Aku Raima Nur Fazluna, gadis yang baru saja menginjak usia 21 tahun. Menikah muda dengan Sahabat Kakakku sendiri yang sudah tertarik sejak awal pertemuan kita.
Namanya Furqan Hasbi, laki-laki yang usianya berbeda 5 tahun di atasku. Dia laki-laki yang sudah menyimpan perasaannya sejak masa sekolah dan berjanji pada dirinya sendiri akan menikahiku suatu saat nanti ketika dirinya sudah siap dan diantara kita belum ada yang menikah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Kak Furqan izin pamit pulang setelah mengobrol panjang lebar bersama keluargaku.
"Gak mau pamit dulu sama Nur?" tanya Daffa sebelum mengantar Kak Furqan pulang.
Dia menggelengkan kepalanya, "dia-nya di kamar. Gak enak kalau ganggu dia istirahat."
"Bentar gw bangunin dulu," kata Bang Daffa sembari melangkah masuk ke kamar.
Dia membuka pintu kamar dan menerbitkan senyumnya. Melihatku sudah mandi dan terlihat lebih segar.
"Ada apa Bang?" tanyaku menoleh padanya.
"Kak Furqan mau pulang tuh!" ucapnya, "dia gak enak kalau ganggu kamu katanya."
Aku memakai kerudung lalu pergi keluar untuk menemuinya sebentar. Dia tersenyum tenang melihatku.
"Mau pulang?" tanyaku dianggukinya.
"Yaudah, makasih ya Kak udah mau jagain aku kemarin," ungkap-ku.
Dia tersenyum sembari mencubit pipiku, "iya Neng sama-sama."
"Kalau gitu Kakak pamit dulu ya!" pamitnya, "istirahat yang cukup," aku mengangguk mengiyakan.
Seharian itu, aku hanya banyak berdiam di kamar. Merapihkan beberapa tulisan-ku yang sempat di tinggalkan beberapa hari lamanya.
Mamah mengetuk pintu kamarku setelah waktunya makan siang.
"Nur ayo makan siang dulu!" ajaknya dari luar kamar.
"iya Mah sebentar!" teriakku.
Aku segera membuka pintunya, pergi menuju meja makan. Bang Daffa dengan Kak Asya juga sudah terlihat di sana. Sedangkan, Bapak kembali bekerja.
Mataku langsung tertuju pada bubur sumsum yang dibawa Mamah dari dapur dalam mangkuk.
"Mamah bikin bubur sumsum?" tanyaku.
"Bukan," jawabnya, "ini dari mertua kamu, tadi Bang Daffa pulangnya bawa ini."
Mertua?
"Mamah-nya Furqan, Nur," ujar Bang Daffa.
"Mamah bikinin ini buat aku?" tanyaku langsung menaruh mangkuk buburnya di hadapanku.
"Iya katanya bagus buat lambung kamu, makanya dia bikinin ini," lanjut Bang Daffa.
"Nanti kalau udah enakkan ke rumahnya, bilang makasih terus bawa sesuatu," kata Mamah diangguki paham olehku.
Aku hanya memakan bubur sumsum buatan Mamah-nya Kak Furqan.
Enak sekali!
Setelah makan siang bersama, aku kembali ke kamar untuk berkutik dengan laptop. Helaan napas-ku mulai terdengar sering karena ide yang tidak terpikirkan sejak tadi.
Bang Daffa masuk ke kamar begitu saja, dia duduk di tepian kasur sembari matanya memperhatikanku.
"Mau apa Bang?" tanyaku tanpa menoleh padanya.
"Enggak, Abang cuman mau bicara sama kamu," ujarnya.
"Mau bicara apa?" tanyaku menoleh padanya.
"Jangan terlalu diforsir kerjanya, pelan-pelan aja ya!" pesannya.
"Iya Bang, ini aku cuman mau benerin beberapa bagian yang kemarin kok," jawabku.
Bang Daffa memang orang yang pertama kali tau tentang kerjaan aku selama di rumah ini. Setelah dia menikah, anehnya aku merasa lebih sering bercerita padanya.
Dia selalu mendukungku apapun itu, semangat darinya membuatku semakin yakin jika aku bisa.
"Yaudah Abang keluar dulu! Kamu tidur cepet ya, jangan begadang!" peringat-nya.
Aku mengangguk sembari tersenyum padanya. Setelah itu, kembali mengerjakan masalah ceritaku.
Beberapa jam kemudian, di luar sudah terdengar sepi. Televisi sudah dimatikan dengan lampu ruang tengah yang sudah gelap.
Kayaknya yang lain udah pada tidur!
Aku melihat jam dinding di kamar, terlihat sudah larut ternyata. Pantas saja orang rumah sudah mulai masuk ke kamarnya masing-masing.
Aku mulai membereskan laptop dengan buku yang sudah berserakan di meja. Lalu segera pergi untuk bersiap tidur.
Ponsel yang sejak tadi tidak pernah dibuka membuat penasaran dengan notif yang terus menyala sejak tadi.
Terlihat banyak pesan yang dikirim Kak Furqan. Walaupun dia hanya menanyakan kabarku sekarang, menyuruh makan, dan menyuruhku untuk segera tidur.
Aku tersenyum membacanya, dia juga mengirim banyak stiker yang membuatku semakin jatuh pada perhatiannya.
Lucu banget!
Tanpa membalasnya, aku langsung menyelimuti tubuhku dan mulai terlelap tidur.
merinding jadinya
jangan sampai thor kasihan si ica