NovelToon NovelToon
Pengawal Yang Bunuh Ayahku

Pengawal Yang Bunuh Ayahku

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Yatim Piatu / Action / Cinta Terlarang / Mafia / Romansa / Balas Dendam
Popularitas:100
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

"Tujuh tahun aku hidup di neraka jalanan, menjadi pembunuh, hanya untuk satu tujuan: membunuh Adipati Guntur yang membantai keluargaku. Aku berhasil. Lalu aku bertaubat, ganti identitas, mencoba hidup normal.
Takdir mempertemukanku dengan Chelsea—wanita yang mengajariku arti cinta setelah 7 tahun kegelapan.
Tapi tepat sebelum pernikahan kami, kebenaran terungkap:
Chelsea adalah putri kandung pria yang aku bunuh.
Aku adalah pembunuh ayahnya.
Cinta kami dibangun di atas darah.
Dan sekarang... kami harus memilih: melupakan atau menghancurkan satu sama lain."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 3: MALAM PEMBANTAIAN - BAGIAN 2

Alex mendengar ibunya diseret.

Suara kaki Clara menyapu lantai—ia tidak bisa berjalan, mereka menyeretnya seperti karung. Tangisnya memenuhi rumah, tangis penuh ketakutan yang membuat dada Alex terasa seperti dirobek dari dalam.

"Tidak... kumohon... tidak... anak-anakku... kumohon..." Suara Clara pecah, hancur, putus asa.

"CLARA!" Jonathan berteriak, suaranya sudah serak, penuh darah. "LEPASKAN DIA! AKU MOHON SEBAGAI SESAMA MANUSIA! LEPASKAN DIA!"

Tawa. Tawa yang mengerikan bergema di ruang tamu.

"Sesama manusia?" Pemimpin kelompok itu berbicara dengan nada mengejek. "Kau yang membuat kami jadi seperti ini, Jonathan. Kau yang ingin menghancurkan hidup kami. Sekarang kami akan menghancurkan hidupmu."

Alex mengintip dari celah sempit lemari. Pandangannya terbatas, tapi ia bisa melihat sebagian ruang tamu. Ibunya dilempar ke lantai. Tubuhnya bergetar hebat. Rambutnya yang biasa rapi sekarang berantakan, baju tidurnya robek.

"Papa... tolong..." Elena masih menangis di kamarnya, suaranya semakin lemah karena ketakutan.

Lima pria berdiri mengelilingi Clara.

Jonathan dipaksa duduk di sofa rusak mereka, kedua tangannya yang semua jarinya sudah patah diikat di belakang. Dua pria memegangi tubuhnya, memaksa kepalanya menghadap ke arah Clara. Salah satu dari mereka memasang kamera di tripod, mengarahkannya ke ruang tamu.

"Tidak..." Jonathan berbisik, air mata mengalir dari matanya. "Tidak... kumohon... jangan lakukan ini... bunuh aku... aku mohon bunuh aku sekarang..."

"Oh, kau akan mati, Jonathan," jawab sang pemimpin sambil menyalakan kamera. "Tapi tidak sekarang. Kau akan menonton dulu. Kau akan mengingat ini sampai detik terakhir hidupmu."

Clara menatap suaminya. Matanya merah, penuh air mata. "Jonathan... aku mencintaimu..." bisiknya. "Maafkan aku... maafkan aku tidak bisa jadi istri yang lebih baik..."

"JANGAN BICARA SEPERTI ITU!" Jonathan menjerit, tubuhnya berguncang mencoba melepaskan diri, tapi sia-sia. "CLARA! CLARA AKU MENCINTAIMU! AKU—"

Salah satu pria menampar mulut Jonathan dengan keras. "Diam dan tonton."

Alex melihat semuanya dari celah lemari. Tangannya menutup mulut dengan erat, menahan isak tangis yang ingin meledak. Tubuhnya bergetar tak terkendali. Ia ingin keluar, ingin berlari menyelamatkan ibunya, tapi kakinya tidak bisa bergerak. Ketakutan melumpuhkannya sepenuhnya.

Aku pengecut. Aku pengecut. Aku pengecut.

Kata-kata itu berputar di kepalanya.

Pria pertama mendekati Clara.

"Tidak... kumohon... jangan..." Clara mencoba merangkak menjauh, tapi pria lain menahan kakinya.

Lalu dimulai.

Alex memejamkan mata erat-erat, tapi telinganya tidak bisa ditutup.

Ia mendengar suara baju yang dirobek.

Mendengar tangis ibunya yang berubah jadi jeritan.

Mendengar suara kasar, suara benturan, suara yang tidak seharusnya ia dengar.

"HENTIKAN! HENTIKAN!" Jonathan berteriak sampai suaranya hilang. "BUNUH AKU! AKU MOHON BUNUH AKU SEKARANG!"

Tapi mereka tidak menghentikan.

Satu orang selesai memperkos*. Yang kedua mengambil giliran. Lalu yang ketiga. Keempat. Kelima.

Clara tidak lagi menjerit. Ia hanya menangis—tangis lemah, seperti orang yang sudah kehilangan jiwa.

Lima belas menit yang terasa seperti lima belas tahun.

Alex di dalam lemari menggigit tangannya sendiri sampai berdarah. Darah mengalir di dagunya, tapi ia tidak merasakan sakit. Semua sakit fisik tidak ada apa-apanya dibanding sakit yang ia rasakan di hatinya.

Mama...

Ia ingin berteriak. Ia ingin keluar. Ia ingin membunuh mereka semua.

Tapi ia hanya lima belas tahun. Ia hanya anak-anak yang ketakutan, yang tidak bisa berbuat apa-apa.

Setelah pria kelima selesai, Clara terbaring di lantai. Tubuhnya penuh luka, darah mengalir dari berbagai tempat. Nafasnya pendek-pendek. Ia menatap suaminya dengan mata yang hampir kosong.

"Jonathan..." suaranya hampir tidak terdengar. "Jaga... jaga anak-anak kita..."

"CLARA!" Jonathan menangis dengan seluruh jiwanya. "CLARA BERTAHAN! KUMOHON BERTAHAN!"

Pemimpin kelompok itu mengambil jerigen dari salah satu anak buahnya. Ia membuka tutupnya. Bau bensin menyebar ke seluruh rumah.

"Tidak..." Jonathan membeku. "Tidak... tidak... TIDAK!"

"Kau tahu, Jonathan," kata pria itu sambil berjalan mengelilingi Clara, menuangkan bensin ke seluruh tubuhnya, "Adipati Guntur bilang harus perlahan. Harus menyakitkan. Harus membekas."

"AKU AKAN MEMBUNUHMU!" Jonathan berteriak dengan seluruh jiwa yang tersisa. "AKU BERSUMPAH! JIKA ADA KEHIDUPAN SETELAH INI, AKU AKAN MEMBURU KALIAN SEMUA! AKU AKAN MEMBUNUH ADIPATI GUNTUR! AKU AKAN—"

"Kau tidak akan berbuat apa-apa," potong pria itu dingin. "Karena kau akan mati malam ini."

Ia menyalakan korek api.

Api kecil itu menyala di tangannya, bergetar tertiup angin dari jendela yang pecah.

Clara menatap api itu. Lalu menatap suaminya. Lalu menatap ke arah kamar Elena—seolah ia tahu anak-anaknya ada di sana.

"Aku... mencintai... kalian..." bisiknya.

Korek api itu dilempar.

Api menyambar tubuh Clara seketika.

WHOOSH!

Jeritan.

Jeritan yang tidak akan pernah bisa dilupakan Alex seumur hidupnya.

Jeritan ibunya yang terbakar hidup-hidup.

"CLARAAAAAA!" Jonathan berteriak, tubuhnya menyentak dengan brutal mencoba melepaskan diri. Pergelangan tangannya berdarah karena terikat terlalu erat, tapi ia tidak peduli. "CLARA! TUHAN! ADA APA DI SANA?! HENTIKAN INI! KUMOHON HENTIKAN INI!"

Clara berguling-guling di lantai, tubuhnya diselimuti api. Tangannya meraih-raih udara, mencari pertolongan yang tidak akan datang. Rambutnya yang indah terbakar, kulitnya meleleh, dagingnya hangus.

Tiga puluh detik. Satu menit. Dua menit.

Jeritan itu terus berlanjut. Semakin lama semakin lemah. Semakin serak. Sampai akhirnya...

Hening.

Clara tidak bergerak lagi.

Tubuhnya masih terbakar, tapi ia sudah tidak berteriak.

Bau daging terbakar memenuhi rumah. Bau yang akan terus menempel di ingatan Alex selamanya.

Alex di dalam lemari muntah. Cairan muntahnya keluar tak terkendali, tapi ia menahan suaranya. Tubuhnya bergetar hebat, keringat dingin membasahi seluruh badannya. Matanya terbuka lebar, menatap celah lemari, melihat tubuh hangus ibunya.

Itu bukan Mama... itu bukan Mama... itu tidak mungkin Mama...

Tapi itu ibunya.

Wanita yang melahirkannya. Yang merawatnya. Yang menyanyikan lagu untuknya setiap malam. Yang memeluknya saat ia sakit. Yang tersenyum padanya setiap pagi.

Sekarang hanya seonggok daging hangus di lantai.

"Clara..." Jonathan menangis. Tangisannya sudah tidak bersuara. Hanya air mata yang terus mengalir. Tubuhnya lemas, seolah jiwa sudah meninggalkan raganya. "Clara... maafkan aku... maafkan aku..."

Pemimpin kelompok itu mematikan kamera. "Bagus. Rekaman yang sempurna. Adipati Guntur akan senang."

Ia berbalik menatap Jonathan. "Satu lagi. Lalu kita selesai."

Jonathan mengangkat kepalanya perlahan. Matanya kosong, sudah tidak ada kehidupan di sana.

"Elena..." bisiknya. "Kumohon... jangan Elena... dia masih anak-anak... dia tidak tahu apa-apa... ambil nyawaku sebagai gantinya... kumohon... aku mohon sebagai ayah... aku mohon sebagai manusia..."

Tapi permohonan itu jatuh ke telinga yang tuli.

Dua pria berjalan ke kamar Elena.

Dan Alex mendengar suara yang akan menghantuinya selamanya:

"KAKAK ALEX! KAKAK ALEX TOLONG! TOLOOOOONG!"

Suara adiknya.

Suara Elena yang ketakutan, yang memanggilnya, yang meminta tolong.

Dan ia tidak berbuat apa-apa.

Ia hanya diam di dalam lemari, menangis dalam kegelapan, membiarkan adiknya diseret keluar.

Pengecut.

Pembiarkan.

Anak yang tidak berguna.

Kata-kata itu akan terus menghantuinya.

Selamanya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!