Setelah kehilangan anaknya dan bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang penghinaan dari suami serta keluarganya, Amira memilih meninggalkan masa lalu yang penuh luka.
Dalam kesendirian yang terlunta-lunta, ia menemukan harapan baru sebagai ibu susu bagi bayi milik bukan orang sembarangan.
Di sana-lah kisah Amira membuang kelemahan di mulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ternyata Begitu
"Mbak Fit, aku mau tanya sesuatu. Mbak Fitri tahu nggak tentang ibunya Tuan Kecil? Aku penasaran banget siapa nama mamanya Tuan Kecil itu."
Wajah Fitri langsung berubah waspada. Ia mendekat, lalu membisikkan jawabannya ke Amira.
"Tanpa mengurangi rasa hormat, Mbak Amira, sebaiknya jangan bahas itu, ya. Aku nggak berani."
"Kenapa bisa begitu? Kan hanya ingin tahu namanya saja?"
"Itu sama aja cari mati, Mbak," bisik Fitri makin pelan. "Kalau nggak percaya, coba tanya yang lain deh. Nggak ada yang berani ngomong, semua takut."
Ternyata benar. Saat Amira iseng bertanya ke beberapa orang lain yang kebetulan lewat, mereka semua memberi jawaban serupa, diam dan takut. Tidak satu pun yang bersedia membuka mulut.
Akhirnya, Amira memutuskan menemui Ika. Setelah merasa mentok dengan Fitri yang tampak terikat oleh aturan rumah ini, ia berharap Ika bisa sedikit lebih longgar. Selama ini, Ika memang masih bisa diajak kompromi, tidak seketat yang lain. Semoga saja kali ini pertahanan informasinya bisa ditembus, setidaknya untuk menjawab satu pertanyaan Amira yang satu ini.
Amira menarik Ika ke bagian rumah yang sepi, cukup jauh dari jangkauan kamera pengawas. Masih mungkin terekam, tapi dari arah yang tidak terlalu jelas karena jaraknya yang cukup jauh.
"Mbak Ika, aku mau tanya sesuatu yang penting banget. Aku harap Mbak bisa bantu jawab. Apa Mbak tahu nama istri Tuan Arga? Atau nama ibu dari Tuan Kecil?"
Ika langsung terdiam. Ekspresinya berubah muram, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. Amira agak lega, setidaknya Ika tidak langsung bereaksi seperti orang-orang sebelumnya yang ia tanya.
Padahal, kalau saja mereka tahu, Amira bertanya bukan tanpa alasan. Ia sedang mencocokkan apa yang tengah ia temukan. Selembar kertas yang jatuh dari dalam diary tempo hari, telah membuka pintu ingatannya. Isinya adalah tulisan tangan sahabatnya, Gladys, yang belum sempat ia baca.
Di situ, Gladys mengaku bahwa ia sebenarnya sedang hamil muda. Ia juga menuliskan dua nama--pilihan nama untuk calon anaknya. Satu nama anak perempuan, satunya lagi nama anak laki-laki. Dan nama anak laki-laki itu sama persis dengan nama Tuan Kecil, Arkha Pandya Winata.
Tapi apa yang ia temukan masih perlu kecocokan lebih lanjut. Meskipun perasaan Amira tidak enak, dia tetap harus mencari clue lain. Dunia ini luas, kesamaan nama bisa saja terjadi. Coba saja searching nama Siti Amira, pasti ada yang menyamakan. Begitu juga dengan nama Tuan Kecil. Pikir Amira.
Yang sangat Amira sayangkan adalah ia tidak pernah tahu nama suami dari sahabatnya itu. Jangankan suami, tempat tinggal Gladys saja dia tidak tahu. Dan kini Amira juga tidak tahu kabar terkini Gladys, karena mereka putus kontak begitu saja bertepatan dengan Amira hamil tua. Saat itu Amira jarang ada waktu untuk sekadar keluar, selain karena jadi babu suami dan mertua, dia juga berat bawa perut besar kemana-mana.
"Mbak Ika," Amira memanggil lagi.
Ika tampak tersentak dari lamunannya. "Ah iya, Mbak Amira... Besok kan kita libur, gimana kalau kita jalan-jalan? Nyari aksesoris lucu, yuk."
Bukannya menjawab, Ika justru mengalihkan topik. Tapi sepertinya itu buka pengalihan semata, ada semacam kode yang sedang Ika mainkan. Dengan terbatuk lalu menatap Amira dengan tatapan berbeda, Amira langsung paham maksudnya, bahwa Ika ingin kasih tahu jawaban itu bukan di dalam rumah ini.
Dan Amira langsung memainkan perannya, "Oh, iya ya, aku sampai lupa. Yasudah kalau gitu kita ke toko aksesoris."
...******...
Besoknya.
Hari yang dinanti-nanti oleh Amira akhirnya tiba. Namun, rencana mereka tidak semulus yang diharapkan. Sebelum sempat berangkat liburan, Tuan Kecil tiba-tiba rewel dan menolak diasuh oleh siapa pun selain Amira.
Dengan harapan bayi itu akan lebih tenang, Amira pun mengalah dan mencoba menenangkannya sejenak. Ia berharap setelah sedikit dibujuk, si kecil akan mau bermain dengan staf lain. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, semakin lama bersama Amira, semakin lengket pula Tuan Kecil padanya.
Amira merawat bayi itu dengan caranya sendiri. Kadang berbeda dari cara sebelumnya. Jika dulu Tuan Kecil dibiarkan tidur sendiri di kamar yang terpantau dari kejauhan, maka bersama Amira, Tuan Kecil tidur di sisi seorang perempuan yang menjaganya sepanjang malam.
Amira tidak hanya sekadar mengasuh, ia juga memberi kasih sayang layaknya seorang ibu. Tidak heran jika Tuan Kecil merasakan kehangatan itu, dan menolak untuk dilepaskan.
Karena Amira berniat mengambil libur dan Tuan Kecil menolak berpisah darinya, situasi pun jadi rumit. Sampai akhirnya, Pak Genta sendiri turun tangan.
"Jatah libur Nona ditukar saja jadi besok," ucapnya menawarkan solusi.
Namun Amira menggeleng pelan. "Besok juga belum tentu Tuan Kecil bisa ditinggal, Pak. Dan saya... saya sudah sangat rindu ingin ke makam anak saya."
Mendengar itu, Pak Genta tidak bisa berkata-kata. Untuk hal seperti ini, ia tahu dirinya tidak punya cukup alasan untuk menahan Amira.
Akhirnya Pak Genta menghubungi Buana untuk membicarakan kondisi ini. Tidak lama, jawaban pun datang, bukan keputusan dari Buana, melainkan keputusan yang disampaikan atas nama Tuan Arga.
"Baiklah, Nona Amira tetap bisa ambil libur hari ini. Namun karena Tuan Kecil tidak bisa berpisah dengan Nona, maka beliau memutuskan agar Tuan Kecil ikut serta dalam liburan ini. Untuk itu, Nona diwajibkan menggunakan mobil khusus Tuan Kecil dan akan dikawal oleh beberapa bodyguard. Dua mobil akan mengiringi perjalanan kalian."
Amira tertegun. Ia tidak menyangka Arga akan setuju, apalagi dengan pengawalan segala.
Pak Genta melanjutkan, "Kalau ada tempat lain yang ingin Nona kunjungi selain ke makam, misalnya Mall atau tempat lainnya, tolong beri tahu saya sekarang. Apakah ada?"
Amira melirik ke arah Ika yang berada di sampingnya dengan ekspresi nyaris tidak bisa digambarkan. Terpaku. Syok. Speechless. Amira menyenggol pelan lengan wanita itu.
Ika mengerjap, seperti baru sadar dari lamunan.
"Gimana, Mbak Ika? Jadi ke tempat aksesoris, kan?" bisik Amira.
"Ja… jadi," jawab Ika gugup.
Amira segera menghadap Pak Genta. "Saya dan Mbak Ika mau ke toko aksesoris, Pak. Ada yang ingin kami beli di sana."
"Baik. Mohon tunggu sebentar."
Pak Genta kembali sibuk dengan ponselnya, mengatur sesuatu. Tidak lama kemudian, ia berbicara lagi pada Amira.
"Nona Amira, tempat yang Anda maksud sudah ditentukan. Anda akan membeli aksesoris di Mall XXX. Nantinya, begitu Anda tiba di sana, seluruh lantai terkait akan disterilkan dari publik demi kenyamanan dan keamanan Tuan Kecil. Apakah ada pertanyaan?"
Amira menggeleng pelan. "Tidak, Pak. Terima kasih atas kebijaksanaannya."
Sementara itu, Ika hanya bisa melongo. Matanya berbinar dengan mulutnya yang setengah terbuka. Ika membisik cenderung menjerit tertahan, "Astaga Mbak Amiraaaa, aku baru kali ini ngerasain liburan rasa-rasa sultan."
Amira hanya bisa tersenyum.
...****...
Sampai di tempat tujuan.
Rupanya Amira yang sudah penasaran sekali akan jawaban Ika, langsung menuju Mall yang dimaksud. Begitu masuk ke toko aksesoris, ia memberi kode halus ke Ika, isyarat agar sahabatnya itu menyebutkan nama ibu kandung Tuan Kecil.
Ika, yang sejak tadi sudah diajak berkomplot secara diam-diam, mengangguk perlahan. Ia lalu berpura-pura melihat-lihat gantungan huruf. Tangannya terulur, mengambil satu gantungan berbentuk huruf G.
"Mbak, ini bagus ya," katanya sambil tersenyum.
Amira menelan ludah. Matanya langsung terpaku pada huruf itu. "Bagus," jawabnya pelan. "Terus kamu mau yang mana lagi?"
Ika kemudian mengambil sebuah anting kecil berbentuk huruf L. "Yang… ini."
Amira tercekat. Hatinya mulai berdebar.
"Eh, Mbak Amira, ini juga lucu banget." Kali ini Ika mengangkat sebuah gelang mungil dengan hiasan huruf A.
Tenggorokan Amira kering. Nafasnya terasa sesak.
Ia berbalik, lalu menunjuk ke beberapa benda di rak lain. "Kalau yang ini, gimana Mbak Ika? Kayaknya bagus juga. Mau aku belikan?"
Ika melihat gantungan berhuruf D, Y, dan S, huruf-huruf terakhir yang melengkapi nama itu. Ia langsung mengangguk mantap, meski tidak sepenuhnya mengerti mengapa Amira memilih huruf-huruf itu, seolah Amira tahu kelanjutan hurufnya.
Amira memejamkan mata sejenak. Matanya berkaca-kaca. Gladys. Berarti benar kalau anak yang sedang di asuh olehnya itu adalah anak sahabatnya.
Ia menatap Tuan Kecil yang duduk di stroller, tampak riang dan tertawa, seakan bayi itu ikut senang memilih barang. Amira membungkuk, memeluknya erat, dan mencium Tuan Kecil lama sekali. Air matanya jatuh satu per satu.
Ika yang melihatnya panik. "Mbak… hey, kamu kenapa?"
Namun belum sempat Amira menjawab, Tuan Kecil juga mulai menangis, seperti terhubung oleh emosi sang pengasuh. Tangis bayi itu pun pecah, dan Amira malah menangis berdua-dua dengan Tuan Kecil. Tangis Amira adalah tangisan haru.
"Bibi nggak sedih kok, Nak. Tuh, bibi ketawa… kamu juga jangan nangis lagi ya. Nih, kita cari yang lucu-lucu lagi yuk." Akhirnya tangis Tuan Kecil pun mereda.
Tidak lama, ada seseorang yang menghampiri keberadaan mereka. Siapakah gerangan yang sudah di sterilkan tapi tetap ada yang bisa masuk?
Ternyata yang datang adalah Valerie, bibinya Tuan Arga. Sebab Mall yang mereka jajaki sekarang adalah milik keluarga Winata.
.
.
Bersambung.
Terlena dengan bab ini, karena ikut merasakan kehilangan seperti Arga.
Sehingga ia tahu, mana yang tulus mana yang modus