"aku pernah membiarkan satu Kalila merebut milik ku,tapi tidak untuk Kalila lain nya!,kau... hanya milik Aruna!"
Aruna dan Kalila adalah saudara kembar tidak identik, mereka terpisah saat kecil,karena ulah Kalila yang sengaja mendorong saudara nya kesungai.
ulah nya membuat Aruna harus hidup terluntang Lantung di jalanan, sehingga akhirnya dia menemukan seorang laki laki tempat dia bersandar.
Tapi sayang nya,sebuah kecelakaan merenggut ingatan Aruna,sehingga membuat mereka terpisah.
Akankah mereka bertemu kembali?,atau kah Aruna akan mengingat kenangan mereka lagi?
"jika tuhan mengijinkan aku hidup kembali, tidak akan ku biarkan seorang pun merebut milik ku lagi!"ucap nya,sesaat sebelum kesadaran nya menghilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aru_na, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29.ketakutan Aruna
Seperti pagi-pagi sebelumnya, rutinitas Arza adalah sarapan bersama Aruna, menikmati momen-momen kecil yang hangat sebelum ia berangkat. Aruna, meski masih menyimpan kekhawatiran tentang Kalila, berusaha keras untuk menepati janjinya pada Arza, menjaga ketenangan di rumah. Ia sadar, Arza begitu tulus dan polos, mudah percaya pada kebaikan orang lain dan dia tidak mau mengecewakan arza dengan kekhawatiran kekhawatiran nya itu.
Di Puskesmas, Kalila semakin sering datang dengan berbagai alasan. Kadang ia datang untuk "menanyakan perkembangan pembangunan Puskesmas," kadang ia "mengantar titipan dari ibunya" atau sekadar "mampir untuk menyapa Mas Arza." Ia selalu ada, seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari hari-hari kerja Arza, meskipun ia bukan staf Puskesmas.
Munira, sesekali melihat Kalila yang terus menempel pada Arza. Munira sendiri adalah perawat yang cekatan dan selalu siap membantu Arza dalam urusan medis dan administrasi Puskesmas. Meskipun agak geram, dia tetap berusaha untuk terlihat tenang.
"Dokter Arza, ini laporan rekam medis terbaru yang sudah saya siapkan," ujar Munira suatu pagi, menyerahkan berkas kepada Arza.
Munira sudah berusaha untuk bekerja secara profesional dan melupakan perasaan nya.
"Terima kasih, Munira. Kerja bagus," puji Arza.
Tak lama kemudian, Kalila datang membawa sekotak kue. "Mas Arza, aku bawakan kue dari ibu. Ini khusus ibu buat untuk Mas dan semua staf di sini!" katanya ceria, berusaha terlihat akrab dengan semua orang.
Arza tersenyum. "Wah, terima kasih banyak, Kalila. Kamu ini baik sekali." Arza menawari Munira kue tersebut, dan Munira menerima dengan senyum tipis, namun matanya tak lepas dari gerak-gerik Kalila yang selalu mencari perhatian Arza.
Kalila sesekali mencari topik obrolan ringan dengan Arza, mulai dari keluh kesah tentang desa, hingga cerita masa lalu mereka yang penuh kenangan. Arza menanggapi dengan santai, menganggap itu hanya obrolan biasa dengan seorang teman. Ia bahkan tak menyadari tatapan iri dari beberapa perawat lain yang melihat kedekatan mereka.
Pada suatu sore, setelah jam kerja usai, Arza tampak sibuk dengan berkas-berkas di mejanya. "Ah, ini laporan bulanan belum selesai juga," gumamnya.
"Perlu bantuan, Mas?" Kalila langsung menyahut, ia memang sengaja belum pulang. "Aku bisa bantu merapikan data, Mas. Biar Mas bisa cepat pulang menemui Aruna."
Mendengar nama Aruna, Arza tersenyum hangat. "Wah, bagus sekali, Kalila! Kamu memang pahlawanku hari ini. Aruna pasti sudah menungguku."
Mereka pun bekerja hingga menjelang senja. Kalila sesekali mencari topik obrolan ringan. Arza menanggapi dengan santai, menganggap itu hanya obrolan biasa.
"Dulu, Mas Arza sering sekali menolongku saat aku terluka," kenang Kalila, tersenyum nostalgia. "Mas selalu mengobati lukaku."dia terus mengoceh, berharap arza akan semakin dekat dengan nya.
Arza terkekeh. "Benarkah? Aku sampai lupa. Kamu memang sering sekali terluka, Kalila. Makanya aku selalu mengingatkanmu untuk hati-hati." ujarnya dan terus bekerja,dia ingin cepat cepat menyelesaikan semua dan pulang menemui istrinya.
Kalila tersenyum getir. Ia ingat betul setiap sentuhan Arza pada lukanya dulu, dan bagaimana ia berharap sentuhan itu bisa lebih dari sekadar pertemanan. Namun, Arza tetap Arza, dengan kepolosan dan kebaikannya yang tak terbatas.
Saat mereka selesai, langit sudah mulai gelap. "Terima kasih banyak ya, Kalila. Kamu sangat membantu. Aku jadi bisa cepat pulang," Arza tersenyum lebar.
"Sama-sama, Mas. Aku senang bisa membantu," balas Kalila, nadanya lembut dan sarat makna yang tak terbaca oleh Arza. Ia menatap punggung Arza yang bergegas menuju rumah nya, di benaknya hanya ada satu pikiran: bagaimana caranya agar Arza bisa melihatnya lebih dari sekadar 'teman'.
Sementara itu, di rumah, Aruna tak henti-hentinya menatap jam dinding. Sudah lewat jam pulang Arza, dan suaminya belum juga tiba. Hatinya mulai resah. Biasanya, Arza selalu memberi kabar jika pulang terlambat.
Saat Arza akhirnya tiba, ia langsung memeluk Aruna erat. "Maaf ya, Sayang, aku telat. Tadi ada sedikit pekerjaan yang harus diselesaikan di Puskesmas."
Aruna membalas pelukan itu, namun matanya menatap lekat pada kemeja Arza. "Mas habis lembur sama Kalila?" tanyanya pelan. Aroma parfum Kalila yang samar tercium di kemeja Arza, sesuatu yang hanya bisa ia kenali.
Arza tersenyum, tidak menyadari apa-apa. "Iya, Sayang. Kalila kebetulan ada di Puskesmas dan menawarkan bantuan. Dia memang sangat sigap." Arza mengelus pipi Aruna. "Kamu pasti lelah menungguku, ya?"
Aruna hanya tersenyum tipis. Ia tidak ingin memperpanjang perdebatan. Namun, firasatnya semakin kuat. Setiap kali Arza menyebut nama Kalila, ada rasa tak nyaman yang mencubit hatinya. Ia tahu, suaminya terlalu baik, terlalu lugu untuk melihat niat tersembunyi di balik kebaikan Kalila.
Iya,dia tau, suaminya ini dengan Kalila memang sudah sangat dekat sejak dia belum datang, dan semua orang didesa selalu membicarakan nya.
"saya pikir, dokter arza akan menikahi Kalila, mereka sangat dekat,tapi ternyata tidak" dia mendengar itu di hari pernikahan nya.
Malam harinya, saat mereka berdua berbaring, Aruna menyandarkan kepalanya di dada Arza. "Mas, aku ingin bertanya sesuatu," ucapnya lembut.
"Apa, Sayang?" Arza membelai rambut Aruna.
"Mas... apa Mas tidak merasa Kalila terlalu... dekat? Dia bukan bagian dari Puskesmas, tapi sering sekali datang ke sana," tanya Aruna hati-hati, mencoba mencari tahu tanpa terdengar menuduh.
Arza terkekeh pelan. "Dekat bagaimana, Sayang? Dia memang sering mampir karena urusan desa atau kadang membawakan sesuatu. Dia juga sering antusias membantu kalau ada yang butuh. Aku sudah menganggapnya seperti adik sendiri, Aruna."
Aruna menghela napas. "Tapi dia bukan adikmu, Mas. Dia... dia seorang wanita." dia tidak habis pikir dengan pemikiran suami nya.
"Aku tahu, Sayang. Tapi dia itu orangnya tulus. Jangan berprasangka buruk begitu," Arza mencium puncak kepala Aruna. "Kamu tidak perlu khawatir, aku hanya mencintai kamu. Lagipula, dia tahu aku sudah menikah."
Mendengar jawaban Arza yang polos, Aruna hanya bisa terdiam. Ia tahu, ia tak bisa memaksa Arza untuk melihat apa yang ia lihat. Yang bisa ia lakukan hanyalah tetap waspada dan melindungi hubungan mereka, meskipun itu berarti harus menghadapi Kalila sendirian. Ia memeluk Arza lebih erat, mencoba mencari ketenangan di pelukan suaminya yang tulus.
"sayang, jangan memikirkan banyak hal, yang perlu kamu ketahui,aku hanya mencintaimu dan tidak ada seorang pun yang bisa memisahkan cinta ku padamu" Aruna mengangguk, anggukan yang terpaksa dia lakukan,dia hanya tidak mau suaminya merasa tidak nyaman dengan sikap nya, sehingga dia berusaha untuk patuh.
"tidak apa apa dia tidak menyadari nya,aku akan bekerja sendiri untuk membuktikan nya" bisik nya pada diri sendiri,saat dia sudah memejamkan mata nya,dia berharap hidupnya bisa sedikit lebih tenang.