Lima mahasiswa mendaki Gunung Arunika untuk hiburan sebelum skripsi. Awalnya biasa—canda, foto, rasa lelah. Sampai mereka sadar gunung itu tidak sendirian.
Ada langkah ke-enam yang selalu mengikuti rombongan.
Bukan terlihat, tapi terdengar.
Dan makin lama, makin dekat.
Satu per satu keanehan muncul: papan arah yang muncul dua kali, kabut yang menahan waktu, jejak kaki yang tiba-tiba “ada” di tengah jejak mereka sendiri, serta sosok tinggi yang hanya muncul ketika ada yang menoleh.
Pendakian yang seharusnya menyenangkan berubah jadi perlombaan turun gunung… dengan harga yang harus dibayar.
Yang naik lima.
Yang turun… belum tentu lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irmann Nhh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13 UNIVERSE ARUNIKA— Daftar yang Tidak Pernah Ditutup
Setelah kejadian di basecamp, aku dan Sari sepakat untuk menjauh dulu dari Arunika sebelum mulai berpikir apa pun. Petugas tadi memberi kami kamar di bangunan kecil untuk pendaki yang ingin istirahat sebelum pulang.
Malam itu, kami duduk di kasur masing-masing. Dua kasur tipis, dua orang… dan satu ketakutan yang sama.
Sari memeluk lutut, suaranya lelah: “Kalau balik ke gunung tanpa persiapan, kita mati. Tapi kalau kita nggak balik sama sekali… kita juga mati pelan-pelan.”
Aku tidak bisa menyangkal.
Sejak turun dari gunung, hidupku memang seperti “dipinjam” sementara.
Masih hidup… tapi bukan hidup sepenuhnya.
Sari menatap aku, tiba-tiba serius. “Kita harus cari cara nutup pintu lu… tanpa buka pintu orang lain."
Aku mengangguk, meski sebenarnya saat itu aku belum mengerti bagaimana.
Jam dinding di kamar kami menunjukkan 00:32 saat Sari akhirnya tertidur. Aku sendiri belum bisa tidur. Rasanya dada sesak, seperti ada sesuatu yang duduk di atas hati.
Aku berdiri, ambil air minum dari dispenser di lorong.
Lorong itu panjang, sepi, lampunya kuning redup.
Ada cermin besar di ujung — mungkin untuk para pendaki cuci muka sebelum tidur.
Saat aku lewat cermin itu, aku refleks menatap pantulan.
Dan aku menegang.
Ada lima bayangan di belakangku.
Tidak jelas wajah, hanya siluet.
Tinggi, kurus, diam.
Aku nggak berani nengok.
Jadi aku jalan cepat kembali ke kamar.
Tapi sebelum masuk kamar, aku mendengar sesuatu dari ruangan lain — suara berulang, teratur.
Tap… Tap… Tap…
Langkah.
Enam langkah.
Aku tahu aku harus lari, masuk kamar, kunci pintu.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya — aku mematung.
Langkah itu berhenti tepat di belakangku, sangat dekat.
Tidak ada napas.
Tidak ada bayangan.
Hanya suara — pelan, tepat di telinga kiri:
“Kalau kamu takut kehilangan… kamu hanya perlu membiarkan seseorang menggantikan kamu.”
Tenggorokanku seperti terkunci.
Aku tahu itu bukan suara manusia.
Tapi ada sesuatu yang jauh lebih menakutkan dari suara itu.
Yang menakutkan adalah… bagaimana dia tahu isi kepalaku.
Aku langsung masuk kamar dan kunci pintu.
Sekitar dua jam kemudian, aku terbangun — kali ini bukan karena mimpi.
Karena aku dengar suara pintu kamar terbuka pelan.
Aku reflek duduk.
Tapi pintu ternyata masih terkunci.
Sari juga terbangun. “Ka, lu ngapain?”
“Aku nggak ngapain.”
Kami saling pandang — keduanya sadar suara itu memang nyata.
Tiba-tiba TV kecil di kamar menyala sendiri.
Salurannya bukan siaran biasa — tapi rekaman CCTV dari pos basecamp.
Tanggalnya 27 September, jam tampak 19:57.
Dan dalam rekaman itu, terlihat:
lima pendaki berjalan melewati gerbang
Dimas
aku
Sari
Arif
Lintang
Semuanya lengkap.
Tapi ada satu hal aneh:
di baris belakang rekaman, di lama-lama ada siluet ke-enam ikut berjalan bersama kami…
bayangannya gelap, kepalanya menunduk.
Seolah… dari awal, dia memang ikut naik.
Sari menutup mulutnya. “Ka… dia udah ikut dari bawah… dari basecamp. Bukan baru di tengah jalur.”
Aku gemetar.
Jika sosok itu sudah ikut sejak awal, berarti tujuan pendakian ini bukan kebetulan.
Sesuatu memilih kami sebelum kaki kami menginjak hutan.
Aku maju pelan ke dekat TV — bukan karena berani — tapi karena terpaksa.
Dan tiba-tiba angka jam di pojok rekaman mulai berkedip — 19:57 19:57 19:57
Lalu muncul visual terakhir sebelum TV mati:
Siluet keenam mendongak.
Dan wajahnya…
adalah RARIKAN DIRI RAKA.
bukan hantu, bukan sosok asing —
cuma wajahku sendiri… tapi kosong, tanpa ekspresi, tanpa jiwa.
Sari langsung menarik aku mundur.
“Aku tahu apa ini,” suaranya pecah. “Gunung bukan mau bunuh lu… gunung mau ngambil ‘lu yang di dalam’ sampai cuma badan lu yang turun.”
Aku mau menyangkal, tapi tubuhku gemetar terlalu keras.
Sari memegang pundakku erat. “Dengar ya. Gue nggak akan biarin lu hilang. Gue nggak akan biarin lu kosong.”
Tapi sesuatu yang jauh lebih gelap masuk ke kepalaku waktu itu.
Kalimat yang seharusnya tidak pernah aku dengar:
“Untuk menutup pintu milikmu, kamu cuma perlu membiarkan pintu orang lain terbuka.”
Masuk begitu saja — seperti seseorang menyusupkan pikiran ke otakku.
Dan aku sadar —
ketakutanku bukan cuma kehilangan orang lain.
Ketakutanku yang lebih parah adalah: kehilangan diriku sendiri.
Dan gunung tahu itu.
Tengah malam itu, aku akhirnya tidur — bukan karena ngantuk, tapi karena pingsan secara emosional.
Saat terbangun, kamar gelap. Sari masih tidur.
Jam HP menunjukkan 06:12 pagi.
Tapi ada sesuatu di sampingku di atas kasur:
Gelang biru.
Dan kini ada nama keempat terukir.
Nama itu bukan nama gunung.
Bukan nama Dimas.
Bukan nama Lintang.
Bukan namaku.
Nama itu adalah:
> SARI
Dadaku sakit — bukan karena takut…
tapi karena aku mengerti apa maksud gunung.
Daftar itu tidak sekadar mencatat siapa yang pernah hilang.
Daftar itu mencatat urutan.
Dan sekarang urutannya adalah:
DIMAS
LINTANG
RAKA
SARI
?
Sari membuka mata dan melihat gelang di tanganku.
“Kita nggak punya waktu banyak,” katanya dengan suara hampir patah.
Aku mengangguk, dan perlahan-lahan menyadari kebenaran yang paling kejam:
Kalau kami terlambat, namaku atau nama Sari — salah satu dari kami — akan menghilang untuk selamanya.
Dan entah kenapa…
kurasa nama yang kosong di baris kelima… sudah menunggu seseorang.
Seseorang yang bahkan belum tahu hidupnya sudah terhubung dengan kami.
Seseorang yang mungkin sangat dekat.
Entah sahabat lama.
Entah keluarga.
Entah orang yang kami sayangi.
Gunung sudah memilih.
Dan kami hanya belum tahu siapa yang sudah masuk daftar.
pintu tertutup terbuka aja
lama banget horonrnya datang
geram sekali sama mereka main kabur aja
terasa banget horor nya.
aku suka horor