Bawa pesan ini ke keluargamu!
Teruslah maju! Walau sudah engkau tidak temui senja esok hari. Ada harapan selama nafas masih berembus.
Bawa pesan ini lari ke keluargamu!
Siapa yang akan menunggu dalam hangatnya rumah? Berlindung dibawah atap dalam keceriaan. Keset selamat datang sudah dia buang jauh tanpa sisa. Hanya sebatang kara setelah kehilangan asa. Ada batu dijalanmu, jangan tersandung!
Bawa pesan ini ke keluargamu!
Kontrak mana yang sudah Si Lelaki Mata Sebelah ini buat? Tanpa sengaja menginjak nisan takdirnya sendiri. Tuan sedang bergairah untuk mengejar. Langkah kaki Tuan lebih cepat dari yang lelaki kira. Awas engkau sudah terjatuh, lelaki!
Jangan lelah kakimu berlari!
Jika lelah jangan berhenti, tempat yang lelaki tuju adalah persinggahan terakhir. Tuan dengan tudung merah mengejar kilat.
Tuan telah mempersembahkan kembang merah untuk Si Lelaki Mata Sebelah.
Sulur, rindang pohon liar, sayupnya bacaan doa, lumut sejati, juga angin dingin menjadi saksi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Indy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 Dunia Tipu-Tipu
..."Bayangan yang telihat terkadang tidak nampak sama dengan apa yang sebenarnya tejadi. Ada hal yang terkadang harus direlakan atau juga harus ditumbalkan. Bukankah menjadi makanan untuk para iblis lelah memberi daya adalah kewajiban kalian." - Altar...
Bertanya kepada siapa atas hilangnya sorang putri yang digadang sebagai gadis anggun. Dimanakah seorang nenek yang selalu mengkhawatirkan kehadirannya? Kini dia bersembunyi takut akan berita kematian menyebar.
Setelah lelah matanya meneliti semua data dengan penduduk yang ada di tengah Altar Festival. Walau semalam sudah melek tanpa tidur. Masih tidak gentar dirinya menelisik semua deretan. Terkadang ada yang mengabdi pada dunia seperti Tuan Zion. Jiwa pengabdian yang tinggi dari ayahnya diturunkan dengan sempurna.
"Tuan Zion," seorng lelaki berperawakan sedikit lebih kecil dirinya berhadapan. "Sebaiknya Anda beristirahat, Anda sudah banyak bekerja keras. Biar saya saja yang mengurus sisanya." Begitu bertanggungjawab lelaki dihadapannya. Seorang yang dipanggil sebagai Tentara Garda Depan disandang. Seorang Komandan Militer begitu tegas berujar.
"Aku masih kuat," Tuan Zion mengelak.
"Tuan Zion, sebaiknya Anda mematuhi perintah saya."
"Anda juga banyak tugas."
Komandan Tertinggi menyahut kertas Tuan Zion segera. Memberikannya kepada wakilnya untuk melanjutkan pekerjaan. Kepala komandan Kemiliteran berbaik hati dnegan mendorong tubuh Tuan Zion keluar ruangannya. "Anda juga harus bertemu keluarga Zegar sore ini."
Tuan Zion hanya pasrah menatap pintu kayu tertutup sempurna. Sedikit melegakan diri juga baik. Kembali ke rumah dinas, ada beberapa kamar terisi akibat pelarian Liliana yang menghasilkan tanda tanya. Dari kesaksian anggota kepolisian yang terkapar mereka hanya melihat sebuah bayangan hitam lalu menjadi gelap seketika.
Tuan Zion memasuki kamarnya, masih dia menatap jasnya yang pada malam itu belumuran darah. "Luka sayatan yang ada di lengan Clause cukup dalam, bahkan mengenai tulangnya."
"Setidaknya pembunuh adalah orang yang pintar menggunakan senjata. Dia mampu memotong tulang dengan rapi. Luka sayatan Clause juga begitu rapi sempurna," masih dia lirih ucapannya mengisi kekosongan pagi. Membayangkan betapa ngerinya yang dialami Clause membuat Tuan Zion sedih. Seakan menghakimi diri akan kecerobohannya meletakkan anak buahnya dalam bahaya kematian. Dua kali, dia melakukannya.
...***...
Kedatangan lelaki yang menggemparkan para gadis. Kekar, semampai, jenjang kakinya juga rupawan wajahnya hadir diantara kerumunan orang penasaran dengan wajahnya. Tuan Zion sempat ingin merutuk kepada lelaki berjas abu-abu dengan membawa ayahandanya.
Sosok itulah yang digadang sebagai Putra Pertama Tuan Zegar, kakak laki-laki Clause.
Semenjak menggemparkan pintu rumah sakit, beberapa perawat juga pasien terus memandang wajahnya. Siapa yang akan menyangka, keluarga Zegar akan menampakkan diri dalam media. Dipandang sebagai keluarga yang low profile pertama kalinya melihat lelaki dengan anggunnya melangkah menuju Tuan Zion berdiri.
"Selamat sore Tuan Besar Zegar. Saya sangat menyesal membuat Anda dalam kekhawatiran."
"Aku sama seali tidak mempermasalahkan. Itu adalah resiko dalam pekerjaannya. Saya tidak merasa marah."
Seperti tidak pernah terpikirkan oleh Tuan Zion, Tuan Besar Zegar sangat ramah juga perhatian. Nada bicaranya begitu rendah tetapi entah mengapa Tuan Zion merasakan banyaknya ketegasan di sana.
"Salam Tuan Liam Zegar," sapa Tuan Zion.
"Terima kasih telah menjaga adikku," baliknya menyapa.
Berbeda dengan Clause yang memiliki badan sedikit kecil dengan kakaknya. Ketampanan Liam Clause bisa menarik perhatian. Sedangkan, Clause cenderung pintar juga,
lucu.
Tuan Zion mengantarkan lokasi dirawatnya Clause. Ayahanda itu nampak menghela nafasnya. Baju yang sudah diganti menggunakan baju rawat mempelihatkan dengan jelas luka di lengan kanannya. Beberapa selang juga dipasang untuk mengontrol kencing, infus, juga oksigen.
"Belum sadarkan diri?"
"Belum Tuan Besar Zegar."
Perawat yang berada di ruangan Clause menunduk hormat. Tidak lama seorang dengan jas dokter putih berjalan memasuki ruangan. "Saya adalah dokter yang menangani Tuan Clause."
"Ah baiklah," jawab Tuan Besar Zegar
"Tuan Clause dibawa dengan kondisi kritis. Luka di lengannya sudah diobati. Tetapi, Tuan Clause menolak semua sampel darah yang dimasukkan ditubuhnya. Mengingat angka Hb nya hanya berkisar diangka 6, saya meminta Tuan Besar atau Tuan Muda memberikan donor darahnya."
Liam mengangguk. "Tentu saja aku bersedia," jawabnya.
Setelah memberikan sedikit penjelasan tentang prosedur. Perawat yang dibelakangnya meminta Liam duduk lalu mengambil setidaknya 3 ml darah dan menyuntikkannya kepada Clause. Menanti barang semenit dua menit tidak ada penolakan dari Clause.
"Kita bisa memulai donor darahnya," putus Dokter itu.
Menunggu sembari mengejakan laporan adalah hal yang sangat dia sukai mulai sejam yang lalu. Komandan militer sudah memberikan hasil dari pencocokan nama. Julian yang turut hadir dalam lorong rumah sakit barang sejenak menyempatkan diri mengambil teh manis dari mesin pembuat teh.
"Liliana jelas tidak berada dalam festival. Tetapi, anggap saja jika dia menjadi korban bulan ini?" Nada tanya sudah dilontarkan kepada Julian.
"Iya, mengingat korban selanjutnya Liliana maka aku sudah yakin 100 persen. Liliana sudah meninggal dalam Kasus Mayat Kering." Melihat raut wajah Julian yang meyakinkan, Tuan Zion mengangguk. "Yang bisa kita lakukan adalah mencari mayatnya," lanjut Julian.
"Dengan pergerakan kita sejauh ini aku hanya merasa jika pembunuh sudah mencari cara lain membuang mayatnya."
Menyetujui apa yang dikatakan oleh Tuan Zion. "Aku juga sudah berada di lokasi terakhir yang ditabur serbuk fosfor oleh Clause. Lokasi itu dekat dengan ditemukannya Tuan Ferden. Aku juga sudah meneliti semua pohon, batu, atau apalah yang digunakan sebagai petunjuk tetapi, masih belum menemukan hal baru. Seakan ada dunia yang tersembunyi ditempat itu."
"Dan kamu mencurigai jika ada pintu rahasia?" Sambung Tuan Zion.
"Oh ya, bagaimana dengan datanya, apakah ada orang yang diculik selain Liliana?"
"Tidak," Tuan Zion mendengus. "Tidak ada, kecuali orang yang tidak berada didaftar."
Sedikit menaikkan alisnya heran, Julian merebut kertas yang diberikan oleh Komandan Militer. "Benar, Pemilik Perusahan Coklat tidak ada. Dia bernama Wonka."
Tuan Zion malah menegangkan dirinya. Memicing kepada Julian.
"Ada apa?"
"Wonka? Tetapi bukan itu yang aku curigai."
"Siapa?" tanya Julian penasaran.
"Bryan tidak ada dalam daftar keluar. Apakah dia keluar tanpa mendaftar ulang?"
Julian terkejut, mengingat namanya sendiri juga tidak dicoret oleh Komandan Militer, Julian hanya berpikir jika dia akan dicoret begitu tahu Julian menuju Rumah sakit dan meninggalkan acara tidak sampai akhir. Sedangkan, Bryan apakah dia mengikuti Julian?
"Mungkin dia bersama dengan Wonka." Julian hanya menebak.
"Siapa Wonka, dia juga tidak ada didaftar keluar-masuk."
Tangan Julian sedikit bergetar. Apakah Bryan ada hubungannya dengan kasus ini atau tidak. "Tuan Zion, apakah kamu mencurigai Bryan?"
"Semua orang bisa menjadi tersangka. Kita hanya membutuhkan alibi."
Belum sempat otak Julian mencerna sempurna apa yang sedang terjadi, Seorang lelaki tinggi keluar dari ruang rawat adiknya. "Clause sudah sadar, dia menginginkan bertemu denganmu," ujarnya sembari menatap Tuan Zion. Sedkit melirik pada mata Emerald yang terus menatapnya. "Tuan Julian," sapanya.
Tuan Zion melihat Clause sedang memeluk ayahandanya, sembari mengusap putra terakhirnya. Mengelus manja kepada sang ayah. Semenjak diberikan darah barang setengah kantong saja sudah menunjukkan pemulihan sempurna, hingga habis kantong itu mampu menyadarkan Clause dalam waktu kurang dari dua jam.
"Putra kesayangan ayahanda ya," Tuan Zion berujar pelan.
Julian hampir meledak tawa jika Tuan Zion tidak mencubit dirinya keras. "Sakit sekali."
Clause melirik pada julian yang terus menahan tawanya. Memicing tidak suka. Siapa yang tidak akan mengenal pemilik perusahaan tambang dan emas terbesar yang ada Memiliki perbukitan sendiri dengan nama Zegar. Sunguh diluar nalar.
"Aku ingin berbicara dengan Tuan Zion , dan Julian bertiga saja ya ayah."
Suara sedikit manja melototkan Tuan Zion. Julian bahkan menutup mulutnya kencang. Sedangkan Liam sudah tersenyum puas. Setelah mengusap puncak kepala adiknya mereka berdua akhirnya keluar ruangan.
"Kamu manja sekali jika sakit."
"Bukankah kamu juga," Clause membela.
"Sudah, jangan bertengkar. Julan tidak baik menahan tawamu. Apalagi di depan Tuan Liam."
"Mengenai itu, aku dengar jika Tuan Liam sudah mewarisi seluruh kekayaan?"
Clause mendengus sebal. "Darimana beritanya? Memang sudah. Tetapi, mereka melebih-lebihkan."
Tuan Zion duduk di samping ranjang Clause.
"Pertama, bisakah dokter melepas ini?" Tunjuk Clause pada saluran pipisnya. "Sakit," jawabnya.
"Bisakah jangan merengek?" Julian mengejek.
"Julian," panggil Tuan Zion mengintimidasi. Beralih menatap Clause. "Ada apa?"
"Ini mengenai kesaksianku malam itu."
Ketegangan segera tercipta. Dari banyaknya rasa penasaran, bayang kematian juga banyaknya perasaan jengkel mampir. "Malam itu seseorang menyebar serbuk merah yang dihirup oleh semua penjaga."
"Merah?"
"Iya, aku asumsikan jika serbuk merah itu adalah serbuk besi metalik yang sering kita lihat dalam hidung mayat korban. Setelah kekuatan halusinogennya hilang serbuk itu berubah menjadi serbuk besi metalik. Aku melihat Liliana terus memanggil ayahnya. Padahal yang dia kejar hanyalah Lelaki Bertudung Merah."
"Serbuk itu bisa jadi itu akan sangat berefek kepada korban selanjutnya. Saat aku menangkap tubuhnya, Liliana menjadi sangat agresif, dia bahkan mencekikku lalu melemparkan ke sudut almari. Dengan kekuatan Liliana yang kecil. Dia seharusnya tidak mampu menumbangkan aku sejauh itu.
Aku melakukan pengejaran, dan berpisah pada sebuah bukit tempat di mana aku jatuh. Di sana ada seserang yang aku liat menaburkan serbuk merah tepat di wajahku. Dan ketika aku mencoba melawan, pisau itu mengenai lengan kananku. Lelaki itu menangkap tubuhku lalu membaringkannya. Dia tidak menyakitiku setelahnya. Dan dalam gelapnya malam aku melihat jika Liliana menangis dan mengucapkan bertemu dengan ayah, bertemu dengan ayah, berulang sampai aku terlelap."
"Jadi, kamu tidak pingsan karena mengeluarkan darah dalam begitu singkat?" Julian mencoba mencerna cerita itu. Membayangkan saja sudah membuat merinding.
Clause menggeleng. "Hal yang menarik di sana, pembunuhnya tiga orang."
"Hah!" teriak Julian tanpa sadar. "Gila! Menghadapi tiga manusia super. Kita juga hanya manusia biasa yang kalah kekuatan.'
"Apakah kamu ingat wajahnya?" Tuan Zion menelisik.
"Samar, tetapi aku akan menggambarnya sekarang."
Mendengar itu, Julian mencari sesuatu ditasnya dan memberikan buku juga pencil.
Sedikit lama menunggu sketsa itu jadi. "Aku melihanya dia memilki ciri khas di sini. Matanya berwarna merah."
Julian mendekat pada ranjang. Menyangga badan dengan kedua tangannya pada ranjang. Mendekatkan wajahnya kepada Clause. “Ada apa?” Tanya Clause panik. Seakan Julian menciumnya.
“Matamu,” lirihnya. “Matamu berbeda.”
Tuan Zion menyambet wajah Clause cepat. Dilihatnya apakah lelaki itu hilang fokus atau tidak. Melega jika tidak menemukan keanehan. “Dia tidak mengalami masalah penglihatan.”
“Bukan, bukan itu,” sangkal Julian. “Dia seakan memiliki cahaya didalam matanya. Itu seperti bintang.”
Clause menepis tangan Tuan Zion pelan. “Kalian jangan mengada-ada.”
“Clause, aku sebenarnya penasaran dengan seliwir rambut yang kamu punya. Sempat dipotong sewaktu melakukan pelatihan dulu, kan?” Julian memastikan.
Clause menyentuh rambutnya. “Ayah dan kak Liam juga memilikinya,” ujar Clause. “Ini keturunan.”
“Apakah ada hubungannya dengan mistis?”
Clause menggeleng. “Aku rasa tidak. Entahlah ini genetik. Dan semakin dipotong rambutnya bisa tumbuh dalam satu malam. Menurutmu apakah ini keajaiban?” yang memiliki keanehan hanya mempertanyakan keanehannya bodoh.
“Satu fakta yang mengejutkan adalah Bryan tidak keluar melalui pintu keluar.”
“Bryan?” Clause memastikan.
Tuan Zion mengambil alih sketsa Clause. “Di wilayah kita hanya ada dua orang yang memiliki iris warna mata unik. Klan Vegas dan Klan Rall. Sedangkan, mata merah hanya dimiliki klan Rall.”
“Aku tidak akan menyalahkan kata-katamu, Tuan Zion.”
“Jika benar ada kaitannya dengan Klan Rall, apakah kita bisa melawannya?” Clause sedikit pesimis.
“Tidak ada yang tidak mungkin. Hanya saja butuh waktu lebih lama.”
Clause dan Julian hanya mengangguk kecil. Sedikit terganggu dengan sesuatu di kepalanya. “Aku mau selangnya dicopot.”
...***...
Kecerobohan dapat berakibat fatal. Kepada lelaki yang datang dengan membawa sebotol darah merah pada tengah Altar. Sebut saja semua kebak dengan teratai. Akar yang menyembul dari bawah Teratai merah sedikit tersinari oleh cahaya rembulan malam.
Jembatan yang menghubungkan daratan juga tengah danau bersinar menyala menerangi jalan mereka. Kepada batu reot dan lumut sejati ijinkan kedua kaki ini lewat.
Sudah lebih dari ratusan tahun yang lalu sebuah Altar tercipta.
Lelaki dengan tudung merah membuka wajahnya. Sebotol darah yang dia perlihatkan kepada satu lagi lelaki duduk di pinggir Altar.
“Lelaki itu cukup pintar dengan mendapatkan darah keturunan Tera,” bersuara sedikit berat untuk lelaki bertudung merah tinggi.
Lelaki lebih pendek berjalan dari pinggiran Altar menuju ke tengah. Mengambil sebotol yang diperlihatkan kepadanya. “Apakah gadis itu berhasil menciptakan keturunan. Meski begitu mereka tidak akan sekuat Tera.”
“Persetan dengan itu, lelaki yang dilukai oleh dia cukup parah. Sedikit ceroboh dia itu.”
“Beruntung keluarganya datang sebelum Clause mati.”
“Jikalau mati kita bisa gila.”
“Setelah mendapatkan darah keseluruhan Clause kita bisa beristirahat selama 100 tahun.”
Lelaki lebih pendek mengangguk. Lalu melemparkan darah Clause ke dalam lekukan teratai di tengah Altar.
Menyala merah segera menyelimuti sekitar. Lelaki bertubuh merah pendek menjauhkan dirinya. Cahaya yang mengkilap dengan taburan serbuk emas segera mewarnai udara. Bagaikan hujan salju merah dingin menyejukkan.
“Hanya sebotol dan kita mendapatkan kekuatan sebesar ini?” tanya lelaki berjubah tinggi dengan raut wajah bahagia.
“Ini sungguh luar biasa,” ujar lelaki bertubuh pendek.
“Clause Zegar. Kita harus menjaga anak itu sampai dimasa usianya habis.”
Senyum merekah seakan baru saja mendapatkan permen kesukaan. Kepada dua orang yang terus bertambah muda juga akar teratai mengembang selayaknya baru mekar. Bunga merah disekitar danau mengembang hebat.
“Aku menyukaimu, Clause!”
Hanya saja ada sepasang mata yang mengintip samar dari balik bebatuan. Mata picek yang dipanggil Mata Satu.
“Ah merepotkan!” seru lelaki bertudung merah tinggi.
...***...
...Bersambung......
Meski hati terserang rindu akan rumah tapi canda teman sesama menjadi penghangat lara, namun mereka tak tau ada sesuatu yang tengah mengincar nyawa.~~ Samito.
numpang iklan thor/Chuckle/
Iklan dikit ya thor🤭