EKSKLUSIF HANYA DI NOVELTOON.
Nanda Maheswari tak pernah menyangka bahwa ia akan mengandung benih dari Langit Gemintang Laksono tak lama setelah pria yang ia cintai secara diam-diam tersebut merudapaksa dirinya karena emosi dan salah paham semata. Terlebih Langit saat itu di bawah pengaruh alkohol juga.
"Aku benci kamu Nan !!" pekik Langit yang terus menggempur Nanda di bawah daksa tegapnya tanpa ampun.
"Tahu apa kamu soal cintaku pada Binar, hah !"
"Sudah miskin, belagu! Sok ikut campur urusan orang !"
Masa depannya hancur berantakan. Kehilangan kesucian yang ia jaga selama ini dan hamil di luar nikah. Beruntung ada pria baik hati yang bersedia menutupinya dengan cara menikahinya. Tetapi naas suaminya tak berumur panjang. Meninggal dunia karena kecelakaan.
"Bun, kenapa dunia ini gelap dan kejam?"
Takdir semakin pelik bagi keduanya. Terlebih Langit sudah memiliki istri dan satu orang anak dari pernikahannya.
Update : Setiap Hari.
Bagian dari Novel : Sebatas Istri Bayangan🍁
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Safira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 - Ara vs Elang
Saat pembelajaran berlangsung, Ara terus menatap Elang. Ia sedang tidak fokus pada pelajarannya.
Bocah berbulu mata lentik nan cantik ini sedang fokus pada sosok Elang Perwira Legenda yang duduk di sampingnya. Elang pun merasakan seseorang yang ada di sampingnya ini tengah memperhatikan dirinya. Walaupun dirinya buta, tetapi ia peka dengan sekitarnya. Terlebih saat dirinya terjaga seperti sekarang ini.
"Kenapa kamu ngelihatin aku terus? Apa ada yang salah di wajahku?" tanya Elang tiba-tiba dan hal itu sontak membuyarkan lamunan Ara.
"Hihi..."
"Kakak uta-uta bica tahu uga telnyata. Ini uta na boongan ya," ledek Ara seraya jarinya mencolek-colek mata Elang.
Elang pun hanya diam membiarkan bocah perempuan yang baru ia kenal sekarang ini menuduh jika dirinya buta bohongan. Ia tahu bocah perempuan ini bercanda padanya. Hanya sekedar menggodanya saja. Ia sangat tahu dari nada pembicaraan Ara. Tidak tersirat sama sekali jika Ara menghina maupun mengejek kebutaannya.
Sehingga ia membiarkan Ara terus berceloteh. Bocah yang menurutnya usil tapi lucu. Ia tak marah pada Ara. Sebab ia jarang punya teman seperti ini.
Tiba-tiba Ara mengambil pensil Elang tanpa aba-aba.
Grepp...
Pensil Elang langsung berpindah tangan dengan cepat pada tangan mungil Ara yang begitu lihai.
"Eh, pensilku. Kembalikan," pinta Elang yang terkejut. Namun ia tetap meminta pensilnya dengan baik-baik pada Ara.
"Pinjem dulu bental," ucap Ara. Mendadak entah mengapa di dalam kelas tepatnya di sekolah yang sekarang ini, Ara banyak berceloteh dan berinteraksi dengan temannya seperti saat ini. Padahal dulu-dulu ia tak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya di sekolahnya. Lebih banyak diam.
"Kalau kamu pakai pensilku, terus aku nulis pakai apa?" tanya Elang yang berusaha sabar menghadapi Ara.
"Janan pelit !"
"Ental wajah Kakak yang tampan berubah jadi jelek," ucap Ara yang tengah sibuk menggambar sesuatu di kertas miliknya.
"Kamu bisa minta Bu Guru pensil kalau lupa bawa," saran Elang. Sebab memang sekolah juga menyediakan alat tulis cadangan jika ada murid yang tak membawa peralatan sekolah.
"Malas. Minta saja sendili ke Bu Gulu," ucap Ara lirih namun dengan nada menekan.
"Huft !!" keluh Elang.
Hening pun tercipta di antara kedua bocah tersebut yang duduk di bagian belakang. Tiba-tiba Elang pun bersuara kembali setelah mengingat sesuatu.
"Namaku Elang. Namamu siapa?"
"Buat apa tau namaku? Mau culik aku ya? Hehe..." ledek Ara.
"Pasti kamu kurus. Malas culik bocah perempuan kurus. Enggak asyik," balas Elang. Mendadak ia ikut terpancing meledek Ara.
"Kurus-kurus begini, aku kuat tau!" balas Ara yang tak mau kalah.
"Kamu yang ceburin aku ke kolam ya waktu itu?" tanya Elang yang sekedar menebak.
Entah mengapa feelingnya begitu kuat pada bocah perempuan yang duduk di sebelahnya ini sebagai tersangka yang membuat dirinya basah kuyup. Padahal dahulu keduanya belum sempat berkenalan.
"Endak," jawab Ara sengaja berbohong. Ia tak mau mengaku pada Elang jika memang dirinya pelaku atas kejadian di kolam waktu itu.
"Enak ajah nuduh olang cembalangan!"
"Aku lapolin Papaku biar nanti kakak ditangkep. Mau?"
Deg...
Mendengar kata Ayah atau Papa yang keluar dari bibir Ara, mendadak hati Elang mencelos. Ia teringat dengan ayah kandungnya yang bernama Laksono.
Apa kabar dengan Ayah kandungnya ?
Apakah Ayah kandungnya tidak rindu padanya ?
Apa Ayah kandungnya tidak menginginkan kehadirannya di dunia ini sehingga tidak pernah datang menemuinya ?
Ribuan pertanyaan yang hinggap di hatinya sejak dahulu namun hingga saat ini belum juga ia dapatkan jawabannya. Sungguh sesak dadanya kala mendengar Ara menyebut kata Papa di telinganya.
Rindu. Tentu ia sangat rindu dengan pelukan seorang Ayah yang tak pernah ia dapatkan selama ini. Bahkan kata sang ibu, Ayah Charlie tak sempat memeluk dirinya yang baru terlahir di dunia ini. Tuhan memanggilnya terlebih dahulu. Meninggalkan kesedihan mendalam bagi ibunya dan juga dirinya.
Malaikat tak bersayap. Ia sematkan pada sosok Ayah Charlie yang belum sempat ia lihat fotonya seperti apa. Dirinya hanya menyapa Ayah Charlie dalam setiap bait doa yang ia langitkan dan juga ketika sedang berziarah ke makamnya.
Sedangkan untuk ayah kandungnya, ia hanya berdoa agar sang Ayah sehat selalu. Bibirnya terasa kelu untuk berdoa meminta agar ayahnya segera datang padanya. Sebab doa utama baginya setiap selesai salat hanya satu. Bisa melihat wajah ibunya, Nanda Maheswari. Wanita yang telah melahirkannya. Wanita yang rela mempertahankannya dan tak membunuhnya saat masih dalam kandungan. Wanita yang rela dan ikhlas pontang-panting sendirian demi menghidupi dan membahagiakannya.
Suurga di telapak kaki ibu. Cocok disematkan pada seorang Nanda Maheswari di benak Elang Perwira Legenda.
Ia pernah mendengar selentingan omongan tetangganya jika dirinya adalah anak haram. Sebab Ayahnya seorang bule tetapi dirinya berparas pribumi. Tak ada darah bule sama sekali yang terpampang nyata di fisiknya. Itu yang dilontarkan oleh tetangganya yang bergunjing di belakang dirinya dan sang ibu.
Namun ibunya tak pernah membalas omongan tetangganya. Sang ibu selalu meminta dirinya untuk fokus pada urusan belajar dan sekolah. Terkadang dalam kehidupan yang keras ini memang diperlukan rasa cuek dan menutup telinga kita untuk hal-hal tidak penting. Hanya membuang tenaga jika kita terus menanggapinya. Justru semakin membuat besar kepala orang yang menggunjing kita.
Karena kita sebagai manusia hanya memiliki dua tangan dan tak bisa menutup mulut semua orang. Cukup dua tangan tersebut digunakan untuk berdoa pada Tuhan selaku Sang Pemilik Kehidupan di muka bumi ini.
Baginya masa lalu orang tuanya adalah milik ibu dan ayah kandungnya. Ia memilih tidak terlalu peduli dengan omongan orang lain.
Ia hanya percaya satu orang di muka bumi ini yakni ibunya, Nanda Maheswari.
Dirinya juga tak ingin banyak bertanya pada sang ibu tentang ayah kandungnya dan masa lalu yang terjadi antara keduanya. Ia takut melukai hati ibunya.
☘️☘️
Jam istirahat pun tiba, Elang saat ini tengah berada di taman sekolah bersama ibunya. Nanda telah menyiapkan bekal untuk putranya. Ia berusaha memberikan makanan yang bergizi untuk Elang. Jika untuk dirinya, tak begitu penting mau makan apa pun juga ia bisa. Nasi dan sepotong tahu goreng buatnya sudah mewah untuk dirinya sendiri.
"Tara..." sorak ceria Nanda membuka bekal milik putranya. Bekal yang ia buat sendiri dengan tangannya. Ia buat penuh cinta dan kasih sayang untuk Elang Perwira Legenda sepanjang nafasnya masih berhembus.
Gema tasbih selalu ia langitkan terutama untuk kesehatan dirinya dan juga putranya. Baginya, sehat itu sangat mahal harganya. Dengan sehat, ia bisa bekerja dan melakukan banyak hal bersama putranya tersebut. Membuat kenangan indah sebanyak-banyaknya. Karena kenangan yang tercipta tak harus pergi ke tempat-tempat yang mahal. Ke pasar malam yang murah meriah saja, keduanya sudah sangat bahagia.
"Ayo kita makan sayang," ucap Nanda pada putranya dengan penuh semangat.
"Bunda memang the best pokoknya. Selalu bikinin aku makanan yang enak-enak. Makin sayang aku sama Bunda," ucap Elang seraya memeluk Bundanya dengan penuh senyuman bahagia.
"Eh, anak gantengnya Bunda tumben manja-manja begini sambil peluk Bunda. Hehe..." ucap Nanda seraya terkekeh.
"Ini di tempat umum, Nak. Bunda malu," bisik Nanda seraya tertawa kecil. Ia hanya berniat menggoda putranya saja. Tentunya ibu mana di dunia ini yang tak terharu dipeluk hangat secara tiba-tiba oleh putranya yang tak sungkan untuk mengungkapkan rasa cintanya di depan umum.
Sedangkan dari jarak yang tak begitu jauh, Ara melihat keakraban Elang bersama sosok wanita yang tentunya Ara bisa menebak dari gestur keduanya. Pasti wanita itu adalah ibu Elang.
Dalam hati bocah perempuan yang berbulu mata lentik ini sejujurnya sangat iri pada Elang yang terlihat begitu disayang oleh ibunya. Bahkan dibuatkan bekal dan disuapin. Keduanya saat ini bahkan tengah saling menyuapi. Walaupun Elang tak bisa melihat, tetapi ia bisa menyuapi Nanda perlahan-lahan dengan diarahkan oleh ibunya.
Sedangkan dirinya tak pernah diperlakukan oleh sang Mama seperti itu. Matanya tengah berkaca-kaca menatap kehangatan yang terpancar jelas di depannya saat ini. Sekali kedip pasti air mata itu akan langsung membasahi pipi bocah cantik ini.
Bik Sari tengah kebingungan mencari Ara. Sebab ia tadi sedang buang air kecil. Dan saat kembali ke kelas, ternyata murid dan para orang tua sudah tidak ada karena sedang jam istirahat.
Tes...
Tes...
Air mata itu akhirnya luruh juga di pipi Ara.
"Mama," gumam Ara lirih.
Seketika Nanda menoleh dan tanpa sengaja matanya bersirobok dalam satu pandangan garis lurus yang sama ke tempat Ara berdiri. Keduanya saling bertatapan dalam diam dengan terpisah jarak beberapa langkah saja. Nanda yang duduk di bangku taman sekolah bersama Elang. Sedangkan Ara berdiri di sebelah pohon sambil menatap ke arah Nanda.
Deg...
Bersambung...
🍁🍁🍁
kasihan alea uh salah jalan, langit juga tersiksa pnya mak rempong sombong gini