Sharon tidak mengerti mengapa takdir hidupnya begitu rumit. Kekasihnya berselingkuh dengan seseorang yang sudah merenggut segalanya dari dirinya dan ibunya. Lalu ia pun harus bertemu dengan laki-laki kejam dan melewatkan malam panas dengannya. Malam panas yang akhirnya makin meluluhlantakkan kehidupannya.
"Ambil ini! Anggap ini sebagai pengganti untuk malam tadi dan jangan muncul lagi di hadapanku."
"Aku tidak membutuhkan uangmu, berengsekkk!"
Namun bagaimana bila akhirnya Sharon mengandung anak dari laki-laki yang ternyata seorang Cassanova tersebut?
Haruskah ia memberitahukannya pada laki-laki kejam tersebut atau menyembunyikannya?
Temukan jawabannya hanya di BENIH SANG CASSANOVA 2.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Bab 2 – Luka yang Terbuka Lagi
Suasana bar itu remang dan tenang, hanya suara musik jazz lembut yang mengalun di latar. Lampu-lampu gantung temaram menciptakan bayangan halus di wajah-wajah pengunjung yang tenggelam dalam dunianya masing-masing. Sharon masih menatap gelas ketiganya, tangannya yang gemetar perlahan mulai stabil, tapi dadanya tetap sesak.
Bayangan pengkhianatan Farel masih saja berkelebat di ingatannya membuat hatinya sakit bukan main. Begitu pula dengan bayang senyuman mengejek Ivana padanya membuatnya mencengkram erat gelas di tangannya. Marah, benci, dendam, semua bercampur aduk menjadi satu.
Senyum itu ... senyum yang sama saat akhirnya ayahnya lebih memilih Ivana dibandingkan ia dan ibunya. Senyum mengejek dan penuh kemenangan. Jelas saja Sharon takkan pernah melupakan senyum itu.
"Dan lihatlah ayah, wanita yang kau perjuangkan kini justru bersama laki-laki lain. Dan laki-laki itu adalah kekasih putrimu sendiri. Setelah ia menghancurkan ibu, kini ia pun menghancurkan aku. Apakah seperti itu wanita kesayanganmu, hum? Aku harap ayah pun ikut hancur seperti kami dan menyesal karena lebih memilih jalang itu daripada kami," gumam Sharon yang kesadarannya mulai dipengaruhi alkohol.
Tak lama kemudian seorang pria tiba-tiba duduk di samping Sharon. Pria itu menyesap whisky dari gelas kristal, matanya sesekali melirik Sharon. Sorotnya tajam, penuh perhitungan, namun ada ketertarikan tersamar di baliknya.
“Masalah cinta?” tanyanya pelan, seperti tak sungguh-sungguh mengharapkan jawaban.
Sharon menoleh dengan tatapan kosong. “Semua orang bermasalah dengan cinta. Termasuk kamu, kurasa.”
Pria itu menyeringai tipis. “Aku tidak percaya cinta.”
“Kau tidak sendiri,” gumam Sharon, lalu menenggak isi gelasnya lagi tanpa ragu.
Beberapa detik hening. Pria itu lalu mengangkat tangannya, memberi isyarat pada bartender.
“Dua lagi untuk kami.”
Sharon menatapnya heran. “Kau pikir aku butuh ditemani mabuk?”
“Bukan. Aku pikir kau butuh seseorang untuk mendengar. Atau ... kau cuma ingin tidak merasa sendirian malam ini.”
Sharon menatap pria itu lebih seksama. Wajahnya dingin, nyaris tanpa ekspresi, namun ada sesuatu yang karismatik. Bahunya tegap, jas hitamnya rapi dan mahal. Sosoknya seperti pria yang terbiasa mendapatkan apapun yang ia inginkan.
“Aku Sharon,” ucapnya akhirnya memperkenalkan diri.
“Leon," jawab laki-laki itu singkat.
Sharon mengangguk, lalu menatap kembali gelasnya. Nama itu melintas begitu saja tanpa menimbulkan kesan atau–belum.
“Kau mau tahu ceritanya?” Sharon bertanya dengan suara rendah. Entah kenapa ia tiba-tiba ingin menceritakan apa yang ia alami hari ini. Padahal ia tidak tahu sama sekali tentang siapa laki-laki itu. Hanya saja, ia ingin sekali mengurangi sesak di dadanya dengan menceraikan kejadian hari itu padanya.
Leon mengangkat alis. “Kalau kau siap bercerita," jawab Leon retoris.
Sharon menghela napas panjang. Alkohol membuat lidahnya lebih ringan dan pikirannya sedikit kabur, seolah luka di hatinya tidak lagi terlalu menyakitkan meski tetap belum sembuh.
“Aku ditinggal kekasihku. Setelah dua tahun, dia memilih wanita lain. Bukan hanya itu …." Sharon menjeda kata-katanya. Mengingat senyum penuh ejekan dari Ivana membuat dadanya kembali sesak. "Wanita itu adalah orang yang menghancurkan hidup ibuku. Selama bertahun-tahun, aku mencoba membangun kepercayaan. Tapi nyatanya, orang yang paling kau percayai bisa menjadi orang pertama yang menusukmu.”
Leon menatapnya dalam diam. Matanya tak berubah—dingin, namun fokus. Ia tidak mengucapkan simpati kosong seperti “aku turut sedih” atau “kau akan baik-baik saja.” Dan justru karena itu, Sharon terus melanjutkan ceritanya.
“Ibuku menderita karena wanita itu. Kami kehilangan rumah, tabungan, semuanya. Ayahku pergi bersama wanita jalang itu dan meninggalkan kami. Lalu kekasihku ... ia justru memilih wanita yang sama.” Ia tertawa getir. “Lucu sekali, kan?”
Leon menyesap minumannya pelan. “Tidak lucu. Tapi hidup memang jahanam seperti itu.”
Sharon menatap pria itu, lalu tersenyum lemah. “Kau terdengar seperti seseorang yang sudah lama menyerah pada cinta.”
“Karena aku memang sudah lama menyerah.” Nada suaranya datar. “Cinta itu ilusi. Kebutuhan manusia untuk merasa dimiliki, tapi pada akhirnya, semua tentang kuasa dan kelemahan.”
Sharon menatapnya lebih lama. “Kau terdengar … patah.”
Leon tersenyum samar. “Atau mungkin aku hanya realistis.”
Ada hening panjang di antara mereka. Sharon menenggak gelasnya lagi. Kepalanya mulai ringan, pikirannya melayang-layang di antara masa lalu dan luka yang belum sembuh. Ia tidak tahu mengapa ia merasa nyaman di dekat pria asing ini. Mungkin karena Leon tidak berpura-pura peduli. Mungkin karena ia tampak seperti seseorang yang juga menyimpan luka dalam diam.
“Temani aku malam ini,” ucap Sharon pelan, mengejutkan dirinya sendiri.
Leon menoleh. “Kau yakin?”
Sharon menatapnya, bibirnya bergetar. “Aku hanya ingin malam ini … berhenti terasa menyakitkan.”
Leon menatap mata Sharon dalam-dalam, mencari kebimbangan, tapi tak menemukannya. Lalu ia berdiri, membayar minuman, dan menunggu Sharon dengan anggukan pelan.
Tanpa banyak kata, Sharon mengikuti pria itu keluar dari bar, meninggalkan kenangan pahit di balik pintu.
---
Mereka sampai di sebuah hotel yang tidak begitu mewah yang tak jauh dari bar. Sharon nyaris tidak sadar bagaimana bisa tiba di kamar itu. Yang ia tahu, tubuhnya lelah, jiwanya kosong. Leon membantunya membuka coat, lalu membaringkannya di ranjang.
Mereka tidak saling berbicara lagi. Yang ada hanya bisikan napas dan suara hujan di luar jendela.
Saat Sharon merasakan ciuman pertama Leon, ia menutup mata dan berpura-pura bahwa ia mencium seseorang lain—seseorang yang tidak mengkhianatinya. Namun, semakin jauh mereka melangkah, semakin hilang semua bayangan masa lalu. Yang ada hanya mereka berdua, dua jiwa yang terluka, saling mencari pelarian dalam malam yang penuh kabut, gairah, dan desah nafas.
...---...
Sharon terbangun pagi harinya dengan kepala berat dan mulut kering. Ia membuka mata perlahan dan menemukan dirinya terbaring dalam selimut putih yang tidak ia kenali dalam keadaan polos. Pakaiannya teronggok di sandaran sofa. Matahari menembus tirai tipis, membanjiri ruangan yang asing dengan cahaya hangat.
Ia menoleh ke samping. Kosong.
Leon sudah pergi.
Di atas meja, tergeletak beberapa lembar uang ratusan ribu dan secarik catatan:
“Ambil ini. Anggap ini sebagai pengganti untuk malam tadi dan jangan muncul lagi di hadapanku.”
— L
Sharon mematung. Matanya membeku. Tubuhnya tidak bergerak selama beberapa detik.
Lalu ia menendang selimut dan bangkit dengan gemetar.
Tangannya meremas uang itu, lalu melemparkannya ke lantai.
“Bajingan!” jeritnya.
"Aku tidak membutuhkan uangmu, berengsekkk!" teriak Sharon murka.
Ia berlari ke kamar mandi dan muntah. Bukan karena alkohol semata, tapi karena jijik, marah, dan hancur.
Ia merasa murah. Digunakan seperti boneka kemudian ditinggal setelah dipakai.
Luka yang semalam ia coba lupakan kini terbuka lagi. Bahkan kini jadi lebih dalam, lebih menyakitkan.
...---...
Sharon berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri. Mata yang sembab, bibir yang pecah-pecah, dan hati yang hancur.
Ia menghela napas dalam, lalu berkata lirih dengan kedua tangan terkepal, seolah bersumpah pada diri sendiri:
“Aku akan kuat. Aku akan balas semua ini. Suatu saat nanti.”
Dan ia tidak tahu ... bahwa malam panas itu telah menanam benih dalam rahimnya. Benih yang kelak akan mengubah segalanya.
...Happy reading 🥰🥰🥰 ...
Semoga ini jd awal yg baik bagi Leon bisa ketemu sm ank2nya jg sharon
semoga di mudahkan dan dilancarkan ya..
padahal ceritanya bagus lho