NovelToon NovelToon
The Disgusting Beauty

The Disgusting Beauty

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Teen School/College / Slice of Life
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: アリシア

Tidak ada yang benar-benar hitam dan putih di dunia ini. Hanya abu-abu yang bertebaran. Benar dan salah pun sejatinya tak ada. Kita para manusia hanya terikat dengan moralitas dan kode etik.

Lail Erya Ruzain, memasuki tahun pertamanya di SMU Seruni Mandiri yang adalah sekolah khusus perempuan. Seperti biasa, semua siswi di kelas akan gengsi dan malu-malu untuk akrab dengan satu sama lain. Waktu lah yang akan memotong jarak antara mereka.

Hingga dia mengenal Bening Nawasena. Teman sekelas yang bagaikan salinan sempurna Lail saat SMP.

Drama pertama kelas dimulai. Siswi toxic mulai bermunculan.

Bagaimana Lail menghadapi semua itu?

"Menyesal? Aku gak yakin."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon アリシア, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CH.19 - Cahaya dan Bayangan

“Woah, kamu udah ada di sini ternyata!”

Lail terkejut saat melihat sosok Wiyan yang sudah berdiri di depan gang perumahan. Dia berpakaian lebih rapi daripada saat mereka melaksanakan sesi belajar bersama. Tentu saja Lail jadi curiga.

Wiyan mengenakan kemeja berlengan pendek berwarna hitam serta celana bahan polos pastel. Jam tangannya pun nampak berbeda dari yang biasa ia gunakan sehari-hari. Yang hari ini kesannya lebih mewah. Pasti harganya lebih mahal.

Kini Lail melihat penampilannya sendiri. Sebenarnya pakaian ini satu level di atas pakaian tidurnya. Lail memakai kemeja berlengan panjang berwarna biru muda dan bawahan rok pastel. Karena roknya tak ada kantung, Lail terpaksa membawa tas kecil bersamanya untuk menyimpan ponsel dan dompet.

Tapi tetap saja, jika Lail dan Wiyan berdiri bersebelahan. Akan kentara sekali perbedaan level mereka. Lail mulai menyadari jika Wiyan mempunyai kesan 'elit'. Padahal mereka sama-sama mengenakan pakaian kasual, tapi hasil akhirnya cukup berbeda.

Aku baru sadar kalau wajah Iyan itu 'mahal'.

Lail menyipitkan matanya. Jujur, Lail iri pada Wiyan. Sebab wajahnya mau dipoles bagaimanapun juga takkan berubah jadi 'elit'.

“Udah lama nunggu?” Tanya Lail, dia berusaha mengabaikan fakta jika Wiyan tampak 'bersinar' sore ini.

“Gak juga.”

Lail memperhatikan gerak-gerik Wiyan yang agak aneh. Dia seperti kehabisan napas, tapi berusaha keras menutupinya. Belum lagi bulir keringat yang menetes dari dahinya.

Dia ini abis lari atau apa?

“Ayo,”

Wiyan dan Lail berjalan menuju pasar malam yang jaraknya cukup dekat. Jika berjalan kaki, tak sampai 10 menit juga sudah sampai. Ketika tiba di pasar malam, Lail terkejut melihat banyaknya pengunjung padahal hari masih sore.

Wiyan menarik pelan tas kecil yang tersampir di pinggang Lail. Membawa Lail berjalan perlahan masuk ke dalam kerumunan orang-orang di pasar malam. Di sisi kanan dan kiri dipenuhi oleh stan penjual makanan, minuman dan ada juga games.

“Lo mau beli apa?” Tanya Wiyan.

Lail tersenyum jahil, dia menyikut lengan Wiyan, “Kenapa? Mau traktir, ya?”

“Ya,” Wiyan menjawab dengan nada datar.

Lail pun terdiam. Padahal niat Lail hanya bercanda. Kenapa Wiyan menanggapi kejahilannya dengan serius? Lagi pula, bukankah Wiyan sudah terlalu sering mentraktir Lail? Di titik ini, Lail sudah bisa disebut berutang padanya meski Wiyan tak memedulikannya.

“Hari ini aku yang traktir,” cetus Lail, mendadak ia merasa tak enak hati karena terus menguras kantung Wiyan. Seakan dia melupakan hari-hari sebelumnya di mana Lail dengan santainya minta ditraktir dua potong kue, satu gelas kopi dan dua batang es krim.

Wiyan termenung sebentar, kemudian berkata, “Oke. Tapi jangan protes sama apa yang gue beli.”

“Hehe...” Lail tertawa garing. “Tapi jangan yang bikin dompetku menjerit, yah?”

Wiyan tak menggubris ucapan Lail. Melihat itu, Lail jadi panik. Dia takut jika Wiyan malah gantian menguras dompetnya. Padahal isi dompet itu adalah hasil dari menabung sebulan ini. Dia menabung sebagai bentuk antisipasi untuk pergi ke pasar malam hari ini.

“Aku mau beli takoyaki,” Lail menunjuk ke arah stan takoyaki yang berada cukup dekat dari posisi mereka saat ini.

Wiyan menutur ke manapun Lail pergi. Lagi pula, khusus untuk hari ini, Lail adalah dompet berjalannya. Wiyan mencubit tali panjang tas Lail agar gadis itu tidak menghilang dari pandangannya.

Wiyan mengamati cara pembuatan takoyaki yang khas. Ini bukan kali pertamanya. Tapi, ada sesuatu yang berbeda dari takoyaki yang pernah dia beli sebelumnya dengan yang satu ini. Topping yang disediakan pun sangat terbatas. Bukan hanya terbatas, tetapi juga berbeda dari yang dia ketahui.

“Mau?”

Wiyan tersentak. Lail menawarinya takoyaki yang sudah diberi topping saus pedas dan mayo. Ada enam bola takoyaki di sana. Alhasil Wiyan berpikir jika Lail akan memberikan setengah dari yang dia beli.

“Gu–"

“Kamu nyicip aja satu, lima sisanya punyaku.” Ujar Lail, dia tersenyum lebar saat mendapati wajah masam Wiyan.

Wiyan mencicipi sumbangan satu takoyaki dari Lail. Saat makanan itu masuk ke dalam mulutnya, Wiyan mengerutkan alisnya. Rasanya enak, jika tidak mengikuti standar enak dari takoyaki asli.

“Gimana?”

Melihat Lail bertanya dengan wajah penuh harap. Wiyan merasa tak enak untuk mengomentari takoyaki ini dengan standar makanan yang ia miliki.

“Apanya?” Wiyan malah bertanya balik.

“Rasanya! Enak atau enggak?”

“Rasanya beda dari yang gue tahu.” Jujur Wiyan.

“Iyakah?”

Wiyan mengangguk. “Namanya takoyaki tapi isinya bukan gurita. Topping mayo emang lumayan masuk. Tapi saus pedas? Yang gue tahu itu pakai bubuk cabai. Dan yang paling khas dari topping takoyaki itu taburan katsuobushi sama aonori."

Lail melongo mendengar komentar Wiyan. Apa yang dia harapkan dari takoyaki yang dijual di pasar malam Indonesia? Dari penjelasannya saja, Lail yakin kalau yang Wiyan pernah makan adalah takoyaki asli Jepang, bukan yang KW seperti ini. Dan biasanya, takoyaki yang benar-benar meniru versi Jepang adalah yang dibuat di restoran.

“Iyan,” panggil Lail.

“Ya?” Wiyan menengok pada Lail, mulutnya masih menikmati rasa baru dari takoyaki KW ini. Sudah Wiyan bilang, rasanya lumayan enak jika tidak mengikuti standar yang asli.

“Orangtuamu itu sekaya apa?”

Wiyan berhenti mengunyah, susah payah dia menelan makanan yang belum sepenuhnya dia kunyah.

“Apa?” Wiyan tampak enggan menjawab. Dia tak suka jika Lail tahu.

“Gak usah pura-pura, Iyan. Aku juga bukan orang idiot sampai gak sadar hal itu. Aku tahu kalau kamu orang kaya.” Ungkap Lail, sudah sejak lama dia ingin bertanya. Namun sayang, dirinya tak pernah menemukan waktu yang tepat. Dan akhirnya malah lupa.

Wiyan menghela napas panjang. Sejak awal juga Wiyan tak berniat menutup-nutupinya. Tapi entah kenapa, jika itu Lail, berat bagi Wiyan untuk terbuka atas identitasnya.

Wiyan mengalihkan pandangannya dari Lail, “Emang kenapa?”

“Aku cuma mau nanya kamu tuh sekaya apa sampai suka traktir sana- sini. Gak usah jauh-jauh ke nominal uang tabunganmu deh. Kamu nabung di bank aja sebenernya udah nunjukkin kalau kamu ada pemasukan banyak. Soalnya 'kan nabung di bank itu kita bayar juga per bulannya.”

Dari wajahnya, nampak sekali jika Wiyan enggan membahas persoalan ini. Entah kenapa, tapi ini sifatnya universal bagi orang kaya untuk emosi saat disebut kaya. Aneh? Memang.

“Gue mau beli roti bakar dulu.” Wiyan mengalihkan topik.

“Hey–!”

“Lo duduk aja di bangku itu. Antriannya panjang, lo gak usah ikut, nanti capek.”

Walaupun kesal pada Wiyan yang mengalihkan pembicaraan, Lail tak berniat berdebat. Ia memutuskan menunggu Wiyan di bangku kayu sambil menghabiskan takoyakinya.

Eh... uangnya!

Baru saja mendaratkan dirinya ke atas bangku. Lail ingat jika seharusnya dia mentraktir Wiyan. Ketika Lail bangkit lagi untuk memberikan uangnya pada Wiyan, sosok remaja itu sudah hilang ditelan kerumunan.

Lail berdecak pelan. Wiyan berjalan seperti kilat.

Lail pasrah, lebih baik dia duduk tenang sampai Wiyan kembali. Saat Lail asyik melahap jajanannya. Terlihat seorang nenek tua menghampirinya. Tongkat di tangan kanannya bertugas untuk menumpu berat badannya. Langkahnya tertatih-tatih. Namun ekspresi wajahnya terkesan seperti orang yang masih segar bugar.

Ketika sang nenek semakin dekat, Lail menggeser dirinya supaya nenek itu bisa duduk juga. Si nenek tua, tanpa mengatakan apa pun langsung duduk. Kedua tangannya tak melepaskan tongkat kayu yang terlihat kokoh itu.

“Sebenarnya kamu punya nasib baik, gadis muda. Sayangnya kepala cantikmu selalu mengontrolmu berjalan menuju jurang kesialan.”

Nenek itu berbisik. Yang mana membuat suaranya hampir tak terdengar. Apalagi hiruk pikuk pasar malam nyaris meredam suara lain. Tadi saja Lail susah payah mendengarkan ucapan Wiyan.

“Maaf?” Lail mendekat ke arah nenek itu. Sebenarnya dia tak mau terlalu percaya diri kalau nenek itu bicara kepadanya, tapi tak ada siapapun lagi di antara mereka. Dan nenek tua itu tak sedang menggenggam ponsel.

Nenek tua itu menoleh ke arah Lail, tarikan di sudut bibirnya membuat keriput di wajahnya makin jelas. “Aku bilang kalau kalian adalah pasangan yang seimbang.”

“Siapa? Saya, nek? Dengan siapa?” Cecar Lail.

“Kamu dan dia yang datang bersamamu.” Lail tercenung.

“Kalian seperti cahaya dan bayangan.”

Kini Lail mendengus malas, “Nenek ini peramal bodong, ya? Tidak boleh loh menakut-nakuti orang lain. Lagi pula, di zaman seperti ini, memercayai ramalan adalah tindakan yang bodoh.”

Senyuman nenek tua itu semakin lebar.

“Semakin terang cahaya, semakin gelap pula bayangannya.”

Diam. Lail bungkam. Dia tak mau meladeni orang yang tidak jelas. Biarkan saja nenek tua itu berceloteh sendiri. Toh saat Wiyan datang, Lail akan langsung menariknya menjauh dari nenek aneh ini.

“Tapi apa kamu tahu, nak? Takkan ada bayangan saat cahaya sirna.”

Lail mengembuskan napas panjang. Takoyaki terakhir telah dilahap olehnya. Namun Wiyan masih belum menunjukkan tanda-tanda akan segera kembali. Sampai berapa lama dia harus mendengarkan ucapan nenek tua yang mungkin mabuk stel** ini?

“Kalian berdua ini–"

Lail menatap nenek tua itu dengan ekspresi malas. “Dengar ya, nek. Dia gak akan pernah jadi bayangan siapapun. Dia itu sosok paling 'bersinar' yang aku tahu. Lanturan nenek ini udah terlalu jauh.”

Senyum di wajah si nenek tua menghilang. “Tentu saja, nak.”

Iris mata Lail membulat sempurna. Lail tahu kalau ada yang salah di sini.

“Bukan kamu yang jadi cahaya untuknya. Tapi sebaliknya, kamulah bayangan anak muda itu.”

...****...

“Lo kenapa?”

Pertanyaan Wiyan memecahkan lamunan Lail. Ia baru sadar kalau mereka sedang berada di perjalanan pulang. Hanya setengah jam mereka menghabiskan waktu di pasar malam dan langsung pulang agar tak terlalu larut saat sampai di rumah.

“Aku cuma capek.” Lail menjawab pendek.

“Capek? Kita gak keliling satu pasar malam. Gue mau beli martabak aja lo halangin karena kebelet pulang.” Ejek Wiyan.

“Energi sosialku abis.”

"...."

“Maaf, Iyan.”

Mendengar permintaan maaf Lail, Wiyan jadi merasa bersalah karena mengejeknya. Mungkin Lail benar-benar lelah. Dia tak tahu bagaimana cara seorang introvert charge diri.

“Nanti aku traktir bakso deh,” Lail berupaya memperbaiki kesalahannya hari ini. Padahal dia yang mengajak Wiyan, tapi dia juga yang merusak suasananya.

“Gue gak suka bakso, kalau mi ayam baru mau.”

Lail mengangguk antusias, “Entar kuajak ke tukang mi ayam favoritku.”

“Tapi jujur, gue seneng kok. Lagian ini pengalaman pertama.” Ujar Wiyan.

Lail yang berjalan di samping Wiyan, tanpa sadar menyunggingkan senyum tipis.

Pengalaman pertama yah...

“Dasar orang kaya,” cibir Lail.

Bruk!

"Ouch!"

Lail mengaduh kesakitan saat wajahnya menghantam bahu Wiyan yang berhenti mendadak. Ingin sekali Lail memprotesnya. Namun melihat Wiyan yang terfokus ke arah lain, membuatnya melihat ke arah yang sama.

Milda...

Suasana hati Lail yang belum lama membaik kembali memburuk. Lail segera buang muka. Itu Milda. Dia tidak sendiri gang sempit itu. Ada Amanda dan Giselle juga di sana.

Tapi dari posisi mereka saat ini, Lail bisa menebak apa yang terjadi. Sebab, mustahil mereka datang bersama. Akhir- akhir ini Milda menjauh dari pasukan oranye dan selalu bersama dengan Shanaya.

Nih kelas drama mulu perasaan!

“Keliatannya ada yang gak beres.” Bisik Wiyan. “La–"

Wiyan terpaku. Matanya menatap Lail yang berjalan menjauh. Wiyan berlari kecil untuk menyusul Lail. Untungnya, Wiyan berhasil menangkap lengan Lail dan menghentikannya paksa.

“Kenapa malah pergi? Kita harus nolongin dia!” Wiyan menggenggam lengan Lail erat, mencegah gadis itu kabur.

Lail bungkam.

“Lo kenal dia, La?” Curiga Wiyan. Tepat sasaran.

“Teman sekelas,” Lail berbisik.

“Dia temen sekelas lo, La. Kenapa lo gak mau bantu dia?”

“Dia cuma temen sekelas, Iyan.” Jawab Lail dengan menekankan kata 'cuma'.

“Kenapa lo gak bantu dia?”

Lail mendengus sebal, “Kesan pertama dia bagi aku tuh buruk banget.”

“Lo gak bisa nilai orang lain cuma lewat kesan pertama, La.”

“...."

“Lo tunggu gue di sini, sebentar doank kok.”

Wiyan melepaskan genggaman tangannya. Kali ini, Lail juga tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya. Sorot matanya tak lepas dari punggung Wiyan yang berlari menjauh.

Dahi Lail berkerut tak senang.

Kita emang gak bisa nilai seseorang cuma dari satu kali pertemuan. Tapi gak semua orang bakal ngasih kesempatan kedua.

TBC

1
anggita
like👍☝iklan utk Lail.. moga novelnya sukses thor.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!