NovelToon NovelToon
Fragmen Yang Tertinggal

Fragmen Yang Tertinggal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Romansa / Enemy to Lovers / Cintapertama / Cinta Murni / Berbaikan
Popularitas:27
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

​Di antara debu masa lalu dan dinginnya Jakarta, ada satu bangunan yang paling sulit direnovasi: Hati yang pernah patah.
​Lima tahun lalu, Kaluna Ayunindya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya: meninggalkan Bara Adhitama—pria yang memujanya—dan cincin janji mereka di atas meja nakas tanpa sepatah kata pun penjelasan. Ia lari ke London, membawa rasa bersalah karena merasa tak pantas bersanding dengan pewaris tunggal Adhitama Group.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5: Kotak Pandora Besi

​Langit di luar jendela sudah gelap sempurna ketika Kaluna menekan tombol down di depan lift eksekutif. Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Kantor sudah sepi, hanya menyisakan petugas keamanan di lobi dan beberapa workaholic yang lupa pulang.

​Setelah insiden dengan Ibu Ratna siang tadi, Kaluna menghabiskan sisa harinya dengan mengurung diri di ruang arsip proyek, berpura-pura sibuk mengecek blueprint hanya untuk menghindari wajah siapa pun. Matanya masih bengkak sisa menangis diam-diam.

​Ting.

​Pintu lift terbuka. Kaluna melangkah masuk, berharap bisa turun ke lobi dan segera memesan taksi online tanpa bertemu siapa-siapa.

​Namun, nasib berkata lain.

​Saat pintu lift hampir tertutup, sebuah tangan kekar menahannya. Sensor pintu mendeteksi halangan dan kembali terbuka lebar.

​Bara Adhitama berdiri di sana. Jasnya sudah dilepas, menyisakan kemeja putih yang kancing teratasnya dibuka longgar dan dasi yang sudah ditarik miring. Wajahnya tampak lelah, namun aura dominasinya tidak berkurang sedikit pun.

​Mata mereka bertemu. Ada jeda canggung yang menyakitkan.

​"Saya bisa tunggu lift berikutnya," ucap Kaluna cepat, hendak melangkah keluar.

​"Masuk," perintah Bara singkat, berjalan masuk ke dalam lift tanpa menatap Kaluna lagi. Ia menekan tombol Close dengan tegas. "Saya tidak menggaji kamu untuk membuang waktu menunggu lift kosong."

​Kaluna mundur ke sudut terjauh lift, memeluk tas kerjanya di depan dada seperti perisai. Pintu besi itu tertutup rapat, mengurung mereka dalam kotak kedap suara yang bergerak turun.

​Keheningan di antara mereka terasa berat, seolah udara dipenuhi oleh kata-kata yang tidak terucap. Aroma parfum Bara mendominasi ruang sempit itu, membuat kepala Kaluna pening karena teringat masa lalu.

​Lantai 35... 30... 25...

​Tiba-tiba, lampu lift berkedip sekali. Lalu mati.

​DUNG!

​Lift tersentak hebat, membuat tubuh Kaluna terhuyung ke depan. Refleks, Bara menangkap lengan Kaluna agar tidak jatuh.

​Hening. Mesin lift mati total. Kegelapan menyelimuti mereka, hanya diselingi oleh cahaya merah redup dari lampu darurat yang berkedip lemah di sudut atas.

​"Apa... apa yang terjadi?" suara Kaluna bergetar.

​"Listrik mati. Atau sistemnya error," jawab Bara tenang, meski tangannya segera menekan tombol Emergency Call. Tidak ada jawaban. Hanya suara statis. "Sial. Interkomnya mati."

​Kaluna mulai merasakan dingin merambat di ujung jari-jarinya. Napasnya mulai pendek. Ruang lift yang luas bagi dua orang itu tiba-tiba terasa menyempit, menghimpit dadanya.

​Dinding-dinding besi itu seolah bergerak mendekat.

​"Bar..." panggil Kaluna lirih. Tangannya mencengkeram lengan kemeja Bara tanpa sadar. "Panas. Kenapa... kenapa udaranya habis?"

​Bara menoleh, mencoba melihat wajah Kaluna dalam remang cahaya merah. Ia merasakan tangan wanita itu gemetar hebat dan dingin seperti es.

​Bara tersadar. Claustrophobia. Kaluna punya trauma ruang sempit tertutup sejak dia terkunci di gudang sekolah saat SD. Bara ingat itu. Bara ingat bagaimana dulu dia harus memeluk Kaluna erat-erat saat mereka terjebak macet di terowongan Casablanca.

​"Kaluna," suara Bara berubah. Ketajaman dan sinismenya lenyap, digantikan oleh nada waspada. "Tarik napas. Inhale. Exhale."

​"Nggak bisa... nggak bisa napas..." Kaluna mulai hiperventilasi. Kakinya lemas, merosot ke lantai lift. Rasa panik mencekik lehernya. Gelap. Sempit. Dia merasa akan mati.

​Bara ikut berlutut di hadapannya. Ia melempar tas kerjanya ke sembarang arah.

​"Hei, lihat aku. Kaluna, lihat aku!" Bara menangkup wajah Kaluna dengan kedua tangannya yang hangat, memaksa Kaluna mendongak menatap matanya.

​Dalam cahaya merah yang remang, mata Bara adalah satu-satunya jangkar bagi kewarasan Kaluna.

​"Ikuti aku," perintah Bara tegas tapi lembut. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Satu... dua... tiga... embuskan. Ayo, Lun. Kamu bisa."

​Kaluna menggeleng panik, air mata mulai mengalir. "Takut... buka pintunya, Bar... tolong buka..."

​"Aku di sini. Pintunya nggak akan menjepitmu. Aku di sini," bisik Bara.

​Melihat Kaluna yang semakin histeris, Bara tidak punya pilihan lain. Ia menarik tubuh gemetar itu ke dalam pelukannya. Ia membenamkan wajah Kaluna di ceruk lehernya, melingkarkan lengan kokohnya membungkus tubuh kecil itu sepenuhnya.

​"Sshhh... I got you. I got you," gumam Bara sambil mengusap punggung Kaluna naik turun dengan ritme teratur.

​Aroma tubuh Bara—aroma maskulin yang familiar—perlahan menembus kabut panik Kaluna. Detak jantung Bara yang kuat dan stabil di telinganya perlahan menjadi irama yang menenangkan.

​Beberapa menit berlalu dalam posisi itu. Hanya ada suara isak tangis Kaluna yang mereda dan napas mereka yang bersahutan.

​Ketika napas Kaluna mulai teratur, ia baru menyadari posisinya. Dia sedang duduk di lantai lift kotor, dalam pelukan CEO yang seharusnya menjadi musuhnya.

​Kaluna hendak melepaskan diri, tapi Bara menahannya. Tidak erat, tapi cukup untuk memberi isyarat agar jangan bergerak dulu.

​"Sudah tenang?" tanya Bara pelan.

​Kaluna mengangguk di dada Bara, lalu perlahan mundur. Jarak wajah mereka kini hanya sejengkal. Dalam keremangan, Kaluna bisa melihat rahang Bara yang mengeras dan tatapan matanya yang intens.

​"Terima kasih," bisik Kaluna serak.

​Bara tidak menjawab. Ia tidak melepaskan tatapannya. Tangannya masih bertengger di bahu Kaluna.

​"Kenapa kau tidak bilang?" tanya Bara tiba-tiba, suaranya rendah dan parau.

​"Bilang soal apa? Phobia-ku? Aku pikir kamu sudah lupa—"

​"Soal uang itu," potong Bara.

​Kaluna terdiam. Topik itu lagi.

​Bara menghela napas kasar, menyandarkan punggungnya ke dinding lift, meluruskan kakinya di sebelah Kaluna. "Tadi siang... saat Mama bilang kau menerima uang itu. Aku tahu dia bohong."

​Mata Kaluna membelalak. "Kamu... tahu?"

​"Aku memeriksa rekeningmu setelah kau pergi. Kosong. Kau bahkan menjual laptopmu untuk beli tiket pesawat," ucap Bara pahit. Ia menoleh menatap Kaluna. "Aku tahu kau tidak mata duitan, Kaluna. Aku tahu itu."

​"Lalu... kenapa kau diam saja tadi? Kenapa kau membiarkan Ibumu menghinaku?" tuntut Kaluna, emosinya mulai tersulut kembali menggantikan rasa takutnya.

​"Karena aku marah!" seru Bara, suaranya memantul di dinding besi. "Aku marah karena kau memilih diam! Kau memilih pergi tanpa memberitahuku bahwa Ibuku mengancammu! Kau pikir aku apa? Kau pikir aku selemah itu sampai tidak bisa melindungimu dari Ibuku sendiri?"

​"Kamu tidak mengerti, Bara!" Kaluna membalas dengan nada tinggi. "Ibumu tidak cuma mengancamku! Dia mengancam kamu! Dia bilang kalau aku tetap bersamamu, dia akan mencabut hak warismu. Dia akan memastikan kamu tidak punya apa-apa! Aku tidak mau jadi alasan kamu kehilangan segalanya!"

​"Persetan dengan warisan!" bentak Bara. Ia mencengkeram bahu Kaluna lagi, kali ini lebih kuat. "Kau pikir aku peduli dengan gedung ini? Dengan uang ini? Aku membangun semua ini sendiri setelah kau pergi hanya untuk membuktikan bahwa aku bisa hidup tanpamu. Tapi nyatanya? Kosong, Kaluna. Semuanya kosong."

​Kaluna tertegun. Napasnya tertahan. Pengakuan itu meluncur begitu saja dari mulut Bara, mentah dan jujur.

​"Kau memutuskan segalanya sendiri," lanjut Bara, suaranya merendah, terdengar putus asa. "Kau mengambil hakku untuk memilih. Kau meninggalkanku 'demi kebaikanku' tanpa bertanya apa yang sebenarnya aku butuhkan. Itu bukan pengorbanan, Kaluna. Itu arogansi."

​Air mata Kaluna kembali jatuh. Kebenaran ucapan Bara menamparnya. Selama ini dia merasa menjadi martir, menjadi pahlawan yang berkorban. Tapi bagi Bara, dia hanyalah pengkhianat yang menyerah di tengah jalan.

​"Maaf..." isak Kaluna. "Aku... aku saat itu masih 22 tahun, Bar. Aku takut. Aku sendirian melawan Ibumu..."

​Ekspresi Bara melunak melihat air mata itu. Kemarahannya surut, digantikan oleh kerinduan yang menyakitkan. Perlahan, ia mengangkat tangannya, menghapus air mata di pipi Kaluna dengan ibu jarinya. Sentuhan itu kasar karena kapalan, tapi gerakannya begitu lembut.

​"Dan sekarang?" bisik Bara, wajahnya mendekat. "Sekarang kau sudah bukan gadis 22 tahun yang takut. Apa kau masih akan lari?"

​Jarak di antara mereka menipis. Kaluna bisa merasakan hembusan napas hangat Bara di bibirnya. Atmosfer di dalam kotak besi itu berubah dari ketegangan amarah menjadi ketegangan hasrat yang tertahan selama lima tahun.

​Kaluna terpaku, menatap bibir Bara. Otaknya berteriak untuk mundur, tapi hatinya berteriak untuk maju.

​"Bara..." desah Kaluna.

​Bara memiringkan kepalanya sedikit, matanya terpejam seolah sedang berperang dengan dirinya sendiri. Dia ingin menciumnya. Demi Tuhan, dia ingin sekali mencium wanita yang telah menghancurkannya ini.

​TING!

​Suara denting nyaring memecah momen magis itu. Lampu lift menyala terang benderang, menyilaukan mata mereka.

​Mesin kembali berdengung. Lift bergerak turun dengan mulus.

​Bara dan Kaluna tersentak menjauh seolah tersengat listrik. Mereka buru-buru berdiri, merapikan pakaian yang kusut dengan canggung.

​Pintu lift terbuka di lantai lobi.

​Cahaya terang lobi menyambut mereka. Petugas keamanan yang melihat mereka tampak terkejut.

​"Pak Bara? Bu Kaluna? Maaf, tadi sistem sempat down lima menit. Bapak baik-baik saja?"

​Bara berdeham, memasang kembali topeng dinginnya dalam sekejap mata, meski telinganya masih merah padam.

​"Saya baik-baik saja. Pastikan teknisi memeriksa inverter lift malam ini juga. Saya tidak mau kejadian ini terulang," perintah Bara tegas tanpa menoleh ke arah Kaluna.

​Ia melangkah keluar lift dengan langkah lebar, menuju mobilnya yang sudah menunggu di depan lobi.

​Kaluna tertinggal di belakang, masih berdiri di dalam lift yang kini terbuka. Lututnya masih gemetar. Jantungnya berpacu liar.

​Bukan karena claustrophobia-nya. Tapi karena apa yang baru saja terjadi.

​Bara tahu kebenarannya. Bara masih peduli. Dan yang paling berbahaya... Bara hampir menciumnya.

​Perang dingin di antara mereka baru saja berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih rumit. Dinding kebencian itu mulai retak, dan Kaluna tidak tahu apakah dia siap menghadapi banjir perasaan yang akan datang setelahnya.

BERSAMBUNG...

Terima kasih telah membaca💞

Jangan lupa bantu like komen dan share❣️

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!