mencoba mengabaikannya.
Pagi itu, David berusaha memulai percakapan seperti biasa. “Aku buatkan kopi untukmu,” ucapnya lembut, mencoba menghadirkan normalitas di antara mereka.
Arini hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia meraih cangkir kopi di meja, menyesapnya tanpa menatap David. Keheningan yang tegang melingkupi mereka, seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan keduanya.
David duduk di seberangnya, memandanginya dengan tatapan penuh harapan yang belum pudar. “Aku ingin kita bicara lagi malam ini, Rin. Aku pikir kita perlu lebih banyak bicara tentang bagaimana ke depannya.”
Arini meletakkan cangkirnya dengan tenang. “Malam ini aku ada janji dengan Dinda. Aku butuh waktu untuk menjernihkan pikiran.”
David tampak kecewa, tapi ia tidak memaksakan. “Oke. Kalau kamu butuh waktu, aku bisa mengerti. Aku hanya ingin kamu tahu, aku ada di sini.”
Arini tidak menjawab. Bagian dari dirinya tahu bahwa David benar-benar berusaha, tapi bagian lain dari dirinya merasa marah. Apakah semua upaya David ini sungguh-sungguh, atau hanya sekadar upaya untuk menutupi kesalahan yang tak termaafkan?
***
Sore harinya, Arini pergi menemui Dinda di sebuah kafe favorit mereka. Dinda, sahabat terbaiknya sejak SMA, adalah satu-satunya orang yang Arini percaya untuk berbagi rasa sakit ini. Saat Arini tiba, Dinda sudah menunggu, dengan senyum penuh dukungan.
“Rin, kamu kelihatan letih,” ujar Dinda begitu Arini duduk. “Gimana keadaanmu? Ada perkembangan?”
Arini menghela napas panjang, menatap lurus ke arah temannya. “Aku nggak tahu, Din. David bilang dia mau memperbaiki semuanya, tapi setiap kali aku melihatnya, semua luka itu terasa segar lagi.”
Dinda mengangguk penuh pengertian. “Itu wajar. Kamu nggak bisa cuma melupakan semua yang terjadi begitu saja. Kepercayaan itu sulit dibangun lagi setelah dihancurkan.”
Arini meraih cangkir tehnya, mengaduk perlahan. “Aku bertemu dengan Lara minggu lalu.”
Tatapan Dinda langsung berubah terkejut. “Kamu serius? Kalian ketemu? Apa yang dia bilang?”
“Dia bilang hubungan mereka sudah berakhir sebelum aku tahu. Dan bahwa David memilih aku.” Arini menelan ludah, berusaha meredakan emosi yang mulai muncul kembali. “Tapi entah kenapa, itu nggak membuatku merasa lebih baik.”
Dinda terdiam sejenak, sebelum merespon dengan hati-hati. “Rin, mungkin yang perlu kamu tanyakan sekarang adalah bukan siapa yang dipilih David, tapi apakah kamu masih mau memilih dia?”
Pertanyaan itu menggema di dalam benak Arini. "Apakah ia masih mau memilih David?"
Selama ini, ia terjebak dalam pemikiran bahwa David-lah yang harus memilih. Tapi kini, pertanyaan yang lebih penting muncul: Apakah ia masih ingin tetap berada di dalam pernikahan ini?
“Aku nggak tahu, Din,” jawab Arini akhirnya. “Bagaimana caranya aku bisa kembali mempercayai dia? Bagaimana aku bisa mencintainya lagi dengan luka sebesar ini?”
Dinda mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Arini dengan lembut. “Kamu nggak harus buru-buru menjawab itu, Rin. Tapi kamu juga perlu tanya pada dirimu sendiri: apakah cinta itu masih ada? Apakah kamu mau memperjuangkannya? Kalau jawabannya tidak, maka mungkin sudah saatnya kamu memikirkan hidupmu sendiri.”
Arini terdiam, membiarkan kata-kata Dinda meresap. Apakah cinta itu masih ada? Ia tak bisa menjawabnya dengan pasti. Cinta yang pernah ia rasakan untuk David terasa jauh, seolah tenggelam di balik lautan rasa sakit dan kekecewaan.
_
Salam Author;)
Katanya perlu bicara ujung2nya perlu waktu lagi dan lagi baik sama lara juga sama arini beberapa bab muter itu2 aja, Maaf ya Thor kayak ceritanya hanya jalan di tempat aja 🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻