Keidupan normal Karina gadis 17 tahun yang baru saja putus cinta seketika berubah, Dengan kedatangan Dion yang merupakan artis terkenal, Yang secara tidak terduga datang kedalam kehidupan Karina, Dion yang telah mempunyai kekasih harus terlibat pernikahan yang terpaksa di lakukan dengan Karina, siapakah yang akan Dion pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedekatan
Karina menghela napas, merasa tawaran Anton masuk akal, "Emmm... yaudah, kali ini gue mau deh," jawabnya akhirnya, menyerah pada kenyataan bahwa hujan memang bisa mempersulit perjalanan. Sejak putus dari Ricky, Karina memang lebih tertutup dan menjaga jarak dari laki-laki, termasuk dari Anton. Dia tak ingin lagi merasakan sakit hati atau dipermainkan.
Hubungannya dengan Ricky telah merubah cara pandangnya terhadap cinta. Begitu juga dengan Dion, meskipun mereka menikah dan tinggal di bawah satu atap, Karina sengaja menjaga jarak darinya. Dia sudah tahu bagaimana akhir dari pernikahan mereka, jadi dia tak ingin terjebak perasaan yang lebih dalam kepada Dion.
Namun, di dalam hatinya, Karina masih sering bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya dia inginkan dari hidupnya."Mungkin gue emang butuh waktu untuk sendiri," batinnya saat menatap hujan yang turun semakin deras.
Karina menaiki motor Anton, merasa canggung selama perjalanan dengan Anton. Saat mereka hampir tiba di dekat tempat tinggalnya, Karina memutuskan untuk berhenti sebelum apartemen. "Ton, turunin di depan aja," ucapnya, suaranya terdengar tenang tapi ada ketegangan yang tersembunyi. Anton mengerutkan dahi, menatap Karina dengan heran. "Di depan aja? Yakin lo, Rin?"
Karina mengangguk cepat. "Yakin. Udah, pulang aja. Makasih ya udah anterin," katanya sambil tersenyum tipis, berharap Anton tidak bertanya lebih jauh. Dia tidak mau Anton tahu bahwa dia tinggal di apartemen, tempat yang menurutnya terlalu mencolok untuk dilihat teman-temannya. Dengan ragu, Anton menepikan motornya di pinggir jalan. "Oke deh, hati-hati ya, Rin," katanya sebelum Karina turun dari motor Anton.
Saat Karina turun, sebuah mobil lain lewat di jalan itu. Tanpa ia sadari, Dion melihatnya dari dalam mobil. Mata Dion terpaku pada sosok Karina yang sedang berbicara dengan Anton, seseorang yang ia kenali dengan baik. "Loh, itu Karina sama Anton," gumam Dion, matanya menyipit. Anton, ketua OSIS di sekolah, ternyata dekat dengan Karina?
Dion segera melajukan mobilnya, perasaan tak nyaman mulai menyelimuti dirinya. Sesampainya di apartemen, dia tidak bisa berhenti memikirkan apa yang baru saja dilihatnya.
Tak lama setelah itu, Karina masuk ke apartemen. Sebelum dia sempat berkata apa-apa, Dion langsung menyindir, "Oh, jadi sekarang lo udah punya pacar baru? Pantesan aja pulangnya malem terus."Karina berhenti di pintu, terkejut dengan ucapan Dion. "Pacar? Maksud lo apa?" tanyanya bingung, sambil melepas sepatunya.
"Itu, si Anton. Yang tadi nganterin lo," Dion menjawab dengan nada sinis, menahan perasaan yang entah kenapa tiba-tiba muncul. Karina menghela napas. "Oh, Anton? Tadi kebetulan aja ketemu di jalan. Gue gak pacaran sama dia," jawabnya tenang, sambil mengabaikan tatapan Dion yang penuh kecurigaan.
"Ada apa Dion?" tanya Karina sambil menatap Dion dengan pandangan sedikit curiga. Dion meletakkan sebuah kartu di atas meja, kartu kreditnya. "Ini, pake aja. Lo kan gak pernah minta duit sama gue, tapi gue tau lo perlu. Gue gak peduli lo mau pake buat apa, yang penting lo bisa ngurus diri lo tanpa kesusahan," ucap Dion dengan nada serius.
Karina terdiam, menatap kartu kredit itu sejenak sebelum mengalihkan pandangannya ke Dion. "Gue gak butuh kartu kredit lo, Dion. Gue bisa cari duit sendiri. Lagian, kita udah sepakat buat urus hidup masing-masing, kan?" jawab Karina, suaranya terdengar tegas meskipun dalam hatinya dia merasa sedikit tersentuh.
Dion menghela napas panjang, seolah menahan perasaan yang sulit diungkapkan. "Iya, gue tau kita sepakat buat urus hidup masing-masing, tapi lo tetep tanggung jawab gue. Gue gak bisa pura-pura gak peduli pas gue tau lo lagi kesusahan," ujar Dion, nadanya lebih lembut. Karina hanya terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Di satu sisi, dia menghargai perhatian Dion, tapi di sisi lain, dia tidak ingin bergantung pada orang lain, terutama pada Dion, yang pernikahannya hanya formalitas.
"Udah deh, simpen aja. Gak perlu lo pake sekarang kalo lo masih gengsi. Tapi kalau lo butuh, lo tau lo bisa pake," Dion berdiri dari kursinya dan berjalan pergi, meninggalkan kartu kredit itu di meja, sementara Karina masih merenung, memikirkan apa yang harus dia lakukan selanjutnya.
Karina hanya terpaku memandangi kartu yang sekarang ada di tangannya. Pikirannya berkecamuk. Apa Dion udah tahu gue kerja part time di kafe? batinnya gelisah. Tak lama kemudian, Karina mengetuk pintu kamar Dion, “Tok tok... Dion, keluar dulu sebentar.”Dion membuka pintu dengan tatapan datar. “Ada apa, Rin?” Karina mengulurkan kartu kredit itu, “Nih, gue balikin kartunya.”Dion menatapnya sejenak, lalu berkata dengan nada tegas, “Gak ada penolakan. Itu kewajiban gue.”
Karina menggeleng, mencoba bersikeras. “Gue gak butuh. Gue punya uang sendiri.”
Dion mengambil kartu yang Karina coba kembalikan, tapi dia tidak melepasnya begitu saja. “Oke, kalau gitu, gue bakal bilang ke ibu kalau lo nolak uang dari gue. Gue gak tahu dari mana lo dapet uang gak jelas itu, apalagi lo selalu pulang malam.”Ancaman Dion membuat Karina panik. Dengan terpaksa, dia merebut kembali kartu itu dari tangan Dion. “Oke, gue terima. Tapi gue cuma pake duit lo buat kebutuhan rumah,” ucapnya, masih mempertahankan gengsi untuk tidak menggunakan uang Dion untuk kebutuhan pribadinya.
“Terserah.” Dion langsung menutup pintu kamarnya dengan kesal. Di dalam kamar, dia mencoba berbaring, tetapi pikirannya tak tenang. “Kenapa gue gak bisa tidur sih,” gumamnya frustrasi.
...****************...
Keesokan paginya, hari Minggu tiba. Dion dan Karina sama-sama sibuk membersihkan apartemen. Mereka tak banyak bicara, hanya fokus pada pekerjaan masing masing. Karina merasa bersalah atas kejadian semalam, dan tak berani membuka percakapan. Menurutnya, Dion wajar kesal. Ia tahu dirinya terkesan tidak menghargai Dion dan lebih mementingkan gengsinya.
Merasa tak nyaman dengan keheningan itu, Dion akhirnya berbicara lebih dulu. Saat ini, Karina sedang menyapu lantai, sedangkan Dion membersihkan debu dengan kemoceng. “Rin, stok makanan di kulkas masih ada atau udah habis?” tanyanya basa basi, mencoba mencairkan suasana. Namun, di balik pertanyaan itu, Dion bingung menghadapi sikap Karina yang selalu tertutup dan menjauh darinya.
Karina berhenti sejenak, lalu membuka kulkas. “Udah pada habis sih,” jawabnya singkat dan dingin.
“Belanja yuk,” ajak Dion sambil tersenyum, berusaha membuat Karina lebih nyaman. “Nanti aja, agak siang. Aku belanja sendiri,” sahut Karina. Dion merasa penolakannya kali ini lebih menusuk, namun dia tidak ingin mengalah. “Gue ikut,” jawab Dion, suaranya tegas sambil menatap mata Karina.“Jangan, lo kan artis. Ntar kalau ada wartawan atau fans lo, bisa gawat,” alasan Karina terdengar canggung, berusaha agar Dion tidak ikut.
Dion menggelengkan kepala. “Gue bisa pake masker dan topi. Itu cukup buat nyamar.” Karina terdiam, merasa kalah dalam perdebatan ini. “Tapi... ah yaudah, ayo.” Setelah itu, Karina mulai bersiap-siap. Ia mengenakan rok pendek sepaha, kaos putih sederhana, dan membiarkan rambut panjangnya tergerai. Riasannya tipis, namun tetap membuatnya terlihat menawan.