Di SMA Triguna Jaya, kelas 11 IPS 5 dikenal sebagai "Kelas Terakhir." Diremehkan oleh murid lain, dianggap kelas paling terakhir, dan dibayangi stigma sebagai kelas "kurang pintar," mereka selalu dianggap sepele. Namun, di balik pandangan sinis itu, mereka menyimpan sesuatu yang tak dimiliki kelas lain: talenta tersembunyi, kekompakan, dan keluarga yang mereka bangun sendiri.
Ketika cinta segitiga, persaingan ambisi, dan prasangka mulai menguji persahabatan mereka, batas antara solidaritas dan perpecahan menjadi kabur. Apakah mereka bisa menjaga mimpi bersama, atau akan terpecah oleh tekanan dunia luar?
©deluxi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alona~, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Bayangan Yang Tak Pernah Cukup
...Hallo hallo sayang sayangku 🌷...
...۪ ׄ ۪ 🎀 Disclaimer‼️: ׂ 𖿠𖿠...
...Semua cerita ini hanyalah cerita fiksi. Jika ada kesamaan dari nama, karakter, lokasi, tokoh, itu semua karena unsur ketidaksengajaan. Mohon maaf jika ada kesalahan dalam menulis. ...
...۪ ׄ ۪ 🌷 Happy Reading 🌷: ׂ 𖿠𖿠...
Hari ini, seperti biasanya, suasana kelas penuh dengan keributan. Tawa keras menggema di setiap sudut ruangan, bercampur dengan suara barang-barang yang berjatuhan dan candan-candaan khas anak-anak IPS 5. Anak-anak cowo, terutama yang doyan bikin onar, terlihat sibuk dengan ulah mereka masing-masing.
Hanif dan Sandi sedang asyik bermain lempar-lemparan pesawat kertas ke arah bangku depan, membuat Luna yang duduk di sana mendengus kesal. Sementara itu, di pojokan kelas, Haikal dan Raden justru memulai aksi kekanak-kanakan mereka yang sudah klasik ─── lempar-lemparan penghapus papan tulis.
"Tangkap nih, Den!" seru Haikal sambil melempar penghapusnya dengan tenaga penuh.
Bugh!
Penghapus itu melayang sempurna dan....tepat mengenai jidat Juan yang lagi asyik bermain HP di bangkunya.
"HAIKAL, ANJIN*! BISA DIEM GAK SIH, LO?!" Juan berdiri sambil mengusap jidatnya yang berwarna kehitaman akibat penghapus itu.
Raden yang melihat kejadian itu malah tertawa ngakak. "HAHA JIDAT LU IRENG, JUN!" sambil menimpuk Juan dengan botol kosong yang ada di mejanya.
Juan yang tidak terima, dengan cepat membalas. Sayangnya, botol itu melesat dan justru mengenai Renal yang duduk selonjoran di kursinya sambil makan wafer.
Bugh!
Renal yang terkena botol langsung mengerutkan kening dan berdiri dengan raut wajah kesal. "BAB*! SIAPA SIH INI?!"
Juan yang tadi melempar langsung ciut nyalinya. "A-aduh, sorry, Ren! Sumpah, enggak sengaja!"
Raden, bukannya membantu, malah memanas-manasi. "Ren, Juan nih pelakunya! Ayo, marahin!"
"DIEM LO, RADEN! INI JUGA GARA-GARA ULAH LO, SIALA*!" bentak Renal, melemparkan botol itu kembali dengan kekuatan penuh.
Kelas makin kacau. Sementara itu di meja belakang, Samuel dan Eric sudah mulai adu panco, dengan sorakan anak-anak lain yang makin heboh.
"ERIC! ERIC!"
"EMUL! EMUL! AYO MUL JANGAN BIKIN MALU! KALAHIN ERIC!"
"ERIC AYO, RIC! KALAHIN SI EMUL!"
Suasana makin riuh, hingga pintu kelas terbuka. Jia dan Jendra masuk dengan membawa tumpukan buku Matematika. Mata Jia langsung membulat melihat kekacauan yang ada di depan matanya.
"Astaga, ini kelas apa pasar sih?" keluh Jia sambil meletakkan buku di meja guru.
Jendra yang berdiri di sampingnya hanya terkekeh, "Lebih baik rame begini, Ji. Daripada saling diem dieman."
Jia mengangguk pelan, walau wajahnya masih menunjukkan rasa lelah, "Iya sih, tapi akhir-akhir ini gue ngerasa ada yang beda. Gue harap, mereka tetap bisa ketawa dan bahagia kaya gini selamanya."
"Woi, woi! Udah, jangan ribut terus!" seru Jia dengan nada lebih tegas.
Perlahan, suara gaduh mereda. Meski tidak sepenuhnya diam, setidaknya cukup untuk membuat suara Jia terdengar jelas.
"Oke, semuanya bisa duduk dulu? Gue ada pengumuman penting." lanjut Jia.
Anak-anak mulai kembali ke bangku mereka, meskipun ada yang masih saling cekikikan di belakang.
"Jadi gini," Jia memulai, "Gue sama Jendra tadi baru habis rapat ketua kelas dan sekretaris. Sekolah kita sebentar lagi bakal ngadain perlombaan 17 Agustus. Setiap kelas harus kirim perwakilan buat semua cabang lomba. Gue minta kekompakan kalian buat ikut semua perlombaan ini, biar kelas kita gak diremehin terus."
"Perlombaan nya apa aja, Ji?" tanya Heera.
"Nah itu dia, perlombaannya belum pasti. Tapi yang pasti, ada lomba tarik tambang, balap karung, futsal dan basket putra putri," jawab Jendra menimpali.
Beberapa anak kelas mulai rusuh, terutama squad jamet yang emang sifatnya no rusuh no life.
"Gue ikut tarik tambang!" seru Hanif dengan semangat.
"Heh, tarik tambang itu butuh otot! Yang cocok tuh kaya gue, bukan kaya lo!" ejek Haikal, yang langsung ditampol Hanif.
"Otot dari mana nya? Tubuh keremepeng gitu!"
"Jiji! Ada lomba make up gak?" tanya Gisella dengan heboh.
Nade di sebelahnya memutar bola malas. "Mana ada lomba make up, Sel? Kalaupun ada, pasti mata lo di tutup, jadi gak bagus!"
"Kalau soal lomba lomba yang lain gue belum tau, karna tadi diskusi nya cuma sebentar, nanti gue kasih tau kalau ada informasi tambahan."
"Panitia dapet makan gratis kagak, Ji?" tanya Sandi dengan muka sok polos.
"Yang ada juga dapet capek!" Jia membalas dengan tatapan tajam, membuat seisi kelas tertawa.
Di tengah kerusuhan kelas, Bian duduk diam. Pandangannya kosong mengarah ke luar jendela, memperhatikan pohon-pohon yang bergoyang pelan diterpa angin. Cowo itu memang selalu pendiam, hampir gak pernah terlibat dalam keributan kelas, meski sering nongkrong bareng Jendra dan squad jamet lainnya.
Sherly yang duduk di belakangnya menepuk pundak Bian pelan. "Diem diem bae, lo kenapa sih, Bi? Ikut lomba napa, seru tau."
Bian mengangguk pelan, "Iya, paling ikut futsal atau engga basket."
Dari belakang, Nade ikut nimbrung, "Bian, kalau ada lomba fashion show couple, bareng gue yuk? Hehe."
Kalisha yang di belakang Nade menampol pelan, "Dasar ngarep! Semua aja lo gombalin."
"Kek yang engga aja lo, huuu!"
Jia memperhatikan Bian dari kejauhan. Ada yang berbeda hari ini. Se-pendiam-pendiamnya Bian, biasanya dia tetap menunjukkan reaksi saat ada pengumuman penting seperti ini. Namun, kali ini....dia benar-benar tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Kring... Kring...
Bel istirahat berbunyi. Anak-anak kelas berhamburan keluar kelas dengan riuh, tapi Jia menahan mereka sebentar.
"STOP! Sebelum keluar, ini ada hasil ulangan Matematika kalian. Gue panggil satu-satu buat ambil bukunya ke depan."
Satu persatu nama dipanggil.
"Luna."
"Shaka."
"Samuel."
"Bian."
Bian melangkah ke depan dengan lesu. Begitu membuka bukunya, angka 85 tertera jelas di halaman. Bian hanya bisa menghela napas panjang, menutup bukunya perlahan sambil memijat pelipisnya yang mendadak terasa berat.
...🌷 🌷 🌷...
Pukul 19:00
Sepulang latihan ekstrakurikuler paskibra, Bian memasuki rumah dengan langkah yang berat. Rumahnya terasa sunyi, hanya terdengar suara detakan jam dinding yang berulang-ulang, seolah mengingatkan waktu yang terus berjalan tanpa henti.
Begitu ia membuka pintu, aroma kayu dari perabotan kayu tercium samar. Sepatu yang ia lepas diletakkan sembarang sudut, sebelum ia melangkah masuk dengan tubuh yang terasa lelah. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.
Di ruang tengah, suara berat Ayahnya menggema, dingin dan menusuk. "Jam segini baru pulang? Keluyuran kemana aja kamu?"
Bian menghela napas, berusaha menahan diri agar tidak terpancing. "Latihan paskibra, Yah. Latihan buat upacara nanti." jawabnya singkat.
Sang Ayah menatap tajam. "Kemari!"
Dengan langkah ragu, Bian mendekat. Detak jantungnya berpacu lebih cepat. Sudah bisa ia tebak ke mana arah pembicaraan ini akan berujung
"Buka tas kamu. Ayah mau lihat, kamu belajar apa saja hari ini?"
Dengan tangan gemetar, Bian membuka ranselnya dan menyerahkan semua bukunya. Ayahnya memeriksa setiap lembar, membuka halaman demi halaman dengan ekspresi penuh penilaian. Hingga akhirnya, lembar ulangan Matematika itu ditemukan.
Angka 85.
Cukup membuat sang Ayah menghentikan gerakannya.
"Apa ini?" suara Ayahnya terdengar pelan, tapi jelas akan kekecewaan. "Delapan puluh lima? Ini yang kamu sebut hasil belajar?!"
"Ayah udah bilang berapa kali, Bian?! Kamu itu laki-laki! Kamu harus bisa membanggakan keluarga ini! Lihat Heera! Dia selalu juara satu paralel, bahkan adik kamu pun bisa dapat nilai sempurna! Kamu? Dapat 85 aja udah kaya pencapaian besar?!
Heera lagi. Nama yang selalu dibandingkan dengannya. Seakan setiap keberhasilannya selalu dikerdilkan oleh nama itu.
Bian mencoba membuka mulutnya. "Bian udah berusaha, Yah. Bian belajar setiap hari, Bian──"
BRAK!
Ayahnya membanting buku ke meja. Suaranya menggema di seluruh rumah.
"BERUSAHA?! KALAU HASILNYA CUMA SEGINI, ITU BUKAN BERUSAHA! ITU MALAS! KAMU PIKIR BISA SUKSES DENGAN NILAI KAYAK GINI?!"
Napas Bian memburu. Ada banyak kata yang ingin ia keluarkan, tapi tertahan di tenggorokannya. Karena ia tahu, semua yang ia katakan hanya akan berakhir dengan amarah yang lebih besar.
"Diam aja? Jawab, Bian! Atau jangan-jangan, kamu sibuk main sama anak-anak nakal itu lagi, hah? Keluyuran, main game, nongkrong nggak jelas?!"
Bian menggeleng pelan. "Enggak, Yah. Bian latihan paskibra, Bian──"
Tapi kalimat itu hanya seperti angin lalu bagi Ayahnya.
"Keluarga Ayah itu engga ada yang bodoh kaya kamu! Lihat kaka kamu, dia selalu mendapat juara satu! Lihat adik kamu, dia juga selalu mendapat juara satu! Lalu kamu? Mengalahkan Heera aja tidak becus! Gak guna!"
Tamparan itu, meski tanpa tangan, terasa lebih menyakitkan daripada pukulan fisik.
Suara jam dinding yang berdetak perlahan, suara desahan napas berat Ayahnya, semuanya menjadi gema yang menusuk telinga Bian. Sambil mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, Bian akhirnya memilih untuk diam. Berdebat hanya akan memperburuk keadaan.
Dengan dada yang terasa sesak, ia berbalik dan melangkah menuju kamarnya. Pintu kamar ditutup perlahan, tanpa suara bantingan, seolah ia tak ingin menambah alasan untuk dimarahi lagi.
Kamar itu luas, namun terasa begitu hampa. Dindingnya dipenuhi piagam dan medali, bukti dari segala usahanya selama ini. Bukti bahwa ia sudah berjuang. Namun, semua pencapaiannya itu terasa sia-sia di mata Ayahnya.
Di atas meja belajar, buku-buku berserakan. Beberapa masih terbuka, penuh coretan, tanda perjuangan panjang yang ia jalani. Tapi, apa gunanya? Nilai 85 yang ia dapatkan hari ini seolah menegaskan bahwa usahanya tidak pernah cukup di mata ayahnya.
Bian duduk di tepi kasur, tangannya mencengkram ujung selimut dengan erat. Pandangannya kosong menatap gitar di pojokan kamarnya── gitar yang sudah lama tak ia sentuh sejak Ayahnya melarangnya bermain musik, menganggapnya hanya sebagai gangguan.
Kata-kata ayahnya terus berputar di kepala.
"Keluarga Ayah itu tidak ada yang bodoh kaya kamu!"
"Kamu laki-laki! Masa kalah sama perempuan seperti Heera?!"
"85 itu bukan usaha! Itu malas!"
Dadanya bergemuruh, campuran antara kecewa, marah, dan sedih menumpuk. Di luar kamar, samar-samar terdengar Ayahnya yang masih mengomel pada Ibunya. Suara yang menusuk lebih dalam daripada kata-kata sebelumnya.
"Anak itu bikin malu. Lihat Heera, lihat kakaknya, lihat adiknya. Semua berprestasi! Cuma dia yang nggak becus."
Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya jatuh. Tapi ia tetap diam, tetap membisu, hanya bisa menatap langit-langit dengan dada yang terasa berat.
Kenapa aku nggak pernah cukup, Yah?
Kenapa harus selalu dibandingkan?
Malam ini, ia merasa benar-benar sendirian. Terjebak dalam ekspektasi yang seolah menenggelamkannya perlahan.
Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa....tak berguna.
...🌷 🌷 🌷...
... Aku gak bakalan bosan bosan mengingatkan kalian, jangan lupa tinggalkan jejak ya, seperti vote, komen, dan tambahkan ke favorit kalian ya😉🌷...
...Sampai ketemu di part selanjutnya 🌷...
...ִ ׄ ִ 𑑚╌─ִ─ׄ─╌ ꒰ To be continued ꒱ ╌─ׄ─۪─╌𑑚 ۪ ׄ...