Rani seorang guru TK karena sebuah kecelakaan terlempar masuk ke dalam tubuh istri seorang konglomerat, Adinda. Bukannya hidup bahagia, dia justru dihadapkan dengan sosok suaminya, Dimas yang sangat dingin Dan kehidupab pernikahan yang tidak bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putu Diah Anggreni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tiba-tiba bisa main piano?
Pagi itu, sinar mentari merayap masuk melalui jendela-jendela besar di ruang keluarga. Dimas terbangun lebih awal, kebiasaan yang sulit dihilangkan meski hari itu adalah hari Minggu. Ia berjalan ke dapur, bermaksud membuat kopi untuk dirinya sendiri dan teh untuk Bu Siti dan Rani.
Namun, langkahnya terhenti ketika ia mendengar alunan melodi lembut mengalun dari ruang musik. Suara piano yang familiar itu membuatnya tertegun. Dengan hati-hati, ia melangkah mendekati sumber suara.
Di sana, di depan grand piano hitam yang sudah lama tidak tersentuh, duduk Rani. Jari-jarinya menari di atas tuts hitam dan putih, menciptakan melodi yang indah namun sendu. Dimas berdiri di ambang pintu, terpaku. Ia tahu bahwa Rani, atau lebih tepatnya Adinda, tidak pernah bisa bermain piano sebelumnya.
"Chopin, Nocturne in E-flat major," gumam Dimas pada dirinya sendiri, mengenali lagu yang dimainkan Rani.
Seolah menyadari kehadiran Dimas, Rani berhenti bermain dan menoleh. Ada kebingungan di matanya, seolah ia sendiri terkejut dengan apa yang baru saja dilakukannya.
"Dimas?" panggil Rani lirih. "Aku... aku tidak tahu bagaimana aku bisa memainkan itu."
Dimas melangkah masuk, duduk di samping Rani di bangku piano. "Itu tadi sangat indah," ujarnya lembut. "Tapi sejak kapan kamu bisa bermain piano?"
Rani menggeleng, matanya menatap tuts piano dengan bingung. "Aku tidak tahu. Tadi aku terbangun dan merasa ingin menyentuh piano ini. Lalu... lalu jari-jariku seolah bergerak sendiri."
Tepat saat itu, Bu Siti muncul di ambang pintu, masih mengenakan baju tidur dan wajah yang masih mengantuk. "Ada apa ini? Siapa yang bermain piano pagi-pagi beg..."
Kata-katanya terhenti ketika ia melihat Rani duduk di depan piano. Matanya melebar, campuran antara terkejut dan bingung. "Adinda? Kamu yang bermain piano tadi?"
Rani mengangguk pelan, masih terlihat bingung. "Iya, Bu. Tapi aku tidak tahu bagaimana aku bisa melakukannya."
Bu Siti berjalan mendekat, duduk di kursi terdekat. "Tapi... tapi kamu tidak pernah bisa bermain piano sebelumnya. Kamu selalu menolak ketika ibu menyuruhmu belajar piano dulu."
Dimas dan Bu Siti bertukar pandang, sama-sama tidak mengerti situasi ini. Rani hanya bisa menatap kedua orang di hadapannya dengan bingung.
"Mungkin," Dimas memulai dengan hati-hati, "ini ada hubungannya dengan kondisimu, Adinda. Mungkin ada bagian dari ingatanmu yang mulai muncul, tapi dalam bentuk yang berbeda."
Bu Siti mengangguk setuju. "Benar. Adinda sayang, bisakah kamu memainkannya lagi? Ibu ingin mendengarnya."
Rani ragu-ragu sejenak, namun kemudian meletakkan jari-jarinya kembali di atas tuts piano. Perlahan, ia mulai memainkan lagu yang sama. Kali ini, melodi itu mengalun lebih lancar, seolah Rani sudah memainkannya ribuan kali.
Air mata mulai mengalir di pipi Bu Siti saat ia mendengarkan permainan piano putrinya. Ada rasa haru, bangga, sekaligus sedih yang bercampur menjadi satu. Dimas merangkul bahu Rani, memberikan dukungan tanpa kata.
Ketika lagu berakhir, ruangan itu dipenuhi keheningan yang penuh makna. Rani menatap kedua tangannya dengan takjub, seolah baru menyadari kemampuan yang dimilikinya.
"Itu... itu indah sekali, Rani," ujar Bu Siti, suaranya bergetar karena emosi. "Tapi bagaimana bisa? Apa kamu ingat sesuatu?"
Rani menggeleng pelan. "Tidak, Bu. Aku tidak ingat pernah belajar piano. Tapi entah kenapa, rasanya sangat... familiar. Seperti tubuhku ingat sesuatu yang otakku lupakan."
Dimas mengangguk, teringat sesuatu yang pernah ia baca. "Aku pernah membaca tentang ini. Kadang, pada kasus amnesia atau dissosiasi, ingatan prosedural seperti kemampuan bermain alat musik, bisa tetap ada meski ingatan eksplisit hilang."
"Jadi," Bu Siti bertanya dengan hati-hati, "mungkinkah ini pertanda bahwa ingatan Adinda.,,, mulai kembali?"
Dimas mengangkat bahu. "Mungkin saja. Tapi kita tidak boleh terlalu berharap atau memaksa. Yang penting, ini kemajuan yang positif."
Rani tersenyum kecil, untuk pertama kalinya sejak kejadian ini, ia merasa ada secercah harapan. "Rasanya aneh," ujarnya pelan. "Seperti ada bagian dari diriku yang akhirnya bisa kusentuh, meski aku tidak tahu dari mana asalnya."
Bu Siti bangkit dari kursinya, menghampiri Rani dan memeluknya erat. "Tidak apa-apa, sayang. Kita akan melalui ini bersama-sama. Pelan-pelan saja."
Sepanjang hari itu, Rani kembali ke piano beberapa kali. Setiap kali, ia menemukan lagu baru yang bisa dimainkannya. Mozart, Beethoven, bahkan beberapa lagu pop modern. Setiap nada yang mengalun seolah membuka pintu-pintu memori yang selama ini terkunci.
Dimas dan Bu Siti mengamati dari jauh, memberikan Rani ruang untuk mengeksplorasi kemampuan barunya ini. Mereka berdiskusi pelan, membicarakan langkah selanjutnya yang harus diambil.
"Mungkin kita perlu membawanya ke terapis musik," usul Dimas. "Mungkin dengan musik, kita bisa membantu Rani mengakses ingatannya yang terkubur."
Bu Siti mengangguk setuju. "Ya, itu ide bagus. Tapi kita juga harus hati-hati. Jangan sampai kita memaksanya terlalu keras."