Di TK Pertiwi Masaran, Bu Nadia, guru TK yang cantik dan sabar, mengajarkan anak-anak tentang warna dengan cara yang menyenangkan dan penuh kreativitas. Meskipun menghadapi berbagai tantangan seperti balon pecah dan anak yang sakit perut, Bu Nadia tetap menghadapi setiap situasi dengan senyuman dan kesabaran. Melalui pelajaran yang ceria dan kegiatan menggambar pelangi, Bu Nadia berhasil menciptakan suasana belajar yang penuh warna dan kebahagiaan. Cerita ini menggambarkan dedikasi dan kasih sayang Bu Nadia dalam mengajarkan dan merawat anak-anaknya, menjadikan setiap hari di kelas menjadi pengalaman yang berharga dan penuh makna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bu Nadia, Pak Arman, dan Getaran yang Mengganggu
Pagi itu, Bu Nadia sedang sibuk mengajar murid-muridnya di TK Pertiwi. Suasana kelas penuh keceriaan, dengan anak-anak kecil yang saling berceloteh, mewarnai gambar, dan sesekali tertawa riang. Bu Nadia yang cantik dan sabar, seperti biasa, berusaha menghadapi antusiasme anak-anak dengan senyuman manis. Namun, ada satu hal yang sedikit mengganggu konsentrasinya pagi ini, ponselnya di saku bajunya yang terus-menerus bergetar.
“Kenapa sih dari tadi HP ini getar terus?” pikir Bu Nadia sambil melirik sekilas ke saku bajunya. Ia tahu, ini pasti ulah Pak Arman lagi.
Sejak Pak Arman berhasil mendapatkan nomor WhatsAppnya, pria itu tak henti-hentinya mengirimkan pesan. Awalnya, Bu Nadia berpikir Pak Arman hanya ingin bertanya soal anaknya, Aldo. Namun, pesan-pesan yang ia terima mulai terasa aneh dan membuat Bu Nadia sedikit ilfil.
Ponselnya bergetar lagi. Kali ini, Bu Nadia terpaksa mengambilnya dan melihat apa yang dikirimkan Pak Arman. Matanya sedikit membelalak ketika membaca pesan terbaru dari wali murid yang gigih itu.
"Selamat pagi, Bu Nadia yang cantik. Udah sarapan belum? Kalau belum, nanti saya antar ya, hehe. Aldo juga udah siap buat sekolah nih."
Bu Nadia menarik napas panjang dan menahan tawa. "Aduh, Pak Arman ini gimana sih," gumamnya pelan. Ia menaruh ponselnya kembali ke saku, mencoba fokus lagi ke murid-muridnya.
Namun, baru beberapa menit kemudian, getaran itu kembali. Bu Nadia berusaha tetap tenang sambil membacakan cerita untuk anak-anak, tapi perasaan risih mulai muncul. Ia berusaha mengabaikannya, tapi getaran demi getaran terus datang.
"Bu guru, kenapa sih HP-nya getar terus? Ada yang suka sama ibu ya?" celetuk salah satu muridnya, Rian, sambil menatap penasaran ke arah saku Bu Nadia.
Mendengar itu, anak-anak lain mulai ikut ribut.
"Iya, Bu Nadia pasti dapet chat dari pacar, ya!"
"Ih, Bu Nadia pacaran!"
Seketika wajah Bu Nadia merah padam, bukan karena malu, melainkan karena kesal dan risih. Ia tersenyum kaku sambil berkata, "Sudah, sudah, ayo kita lanjut ceritanya ya. Fokus ke buku dulu."
Namun, anak-anak TK ini memang pintar sekali menangkap suasana. Mereka terus saja menggoda Bu Nadia dengan tawa cekikikan, dan itu membuat Bu Nadia semakin salah tingkah.
"Ya ampun, Pak Arman. Kalau begini terus, bisa gawat nih," pikir Bu Nadia dalam hati sambil berusaha mengabaikan ponsel yang tak henti-henti bergetar.
Sementara itu, di tempat lain, Pak Arman yang duduk di kantornya sedang asyik mengirimkan pesan ke Bu Nadia. Ia merasa bahwa pendekatannya mulai berhasil. "Hahaha, pasti Bu Nadia baca semua pesanku ini," batinnya sambil tersenyum bangga.
"Bu, nanti pulang sekolah saya tungguin di depan ya, biar bisa ngobrol sedikit. Hehe, santai aja, nggak usah khawatir."
Ia menekan tombol kirim dengan percaya diri, yakin bahwa Bu Nadia pasti terkesan dengan usahanya. Tanpa disadari, ia mulai membayangkan bagaimana reaksi Bu Nadia nanti. "Bu Nadia pasti senyum-senyum sendiri baca pesanku."
Namun, yang ia tidak tahu adalah, Bu Nadia justru merasa makin kesal dengan rentetan pesan yang ia kirim. Bu Nadia, yang biasanya sabar, sudah mulai berpikir untuk memblokir nomor Pak Arman jika terus begini.
Di kelas, Bu Nadia masih berjuang untuk mengontrol suasana yang sudah diwarnai celotehan anak-anak tentang HP-nya. Namun, tiba-tiba ponselnya kembali bergetar dengan keras, membuat semua anak menoleh lagi ke arahnya.
"Bu, HP-nya bunyi lagi!" teriak salah satu murid, membuat anak-anak lainnya tertawa.
Bu Nadia menghela napas panjang dan kali ini benar-benar membuka chat dari Pak Arman. Pesan yang baru saja masuk membuatnya mengernyit.
"Bu Nadia, kapan kita bisa ketemu ngobrol soal Aldo? Bukan di sekolah aja, di tempat yang lebih enak, gimana? Ada kedai kopi baru deket sini loh, hehe."
Bu Nadia langsung mengetik balasan cepat. "Pak Arman, kalau ada yang penting tentang Aldo, bisa kita bahas di grup aja ya. Saya sekarang lagi sibuk sama anak-anak."
Setelah itu, Bu Nadia menaruh HP-nya di meja, berharap Pak Arman mengerti pesan tersiratnya. Namun, belum lima menit berlalu, ponselnya bergetar lagi. Kali ini, Bu Nadia benar-benar ingin tertawa saking kesalnya.
"Saya ngerti kok, Bu. Tapi kan lebih enak ngobrol langsung biar lebih jelas, hehe. Boleh kapan-kapan, Bu?"
Bu Nadia hampir melempar ponselnya ke dalam tas. "Ya ampun, ini orang enggak ngerti kode atau gimana sih?" gumamnya pelan sambil menahan tawa kesal.
Anak-anak di kelas yang melihat ekspresi Bu Nadia mulai ikut-ikutan tertawa. "Bu guru marah ya? Pacarnya bawel ya, Bu?"
"Enggak, enggak, ayo fokus lagi ya, kita mau belajar menggambar," jawab Bu Nadia sambil tersenyum kaku, mencoba menutupi rasa malunya.
Di sisi lain, Pak Arman yang masih duduk di kantornya merasa makin percaya diri. "Wah, Bu Nadia pasti sibuk, tapi tenang aja, nanti pasti dia balas," pikirnya dengan semangat. Pak Arman menganggap bahwa dengan terus mengirimkan pesan, dia bisa mendekati Bu Nadia perlahan-lahan.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Bu Nadia semakin merasa terganggu dengan rentetan pesan Pak Arman yang terus-menerus masuk. Ia tahu bahwa sebagai guru, ia harus bersikap profesional. Tapi, Pak Arman sudah melewati batas, dan Bu Nadia harus melakukan sesuatu.
Saat istirahat makan siang, Bu Nadia akhirnya membuka pesan Pak Arman yang masih bertumpuk. Dengan tenang, ia mengetik pesan balasan yang singkat tapi jelas.
"Pak Arman, tolong hargai waktu saya. Kalau ada yang ingin dibicarakan, silakan lewat grup. Terima kasih."
Setelah mengirim pesan itu, Bu Nadia merasa lega. Ia berharap, dengan pesan yang tegas ini, Pak Arman akhirnya bisa mengerti bahwa ia tidak tertarik dengan pendekatan yang berlebihan.
Namun, di tempat lain, Pak Arman membaca pesan itu dengan kening berkerut. "Aduh, Bu Nadia ini kok malah kaku gini ya...?" Pak Arman menggaruk kepalanya, bingung dengan situasi yang dihadapinya.
Tapi, di dalam hati, Pak Arman belum menyerah. "Ah, mungkin Bu Nadia masih malu-malu. Aku harus lebih sabar lagi nih!" pikirnya sambil tersenyum kecil. Pak Arman memang keras kepala, dan kali ini dia sudah bertekad untuk terus berusaha, bagaimanapun caranya.
Cerita ini belum selesai, tapi jelas, Bu Nadia akan terus menghadapi Pak Arman yang pantang menyerah. Hari-hari di TK Pertiwi memang tidak pernah membosankan!
"Pak Arman Pantang Menyerah, Bu Nadia Semakin Cuek"
Pak Arman semakin terobsesi dengan Bu Nadia. Setelah mencoba berbagai cara untuk mendekatinya lewat WhatsApp dan mendapat respons yang sangat cuek, dia mulai berpikir lebih keras. "Masa aku nyerah begitu aja? Tantangan kayak gini justru seru!" gumamnya penuh semangat. Pak Arman yakin, suara lembut Bu Nadia pasti akan membuat aku semakin jatuh cinta. Hahaha
Dengan penuh percaya diri, Pak Arman mengambil ponselnya dan mulai mencari nama Bu Nadia di kontak WhatsApp. "Ah, ini dia. Saatnya aku denger suara lembutmu, Bu Nadia!" katanya sambil tertawa kecil. Ia menekan tombol panggil dan menunggu dengan antusias.
Panggilan pertama… nada sambung terdengar, tapi tidak diangkat. Pak Arman menunggu beberapa detik, namun panggilan itu ditolak. Pak Arman tak menyerah. "Hah? Ditolak? Mungkin Bu Nadia lagi sibuk, coba lagi deh," ujarnya dengan nada optimis.
Panggilan kedua dilakukan, tapi hasilnya sama. Kali ini Bu Nadia menolak panggilan lebih cepat, membuat Pak Arman sedikit bingung. Namun, tekadnya tak surut.
"Ah, mungkin Bu Nadia lagi sibuk sama anak-anak di TK. Pasti nanti kalau senggang diangkat," pikir Pak Arman sambil menekan tombol panggil untuk ketiga kalinya.
Namun, panggilan ketiga juga ditolak. Pak Arman mulai merasa sedikit gelisah, tetapi dia tetap memutuskan untuk mencobanya lagi. "Yah, masa sih gak mau ngangkat? Ah, mungkin keempat kali deh!"
Saat panggilan keempat juga ditolak, Pak Arman mulai merasa bahwa Bu Nadia benar-benar tidak ingin berbicara dengannya. Tapi, bukannya menyerah, dia malah semakin merasa ini tantangan yang harus ditaklukkan.
"Oke, satu kali lagi. Kali ini pasti diangkat!" gumamnya dengan semangat yang aneh. Ia menekan tombol panggil untuk kelima kalinya.
Di sisi lain, Bu Nadia sedang mengajar di kelas ketika ponselnya bergetar lagi dan lagi. Awalnya, ia mencoba mengabaikannya, tetapi setelah panggilan bertubi-tubi itu datang, ia mulai merasa kesal. "Ya ampun, Pak Arman lagi. Orang ini beneran gak ngerti kode atau gimana?" pikirnya sambil menghela napas.
Anak-anak di kelas mulai memperhatikan Bu Nadia yang kelihatan kesal. Salah satu muridnya, Ica, tiba-tiba berbisik, "Bu guru, HP-nya bunyi lagi ya? Pacar ibu ya?"
Bu Nadia tersenyum masam sambil menjawab, "Bukan, Ica, ini cuma wali murid yang suka gangguin."
Anak-anak lainnya mulai tertawa mendengar itu. "Bu guru digangguin! Hihihi!" Salah satu anak laki-laki, Fajar, dengan polosnya menambahkan, "Bu Nadia pasti pacaran sama bapaknya Aldo ya!"
Bu Nadia mencoba tetap tenang, tetapi dalam hatinya dia sudah sangat jengah. Akhirnya, ketika panggilan kelima datang, Bu Nadia menyerah. "Oke, aku harus jawab ini sebelum makin ribut," gumamnya sambil mengambil ponselnya dan menekan tombol jawab.
"Hallo?" suara Bu Nadia terdengar sangat datar dan penuh rasa malas. Ia bahkan tidak berusaha untuk menyembunyikan betapa cueknya ia kali ini.
Di seberang sana, Pak Arman tersenyum lebar. "Akhirnya diangkat juga! Halo Bu Nadia, apa kabar? Maaf ya ganggu terus, saya cuma pengen ngobrol sebentar," katanya dengan nada yang penuh semangat, seolah-olah tidak sadar betapa malasnya suara Bu Nadia.
Bu Nadia menghela napas panjang sebelum menjawab, "Pak Arman, saya lagi sibuk ngajar. Kalau ada yang penting, tolong lewat WA saja."
"Oh iya, saya tahu Bu, tapi saya cuma pengen denger suara Bu Nadia aja. Suaranya enak didengar, lembut, gitu…" Pak Arman menjawab dengan senyum penuh arti, meski ia tahu Bu Nadia tidak bisa melihatnya.
Namun, Bu Nadia tidak terkesan sama sekali. Ia hanya menanggapi dengan sangat dingin, "Pak Arman, saya benar-benar sedang bekerja. Kalau tidak ada yang penting, saya harus kembali ke kelas."
Pak Arman tetap pantang menyerah. "Oh, ya, ya, saya ngerti, Bu. Tapi kan ngobrol lewat telepon lebih asyik daripada chat. Gimana Bu? Mungkin nanti kita bisa ketemu buat ngobrol langsung?"
Bu Nadia mulai merasa makin ilfil. Suaranya semakin tegas dan tidak menyembunyikan rasa frustrasi. "Pak Arman, saya mohon. Tolong jangan ganggu saya lagi saat jam kerja. Ini tidak profesional."
Setelah itu, tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Bu Nadia langsung menutup telepon dan melemparkan ponselnya ke dalam tas dengan sedikit kekesalan. Ia berusaha tetap tenang di depan murid-muridnya, meski dalam hatinya ingin sekali berteriak.
Pak Arman yang mendapati telepon ditutup begitu saja hanya bisa melongo sesaat. Namun, bukannya merasa tersinggung, ia justru tertawa pelan. "Wah, Bu Nadia ini emang keras ya. Makin menarik nih! Makin susah, makin tertantang gue!" ucapnya sambil menyandarkan diri di kursi.
Sambil memutar-mutar ponselnya, Pak Arman mulai berpikir keras. "Oke, mungkin ini tandanya aku harus lebih pintar lagi. Kalau gak bisa lewat telepon, nanti aku coba cara lain!"
Sementara Bu Nadia berharap setelah telepon itu, Pak Arman akan mengerti dan berhenti mengganggunya, ia tidak tahu bahwa pria itu justru semakin bertekad untuk menaklukkannya. Dengan segala kelakuan aneh dan gigihnya, Pak Arman belum menyerah.
Bu Nadia harus siap menghadapi 'strategi baru' dari Pak Arman yang sepertinya takkan berhenti sampai dia berhasil mendapatkan perhatiannya.
Cerita ini belum berakhir, dan tampaknya Bu Nadia akan menghadapi lebih banyak tantangan lagi dari wali murid yang keras kepala dan penuh akal ini. Bagaimana kelanjutan perjuangan Pak Arman? Dan apakah Bu Nadia akan terus bertahan dengan kesabarannya? Tetap ikuti kisah mereka yang penuh canda tawa dan keisengan!