Menyaksikan genosida jutaan manusia tak berdosa langsung di depan mata, membuat Arya terluka dan mendendam parah kepada orang-orang Negeri Lembah Merah.
Entah bagaimana, Arya selamat dari pengepungan maut senja itu. Sosok misterius muncul dan membawanya pergi dalam sekejap mata. Ia adalah Agen Pelindung Negeri Laut Pasir dan seorang dokter, bernama Kama, yang memiliki kemampuan berteleportasi.
Arya bertemu Presiden Negeri Laut Pasir, Dirah Mahalini, yang memintanya untuk menjadi salah satu Agen Pelindung negerinya, dengan misi melindungi gadis berusia tujuh belas tahun yang bernama Puri Agung. Dirah yang bisa melihat masa depan, mengatakan bahwa Puri adalah pasangan sejati Arya, dan ia memiliki kekuatan melihat masa lalu. Puri mampu menggenggam kebenaran. Ia akan menjadi target utama Negeri Lembah Merah yang ingin menguasai dunia.
Diramalkan sebagai Ksatria Penyelamat Bima dan memiliki kemampuan membaca pikiran, mampukah Arya memenuhi takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mirabella Randy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PETUNJUK PRESIDEN
Kamu yakin tidak butuh bantuanku?
Pesan baru dari Dirah muncul di ponselku saat aku melangkah limbung di lorong Istana yang sunyi. Aku mengerutkan alis. Wanita ini pasti mengetahui apa yang terjadi. Bisa jadi dia sudah melihatnya dalam visinya.
Jika dia tahu semua ini akan terjadi, mengapa dia membiarkannya? Mengapa dia melepaskan Puri begitu saja dari perlindunganku? Mengapa dia mengizinkan Randu memilih orang seperti Gayatri untuk menjaga Puri?
Apa-apaan wanita ini?
Aku berlari dengan amarah membuncah menuju Kantor Presiden yang terletak di bagian selatan Gedung Utama. Jaraknya lumayan jauh dari kantor Randu yang terletak di ujung timur, karena Gedung Utama ini luasnya saja sebesar empat kali lapangan bola, dengan struktur interior banyak lorong, ruangan, pintu dan dinding berlapis, hampir seperti labirin. Sengaja dibuat seperti itu untuk mempersulit gerakan musuh yang hendak menyusup atau menyerang.
Kantor Presiden sendiri letaknya tersembunyi. Aku belum pernah ke tempat itu, tapi aku sudah pernah mempelajari denah Istana Negara ini yang tersimpan di server internal Agen. Dan aku tahu persis lokasi dan cara mengaksesnya.
Aku sampai di sebuah lorong sangat besar dan panjang berhiaskan banyak lukisan, relief, dan patung zirah raksasa. Ada pula patung yang menggambarkan mitologi dewa dewi kuno, terbuat dari logam berlapis cat emas dan perak. Lorong ini dikenal sebagai "Lorong Langit" karena memajang koleksi karya seni terinspirasi kisah-kisah penduduk langit dari legenda leluhur Negeri Laut Pasir di masa silam.
Aku menemukan patung dewi perak dengan rambut panjang menyentuh lantai, tubuh indahnya menjulang tinggi, parasnya begitu agung dan jelita. Kedua lengannya terlipat lembut di depan perutnya, dengan kedua telapak tangan menyatu dan tengadah, membawa sebutir buah berbentuk bulat sempurna dengan sulur-sulur perak indah berhias kuntum bunga kecil-kecil.
Kuputar tombol di arloji perakku, mengaktifkan fitur akses khusus. Kuarahkan gelombang pindai yang memancar dari permukaan kaca bundar arloji tepat ke arah buah perak yang letaknya sejajar dengan dahiku itu.
Tiba-tiba patung dewi itu bergerak. Langkahnya cukup anggun saat menyingkir turun ke samping dari pedestal bundar bercat perak dengan banyak ukiran di tepiannya. Tangan kanannya bergerak menunjuk pedestal, dan terdengar suara lembut berkata, "Akses diizinkan. Silakan berdiri di atas pedestal."
Aku mengerjap. Patung-patung ini bukan karya seni biasa--mereka adalah robot-robot dengan fitur khusus dan canggih.
Aku melangkah dan berdiri di atas pijakan bundar yang cukup luas dan bisa menampung sekitar lima orang dewasa.
Ketika kakiku menapak ke atas pedestal, aku merasakan ada sesuatu seperti medan energi magnetik tak kasat mata yang mengunci kakiku di tempat. Aku membeku, tak bisa bergerak.
Pedestal itu bergerak turun seperti elevator, dan aku sampai di sebuah aula kecil berbentuk persegi. Aula itu seperti ruang tunggu yang nyaman, dengan sofa-sofa lebar dan empuk, layar televisi lebar, mini bar, dan rak-rak buku. Ada piano kecil terletak di sudut aula. Bahkan ada kolam air mancur kecil juga dengan patung-patung angsa di sisi utara aula, ikan-ikan mas kecil berenang lincah di dalamnya.
Ada sebuah pintu besar berlapis emas berukir di sisi selatan. Pintu itu dijaga empat Agen Pelindung bersenjata lengkap.
"Presiden sudah menunggumu," ujar salah satu Agen singkat. Ia mengusap permukaan pintu tanpa gagang itu dengan pola tertentu, dan pintu menggeser terbuka.
Masih ada satu lapis pintu lagi yang juga dijaga ketat empat Agen Pelindung bersenjata lengkap. Salah satu Agen membuka sistem pengaman tanpa banyak bicara, dan mempersilakanku masuk.
Kantor Presiden Negeri Laut Pasir merupakan ruangan sangat luas berbentuk bundar dengan dua lantai. Sepanjang dindingnya dipenuhi hiasan seperti patung-patung zirah perak dan emas, vas bunga kristal, pajangan porselen dengan lukisan dan ukiran cantik. Beberapa lilin aromaterapi menyala di tempat-tempat lilin emas di sejumlah sudut, menebarkan aroma lembut yang menenangkan. Bunga-bunga segar juga ditata di beberapa vas.
Yang menakjubkan, pilar dan lantai di ruangan ini terbuat dari kaca sangat tebal yang mengalirkan air di dalamnya, dan mengalunkan suara gemericik ke seluruh ruangan. Seakan ruangan ini dibangun di atas sungai kecil yang indah.
Dirah berdiri memunggungi kursi tinggi berukir bagai singgasana emas, yang terletak di belakang meja kayu lebar melengkung. Meja itu terbuat dari kayu jati bercat putih dan dilapisi ukiran emas, dan ada plakat mewah bertuliskan "Presiden Dirah Mahalini" menempel di atasnya.
Aku menatap tajam Dirah, yang sama sekali tidak menoleh. Pandangannya tengadah ke arah dinding kaca patri melengkung tinggi di depannya, yang menembus sampai ke puncak lantai dua. Dinding kaca itu berhias lukisan absurd namun menakjubkan--padang rumput, gunung, sungai, pohon-pohon melayang di udara. Dan beberapa manusia yang tampak menari di sekitar pohon, mengangkat aliran air di sungai dan api di kawah gunung, menggembala angsa dan kuda raksasa di padang rumput. Ada juga yang bermeditasi di atas batu, dan beberapa melayang di atas gulungan awan lembut bermandikan cahaya matahari.
Yang paling absurd, sebatang pohon bungkuk melengkung yang pernah kulihat dalam visi Dirah tumbuh menjulang di salah satu awan. Seorang ksatria mengacungkan panah dan busur berapinya ke pohon yang bercahaya itu, rambut ikal panjangnya berkibar.
Lukisan apa itu? batinku bingung.
"Mau anggur?"
Dirah akhirnya menoleh. Wajahnya sangat cantik, ekspresinya datar.
Aku mengerutkan alis.
"Aku mau bicara!" seruku marah.
Dirah tak terpengaruh. "Mau anggur?"
Aku bergeming, membelalak.
Dirah mendesah. Ia mengeluarkan ponsel dari kantong blazer hitamnya, menekan sesuatu.
Tiba-tiba salah satu patung zirah emas di dekat tangga melingkar bergerak. Patung itu luwes dan tenang menghampiri mini bar di bawah tangga. Patung itu mengambil sebotol anggur dari salah satu rak, membukanya, menuang isinya ke dua buah gelas anggur, meletakkannya di atas nampan kayu tebal, lalu mengantarnya ke Dirah.
"Terima kasih," Dirah tersenyum seraya mengambil segelas anggur. Padahal itu cuma robot.
Patung robot itu mengantar segelas anggur yang tersisa untukku. Aku mengambilnya tanpa berkata apa-apa.
"Kamu tidak mengucapkan terima kasih?"
Dirah menatapku tajam. Aku mengabaikannya. Tatapanku tertuju pada patung yang bergerak mengembalikan nampan di balik meja bar, lalu kembali ke posisinya semula, dan tak lagi bergerak.
"Kamu tidak menjawab pertanyaanku, tidak mengucapkan terima kasih... apa tata kramamu memang serendah ini? Haruskah aku mengajarimu dari hal sesederhana itu?"
Ucapan Dirah begitu pedas, meski ekspresi dan nada bicaranya tetap datar.
Aku melotot.
"Apa sebenarnya maksudmu?" teriakku murka. "Kau sendiri yang menyeretku dari medan perang, memperlihatkan visimu, membujukku datang ke sini untuk melindungi Puri. Tapi sekarang kau setuju Randu memecatku dari misi itu, membuangku seperti sampah tak berguna--"
"Kamu sendiri, kenapa bertingkah seperti itu?" Dirah menyesap anggurnya tenang, namun tatapan matanya berkilauan. "Kenapa kamu mencium Puri secara paksa? Apa kamu berhasrat ketika dekat dengan gadis secantik Puri?"
Gelas anggur di tanganku hancur berkeping-keping. Pecahannya melukai tanganku, dan sisa anggur tumpah menggenangi karpet.
"Bukan seperti itu!" bentakku. "Aku melakukannya untuk memecahkan konsentrasinya! Dia mengancam mau melihat semua masa laluku! Dia betul-betul harus diberi pelajaran!"
Dirah memutar bola matanya. Ekspresinya jengkel sekarang.
"Yang kurang ajar itu kamu," tegurnya dingin. "Kalau hanya untuk memecahkan konsentrasinya, masih banyak cara lain yang bisa kamu lakukan. Jika situasi tidak terkendali, kamu bisa memingsankannya dengan mudah hanya dengan menekan titik vital di lehernya. Tapi kamu malah melecehkannya. Itu tidak bisa dibenarkan. Kamu bisa saja dituntut secara hukum. Kamu sangat pantas dipecat."
Aku terdiam. Emosiku rasanya makin tidak karuan, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, pikiranku benar-benar buntu. Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan sekarang.
Rasanya sangat menyiksa dan menyedihkan. Mati terbunuh di medan pertempuran akan terasa jauh lebih baik dari ini.
Dirah mendesah. Ia maju, meletakkan gelas anggurnya di atas meja, lalu membuka salah satu laci. Ia mengambil sebuah kotak putih kecil yang berkilau tertimpa cahaya lampu.
Dengan anggun Dirah melangkah dan menghampiriku, tangannya yang bebas terulur hendak menyentuh tanganku yang berdarah.
"Sini, biar kuobati lukamu."
"Tidak usah!" aku hendak pergi dengan marah, tapi Dirah berhasil mencengkeram lenganku dan menahanku. Tidak kuduga, tenaganya sangat kuat. Aku membelalak, dan ia balas memandang dengan sorot pandang penuh api dan kekuatan yang tak pernah kulihat sebelumnya.
"Kamu jangan mempersulit keadaan," desis Dirah. "Aku memintamu bekerja sama untuk melawan Negeri Lembah Merah, memenangkan perang, dan mengungkap kebenaran. Semua itu untuk menyelamatkan jutaan nyawa yang tidak bersalah di masa depan. Kupikir kamu sudah paham arti tanggung jawab sebesar itu. Kupikir kamu jenius dan seorang ksatria sejati. Tapi kenapa sekarang kamu bertingkah tolol dan liar seperti anak jalanan begini? Berhentilah mempermalukan dirimu sendiri, Arya Balawa!"
Kata-kata Dirah benar-benar menohokku.
"Aku sudah pernah bilang padamu, kan? Jangan lari," Dirah menatapku tajam. "Jangan gegabah dan merasa bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Ini bukan hanya masalahmu sekarang. Kamu tidak akan bisa menyelesaikannya jika masih saja bersikap bodoh dan keras kepala. Sekarang, diam dan dengarkan aku."
Dirah seperti penyihir yang berhasil membekukanku dengan mantranya. Ia membimbingku untuk duduk di salah satu sofa dekat dinding, lalu duduk dengan anggun di sebelahku dan membuka kotak yang dibawanya. Isinya adalah peralatan medis dan obat-obatan untuk situasi darurat.
Ia meneliti luka di tanganku, lalu mengambil pinset dan dengan hati-hati mencabuti serpihan beling di tanganku.
Aku pernah mengalami luka lebih parah dari ini. Jujur aku hampir tidak merasakan apapun, entah karena kulit dan syarafku sudah kebal, atau emosi yang membeku dalam nadiku juga membuat inderaku kebas. Yang betul yang mana, aku tak peduli.
"Daripada terbenam dalam emosi, cobalah memandang segalanya lebih jernih dan fokus pada keuntungan sekecil apapun yang masih bisa kita ambil," kata Dirah sambil terus membersihkan tanganku dari serpihan gelas paling lembut sekalipun. "Kamu bukan lagi Agen Pelindung yang bertugas melindungi Puri. Tapi kamu masih calon suaminya. Jika kelak kalian bisa menghirup udara di luar lagi, kalian akan tetap bisa bersama, dan kamu tetap bisa melindunginya."
"Apa gunanya?" aku tertawa pendek dengan nada mengejek. "Puri sudah membenciku. Dia tak mau lagi bertemu denganku. Dia lebih memilih mati ketimbang melihatku lagi."
"Dia begitu karena trauma dan terluka akibat perbuatanmu, tapi dia tidak membencimu," sanggah Dirah. "Beri dia waktu agar lukanya bisa pulih dulu. Setelah hatinya lebih tenang, kamu bisa bicara dan minta maaf padanya. Bersikaplah tulus dan seperti ksatria sejati saat kamu melakukannya. Ia pasti memaafkanmu."
Aku mengerutkan alis. Dirah sudah selesai mencabut semua pecahan dan meletakkan pinsetnya.
"Bagaimana kau bisa seyakin itu? Karena kau melihatnya?"
"Ya," jawab Dirah, yang kini menyalakan senter kecil dengan sinar khusus berwarna biru untuk mensterilkan dan mempercepat pengeringan luka, lalu menyinari tanganku.
Aku memutar bola mata. Mana bisa aku percaya?
"Dan kalau visimu keliru?" tanyaku sinis.
"Terserah kamu mau percaya atau tidak. Tapi kamu tetap harus minta maaf dengan tulus padanya. Berikan apa yang dia inginkan. Dengan begitu, kamu bisa merebut kembali hatinya. Itu sangat masuk akal, kan?"
"Dia ingin perjodohan ini batal. Jadi itu yang harus kita berikan padanya sekarang?"
"Bukan seperti itu," Dirah menatapku kesal. Ia seperti seorang ibu yang gusar menghadapi anaknya yang tolol dan sulit memahami meski sudah puluhan kali diajari. "Puri sangat ingin tahu kebenaran. Baginya, kebenaran lebih penting daripada perjodohan kalian. Randu tak akan mengungkapkan apapun padanya. Itu akan membuatnya kecewa. Inilah kesempatan kita untuk merebut hatinya dan membuatnya mau bekerjasama untuk menyelamatkan masa depan."
"Kau ingin aku mengungkap semuanya pada Puri?" aku terperangah. "Kau ingin dia tahu bahwa dia akan diincar dan dibunuh? Bahwa dia akan melahirkan anak yang akan membangkitkan kekuatan magis penuh? Bahwa dia akan menjadi kunci keselamatan dunia, asal ia bisa menemukan semua kebenaran dari masa lalu, entah bagaimana caranya?"
"Kebenaran tak bisa ditutupi selamanya, Arya. Suatu saat, dia pasti akan mengetahuinya juga," kata Dirah tak sabar. "Aku hanya berusaha memberimu petunjuk bagaimana cara mengambil hatinya jika tiba saatnya kalian bertemu lagi, dan lukanya sudah tidak sedalam saat ini. Kamu bisa mulai dengan minta maaf dan katakan saja soal kemampuan magis ini, katakan tentang perang dan kehancuran yang berpotensi terjadi di masa depan, katakan kita semua membutuhkan kekuatannya untuk menyelamatkan kehidupan. Tak perlu memberitahunya secara detail, cukup gambaran besarnya saja. Itu akan membuat hati Puri tenang karena akhirnya ada yang sudi bicara jujur kepadanya. Jadilah orang yang bisa menenangkan hatinya. Dengan cara itu, kamu bisa memenangkan hatinya."
Aku terdiam. Sekali lagi, kata-kata Dirah sangat masuk akal.
"Jadi aku akan bertemu dengannya lagi...?" suaraku lirih, entah bagaimana seakan ada sesuatu dalam hatiku yang bangkit kembali, dan mengendus udara dengan penuh harap.
"Ya... tapi tidak dalam waktu dekat ini."
"Aku benar-benar akan ditahan di Istana? Sampai kapan?" gerutuku jengkel. Tanganku mulai terasa terbakar akibat efek sinar penyembuh, tapi aku sangat bisa menahannya.
"Sampai kamu bisa merebut kembali kepercayaan Randu," kata Dirah tenang.
Aku mengerutkan kening. "Bagaimana...?"
Dirah tersenyum lebar.
"Sekarang, maukah kamu mendengarkanku? Maukah kamu mengikuti semua petunjukku?"
...***...
udah pernah sblmnya 😍
🤣🤣🤣🤣
aku nomor 8/Smug/
aku juga mau cilok/Grievance/
sukorr genteng /Slight//Joyful/
antar sesama korban permainan bara🤣🤣🤣
🤣🤣🤣🤣
siang ini jgn buat aku haredang air mata /Sob/