Tara Azhara Putri Mahendra—biasa dipanggil Tara—adalah seorang wanita muda yang menjalani hidupnya di jantung kota metropolitan. Sebagai seorang event planner, Tara adalah sosok yang tidak pernah lepas dari kesibukan dan tantangan, tetapi dia selalu berhasil melewati hari-harinya dengan tawa dan keceriaan. Dikenal sebagai "Cewek Tangguh," Tara memiliki semangat pantang menyerah, kepribadian yang kuat, dan selera humor yang mampu menghidupkan suasana di mana pun dia berada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon xy orynthius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 19
Pagi yang kelabu menyelimuti Kota Auriel, menyembunyikan cahaya matahari di balik awan gelap yang menggantung rendah di atas gedung-gedung tinggi. Di sebuah apartemen sempit yang tersembunyi dari keramaian, Tara, Adrian, dan Lucas duduk mengelilingi meja kecil, memeriksa dokumen-dokumen yang baru mereka peroleh dari Dimitri. Di antara mereka, ketegangan merambat seperti listrik statis, menambah rasa cemas yang sudah menekan sejak mereka memulai perjalanan ini.
"Kita harus siap untuk apa pun," ucap Lucas seraya menatap dua rekannya. Suaranya rendah, tetapi tekadnya tak tergoyahkan. "Ini bukan lagi soal menghentikan Proyek Apocrypha, tapi soal menyelamatkan diri kita sendiri. Mereka pasti udah tahu kalau kita semakin dekat ke pusat operasi mereka."
Tara yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. "Kalau Dimitri benar soal fasilitas bawah tanah itu, maka di sana adalah titik akhir kita. Kita harus bertaruh semua di sana. Entah kita berhasil, atau kita habis."
Adrian menatap kedua rekannya, menyadari betapa seriusnya misi ini. Mereka bertiga telah melewati begitu banyak bersama—pengkhianatan, pengejaran, dan kini mereka mendekati puncak dari semua itu. "Gue tahu kita nggak punya pilihan lain, tapi kita harus siap menghadapi kenyataan kalau ini bisa jadi misi terakhir kita."
Lucas mengangguk, lalu meraih tas kecil di sudut ruangan dan mengeluarkan peta digital serta berbagai peralatan kecil lainnya. "Gue udah ngelacak fasilitas bawah tanah yang Dimitri sebutkan. Ini tempatnya," ujarnya sambil menunjukkan titik di peta, tak jauh dari pinggiran kota.
"Itu daerah terlarang, kan?" tanya Tara dengan alis terangkat. "Gue pernah dengar soal itu. Nggak banyak yang tahu detailnya, tapi katanya itu bekas fasilitas militer yang sekarang digunakan untuk proyek-proyek rahasia."
Adrian mengamati peta dengan seksama. "Kita harus bisa masuk tanpa mencolok. Ada jalan yang bisa kita tempuh, tapi kita harus benar-benar berhati-hati. Kita juga butuh identitas untuk melewati pengawasan mereka."
Lucas mengeluarkan kartu identitas palsu yang telah ia persiapkan. "Ini akan membantu kita masuk. Tapi setelah itu, kita sendiri yang harus bertahan."
Mereka semua mengangguk, sepakat untuk melanjutkan rencana yang penuh risiko ini. Dengan persiapan yang matang, mereka meninggalkan apartemen itu, menuju ke kendaraan yang sudah diparkir di luar. Perjalanan menuju pinggiran kota berlangsung dalam keheningan, hanya diiringi oleh gemuruh mesin mobil yang membawa mereka mendekati tujuan akhir mereka.
Saat mereka tiba di perbatasan daerah terlarang, atmosfer di sekitar mereka berubah. Jalanan yang tadinya sepi kini dipenuhi dengan keheningan yang menakutkan. Tak ada tanda-tanda kehidupan, hanya bangunan tua yang berdiri sunyi dan pepohonan yang bergoyang pelan ditiup angin dingin.
Lucas menghentikan mobilnya beberapa meter dari pos penjagaan pertama. "Kita harus jalan kaki dari sini," katanya sambil mematikan mesin mobil.
Mereka keluar dari mobil dengan hati-hati, menutup pintu pelan agar tidak menarik perhatian. Setelah memastikan keadaan aman, mereka mulai menyusuri jalan setapak yang tersembunyi di antara pepohonan, menuju ke fasilitas bawah tanah yang disebut Dimitri.
Tak lama kemudian, mereka melihat bangunan beton besar yang setengah terkubur di dalam tanah. Dindingnya berlapis baja tebal, dan hanya ada satu pintu masuk yang dijaga ketat oleh beberapa petugas bersenjata lengkap. Kamera pengawas terpasang di setiap sudut, mengawasi setiap inci dari tempat itu.
"Kita harus pakai identitas palsu ini sekarang," bisik Lucas sambil membagikan kartu identitas kepada Tara dan Adrian.
Dengan ketegangan yang semakin menumpuk, mereka bertiga berjalan mendekati pintu masuk. Petugas penjaga segera menatap mereka dengan curiga, tapi Lucas, dengan percaya diri yang dipaksakan, menyerahkan kartu identitasnya. "Kami di sini untuk pemeriksaan rutin. Diminta langsung oleh atasan di pusat."
Petugas itu menatap Lucas dengan tatapan tajam sebelum memeriksa kartu identitasnya melalui perangkat pemindai. Untuk beberapa detik yang terasa seperti seabad, mereka menunggu hasil pemindaian itu. Akhirnya, layar perangkat pemindai menunjukkan tanda hijau, menandakan bahwa mereka diizinkan masuk.
"Masuklah," kata petugas itu dengan nada dingin sambil membuka pintu besar yang terbuat dari baja.
Saat mereka melangkah masuk, perasaan lega sementara menyelimuti mereka. Namun, mereka tahu bahwa tantangan terbesar masih menunggu di dalam. Begitu mereka melewati pintu baja yang berat, mereka disambut oleh lorong panjang yang sepi, hanya diterangi oleh lampu neon putih yang memancarkan cahaya dingin.
"Ini baru awal," bisik Tara saat mereka mulai menelusuri lorong tersebut. "Kita harus menemukan pusat data mereka. Semua informasi penting pasti ada di sana."
Lorong itu terasa seperti labirin tanpa akhir, dengan setiap belokan membawa mereka lebih jauh ke dalam kompleks yang menyeramkan ini. Di beberapa titik, mereka melihat petugas keamanan berjaga, tetapi Lucas yang memimpin memastikan mereka bisa menghindari deteksi dengan bergerak cepat dan tenang.
Setelah beberapa menit yang mencekam, mereka akhirnya menemukan ruangan besar yang penuh dengan peralatan komputer dan server. "Ini dia," bisik Adrian. "Pusat dari semua operasi mereka."
Tara dan Lucas segera mulai mengakses komputer-komputer.
###
Mereka berhasil mengambil langkah penting yang membawa mereka lebih dekat pada tujuan akhir: menghancurkan Proyek Apocrypha dan mengungkap kebenaran yang selama ini tertutupi. Tapi mereka juga menyadari, bahwa apa yang mereka pegang sekarang adalah kunci sekaligus kutukan. Setiap detik yang berlalu membawa mereka semakin dekat pada bahaya yang tak terhindarkan.
Setelah beristirahat sejenak di atas bukit yang tersembunyi, Tara memecah keheningan. "Kita harus segera pergi dari sini. Tempat ini mungkin aman untuk sementara, tapi nggak ada yang tahu kapan mereka akan menemukan jejak kita."
Lucas menatap ke arah langit yang mulai terang, dengan matahari yang perlahan menyingkap awan-awan gelap. "Kita juga perlu rencana untuk mempublikasikan data ini. Kita nggak bisa hanya mengandalkan satu saluran. Kalau salah langkah, semua kerja keras kita sia-sia."
Adrian, yang selama ini menjadi perencana strategis tim, mengangguk setuju. "Gue punya beberapa kontak yang bisa kita percaya. Tapi kita harus hati-hati. Siapapun yang kita hubungi, mereka harus benar-benar bisa diandalkan."
Tara berdiri, merapikan tasnya dan menatap kedua rekannya. "Kalau begitu, kita bergerak sekarang. Kita harus selalu selangkah di depan mereka."
Mereka bertiga mulai menuruni bukit, kembali ke jalan setapak yang membawa mereka menjauh dari fasilitas terkutuk itu. Mereka harus bergerak cepat, meninggalkan Kota Auriel yang penuh misteri dan bahaya. Namun, mereka tahu bahwa perjalanan mereka belum berakhir. Sebaliknya, ini baru permulaan dari pertempuran yang lebih besar.
Setelah berjalan cukup jauh hingga mereka yakin sudah aman, mereka kembali ke mobil yang tersembunyi di hutan. Dengan kecepatan penuh, Lucas mengarahkan mobil mereka ke jalan raya, meninggalkan pinggiran kota di belakang. Misi mereka berikutnya adalah menemukan tempat yang aman untuk menganalisis data dan merencanakan langkah-langkah berikutnya.
Dalam perjalanan, Tara tidak bisa mengusir perasaan gelisah yang menyelimuti dirinya. Dia membuka tas dan mengeluarkan perangkat penyimpanan yang berisi semua data penting. "Kita benar-benar harus memastikan ini sampai ke tangan yang tepat," katanya, berbicara lebih pada dirinya sendiri daripada kepada rekan-rekannya.
Lucas, yang terus memfokuskan pandangannya ke jalan, merespons tanpa menoleh. "Gue udah tahu siapa yang bisa bantu kita. Seorang mantan wartawan investigasi yang sekarang bekerja di bawah radar. Dia punya sumber daya dan jaringan yang bisa kita gunakan untuk menyebarkan informasi ini dengan cepat dan efektif."
Adrian menoleh, tertarik dengan rencana Lucas. "Lo yakin dia bisa dipercaya? Karena kalau sampai bocor sebelum waktunya, kita semua bisa dihabisi."
Lucas tersenyum tipis, meski matanya tetap fokus ke jalan. "Gue pernah kerja sama dengan dia di masa lalu. Dia udah ngebantu banyak orang yang diincar oleh pihak-pihak kuat. Kalau ada yang bisa ngebantu kita, itu dia."
Tara merasa sedikit lega mendengar keyakinan Lucas. "Oke, kalau gitu kita temui dia. Tapi kita harus tetap waspada. Proyek Apocrypha nggak akan tinggal diam."
Perjalanan mereka terus berlanjut hingga mereka tiba di sebuah kota kecil yang jauh dari hiruk-pikuk Auriel. Lucas membawa mereka ke sebuah rumah yang tampak biasa dari luar, tapi jelas menyimpan rahasia di dalamnya. Mereka mengetuk pintu dengan pola tertentu, dan beberapa detik kemudian, seorang pria paruh baya dengan rambut sedikit beruban dan tatapan tajam membukakan pintu.
"Lucas. Lama nggak ketemu," sapa pria itu dengan nada rendah, tapi bersahabat.
Lucas menjabat tangan pria itu dengan hangat. "Raymond, gue butuh bantuan lo lagi. Ini serius."
Raymond mengangguk sambil mempersilakan mereka masuk. "Kalau Lucas bilang ini serius, gue percaya. Ayo masuk, kita ngobrol di dalam."
Mereka bertiga masuk ke dalam rumah Raymond, yang tampak lebih seperti markas daripada tempat tinggal. Di dalam, terdapat beberapa komputer canggih, monitor besar yang menampilkan berbagai data, dan beberapa tumpukan dokumen yang terorganisir dengan rapi. Raymond mengarahkan mereka ke ruang tamu kecil yang terasa lebih nyaman.
"Jadi, apa yang lo bawa kali ini?" tanya Raymond sambil duduk dan menyalakan rokoknya.
Lucas memberikan perangkat penyimpanan kepada Raymond. "Ini data tentang Proyek Apocrypha. Kalau lo bisa bantu kita mempublikasikan ini, kita bisa menghancurkan mereka."
Raymond memandang perangkat itu dengan mata penuh minat, lalu menatap Lucas, Tara, dan Adrian satu per satu. "Gue udah dengar desas-desus tentang proyek itu, tapi nggak pernah ada bukti nyata. Kalau yang lo bilang ini benar, kita bisa bikin geger banyak pihak."
Adrian, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Tapi kita nggak bisa gegabah. Kita butuh waktu yang tepat, dan kita harus siap dengan reaksi balik mereka. Ini bukan cuma soal membocorkan informasi. Ini soal bertahan hidup setelah itu."
Raymond mengangguk setuju. "Lo benar. Kita butuh rencana yang matang. Pertama, gue akan menganalisis data ini, ngecek semua informasi yang ada, dan kita bisa mulai dari sana. Kita juga harus siap kalau mereka mulai nyari kita. Gue punya beberapa tempat persembunyian kalau situasi jadi panas."
Tara, yang merasa beban di pundaknya sedikit berkurang, tersenyum kecil. "Makasih, Raymond. Kita butuh semua bantuan yang bisa kita dapet sekarang."
Raymond mengangguk dengan tegas. "Lo nggak usah khawatir. Kita semua ada di perahu yang sama sekarang. Kalau mereka mau jatuhin kita, mereka harus kerja keras."
Dengan itu, mereka menyusun rencana lebih lanjut, mempersiapkan diri untuk menghadapi gelombang serangan berikutnya. Mereka tahu bahwa ini adalah pertarungan yang akan menguji batas kemampuan mereka. Tapi dengan tekad yang kuat dan informasi yang mereka miliki, mereka siap untuk melawan.
Dalam keheningan malam yang semakin larut, Tara, Adrian, Lucas, dan Raymond merencanakan langkah-langkah mereka selanjutnya, menyadari bahwa hidup mereka kini berada di ujung tanduk. Tapi mereka juga tahu, bahwa mereka tidak akan menyerah tanpa perlawanan. Pertarungan mereka baru saja dimulai, dan apapun yang terjadi, mereka akan terus maju sampai kebenaran terungkap.
Dan dengan itu, mereka menatap ke depan, ke jalan panjang yang masih terbentang di depan mereka, siap untuk menghadapi semua tantangan yang akan datang.