Kita semua punya keinginan tapi semesta punya kenyataan.
Bruuaaakk
"Aduh.... ". ringis seorang gadis yang bernama Eliana Hira Adipura atau sering di sapa El.
"Kamu gak papa nak? ". tanya seorang ibu paruh baya dengan sigap menolong El yang terjatuh.
"Maaf ya nak, karena menghindari ibu kamu jadi jatuh dan terluka begini ". ucap ibu itu dengan nada tak enak hati.
"Gak apa-apa bu, hanya luka ringan saja kok, nih lihat masih bisa loncat-loncat kan? ". ucap Eliana dengan melompat-lompat kecil membuktikan bahwa dia baik-baik saja.
selamat membaca......
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mamy charmy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18
"Al antar El pulang dulu Mom". pamitnya lalu berlari tanpa menunggu jawaban dari sang Mommy.
"Dasar bocah edan". makinya pada anak nakalnya itu
*dasar anak gila.
"Ayo.... pakai helm dulu ". ucapnya dan memakaikan helm di kepala El
El yang sudah mulai terbiasa dengan paksaan yang di berikan Al pun nurut saja.
Broom broom
Selama di perjalanan El hanya diam, dia memikirkan apa yang akan terjadi padanya setelah ini, ini pertama kalinya ia pulang menjelang malam meskipun dengan alasan membuat tugas sekolah dan meski sudah bilang ke adiknya.
Tapi dia tau sang mama gak akan tinggal diam begitu saja, tiba-tiba saja dia menghela nafas kasar dan itu di dengar oleh Al.
Al mengelus punggung tangan El yang melingkar di perutnya.
Tak berapa lama mereka berdua telah sampai di depan pintu gerbang rumah El dan ternyata sudah ada sang adik,Dikta, menunggunya.
"Ngapain lo berdiri di situ? mau jadi patung selamat datang? ". ucap El yang menuruni motor sport hitam milik Al tanpa melihat ada sang adik
Sang adik yang di ejek kakaknya begitu menatap setiap pergerakan sang kakak dengan wajah cemberut.
"Kakak udah di tungguin mama sedari tadi, katanya bikin tugas kenapa jam segini belum pulang juga? ". cerocosnya mendekati sang kakak.
"Gue kan udah bilang ngerjain tugas, bukan pergi main, kalau tugasnya belum selesai bagaimana bisa pulang, agak lain memang". ucapnya sambil geleng-geleng menatap adiknya.
"Trimakasih ya sudah di anterin, gak usah mampir langsung pulang saja". ucapnya setengah mengusir tanpa tedeng aling-aling lagi bicaranya.
Al yang mendengar itu mendengus meski hatinya sudah ketawa geli "agak lain emang gadisnya ini" pikirnya.
"Ok, gue cabut ". jawabnya singkat dan langsung menggeber motornya menjauh dari sana.
El pun masuk rumah di ikuti adiknya dibelakangnya.
Plak
Tamparan keras mendarat di pipi El dari sang mama yang melihatnya di antar oleh seorang laki-laki.
Dan kejadian itu tanpa mereka ketahui di lihat oleh seseorang yang sengaja kembali karena firasatnya tak enak mengenai El yang baru saja ia turunkan di depan rumahnya. tanpa pikir panjang ia pun kembali membelokkan motornya walau hanya sekedar untuk memastikan apakah El baik-baik saja.
Firasatnya benar, ia melihat El yang di tampar begitu keras begitu ia memasuki pintu rumahnya tanpa bicara, ia terus memantau tanpa bisa membantu karena itu bukan ranahnya untuk ikut campur.
El menatap sang mama dengan tatapan yang penuh arti terdapat banyak luka, kesedihan, marah juga sayang yang bercampur menjadi satu.
"Ma.... ". teriak Dikta begitu melihat mamanya menampar sang kakak.
"Mama kenapa sih? bukannya aku sudah bilang kalau kakak lagi ngerjain tugas sekolah bersama temannya? ". terang Dikta menatap mamanya dengan sorot mata yang penuh dengan penyesalan dan rasa kasihan pada El sang kakak.
"Ck, mana ada orang ngerjain tugas nyampe malam gini baru pulang? mau belajar ngejalang kamu? iya? ". maki mamanya tanpa perasaan menatap El penuh amarah.
"Heh, ternyata seperti itu pandangan anda terhadap saya? anak kandung anda sendiri? ". ucap El menatap sang mama dengan dalam.
"Terimakasih sudah melahirkan saya dan terimaksih sudah merawat saya selama ini, mulai sekarang tidak perlu susah-susah mengurusi saya, saya bisa mengurusi hidup saya sendiri, juga tidak usah repot-repot mencampuri urusan saya, biar saya pulang atau tidak, biar saya hidup atau mati itu bukan urusan anda lagi nyonya ". ucap El tegas dan hendak pergi menaiki tangga menuju kamarnya.
"Cih, selama kau masih tinggal di rumah ini maka kau masih urusanku dan kau harus mengikuti aturan yang sudah aku buat untukmu ". teriaknya menatap punggung El dengan nyalang.
"Oh begitu? secara tidak langsung anda menginginkan aku pergi dari rumah mendiang papaku sendiri? baiklah kalau itu membuat anda senang, mama". ucap El tanpa menoleh ke arah sang mama dan di ikuti suara lirih di akhir kata Mama.
"Kak..... kakak..... ". teriak Dikta menatap punggung sang kakak yang tetap tidak mau menunjukkan wajahnya.
El pun kembali berjalan tanpa menghiraukan teriakan sang adik yang memanggilnya.
"Cih dasar keras kepala, sombong, dia pikir dia bisa tanpa kita? ". cibir sang Mama lalu pergi dari hadapan anak bungsunya itu ke kamarnya, dia sama sekali tak peduli, dia pikir "El tidak akan kemana-mana, dia bisa kemana? dia tidak punya tujuan lain selain di sini".
"Ma.... kenapa bisa mama tega bicara seperti itu sama kakak? dia anak kamu ma.... ". ucap Dikta lirih, kepalanya seolah berdenyut menyaksikan pertengkaran kakak dan mamanya.
Entah kenapa mamanya tak pernah bisa bersikap adil terhadap mereka, selalu ada yang di bedakan dan itu terkadang membuatnya merasa tak enak terhadap sang kakak, itu bukan keinginannya.
"Pa.... maaf.... aku gak bisa menjaga keluarga kita tetap baik-baik saja setelah kepergianmu". sesal Dikta yang sudah merosot duduk di lantai menutup wajahnya dengan kedua tangan, dia merasa gagal, punggungnya bergetar.
Dirinya merasa terlalu muda untuk mengemban tugas berat ini, tugas untuk menggantikan sang papa yang sudah tiada karena kecelakaan tragis.
Di dalam kamar, El mengemasi barangnya yang bisa ia bawa, ia tak sanggup kalau sang mama sudah main fisik, ia memaklumi kalau itu hanya lewat di lisan tapi kalau sudah menyentuh fisik, tidak. Dia akan memilih pergi entah kemana ia tak perduli, hatinya sudah sakit, lukanya kehilangan sang papa belum bisa sembuh di tambah perlakuan mamanya yang semakin hari semakin keras saja terhadapnya.
Bukan keras mendidik dengan baik, tapi keras dalam artian sebenarnya, ia tak di perbolehkan melakukan kesalahan sekecil apapun, dia di paksa sempurna fersi sang mama.
Tak lupa ia juga membawa bingkai foto yang terdapat dirinya dan sang papa di acara kelulusan saat tingkat menengah pertama dulu.
Setelah selesai berkemas... ia melihat ke sekeliling kamarnya, kamar yang sedari kecil ia tempati di mana banyak kenangan di sana bersama mereka yang ia sayangi tapi sekarang..... ia akan pergi meninggalkannya.
Ia kembali memakai tas ransel yang ia bawa tadi ke sekolah, sedangkan tangan kanannya menggeret koper yang tak terlalu besar, dia hanya membawa barang seadanya saja untuk keperluan sekolah dan ganti secukupnya.
Ia mulai berjalan turun menapaki tangga demi tangga, ia melihat adiknya sedang terduduk di bawah sana dengan punggung yang masih bergetar menunduk menyembunyikan wajahnya. Ia seolah tak perduli dan kembali berjalan menuruni tangga.
Dikta mendongakkan kepalanya begitu mendengar suara orang berjalan, di lihatnya sang kakak yang sudah berada di dekatnya dengan menyeret kopernya dan ransel di punggung mungilnya, tatapannya sangat datar tak ada lagi wajah-wajah jahil di sana.
Dikta seketika meneteskan air matanya, ia menggelengkan kepalanya kuat dengan masih menatap sang kakak yang sudah berdiri di depannya.
"Berdiri, anak laki-laki gak boleh cengeng, gue pergi, jaga mama baik-baik, jadi anak penurut jangan kayak gue yang suka membangkang dan menyusahkan". jelasnya menatap datar Dikta yang masih terus menggelengkan kepalanya kuat, ia berdiri dan merengkuh sang kakak dengan erat.
"Jangan pergi..., gue dengan siapa kalau lo pergi kak, kenapa semua ninggalin gue sendiri? pertama papa, sekarang lo". ucapnya lirih seperti berbisik,ia menangis mengeluarkan semua yang terpendam.
"Gue sendirian kak.... lo tega sama gue". ucapnya lagi mempererat pelukannya pada El.
El melepaskan pelukan itu dan mendongak menatap Netra sang adik yang memerah karena air mata terus membasahinya.
"Jaga mama, gue pergi". ucapnya kembali mengulang kata-kata nya.
"Gak kak, lo harus jaga mama sendiri, gue gak mau". teriak Dikta di depan El tapi El tak perduli dan melanjutkan lakunya untuk pergi dari rumah masa kecilnya, rumah yang dulu adalah sumber kebahagiannya.
Ceklek
"aku, kamu dan toleransi