Di Era Kolonial, keinginan memiliki keturunan bagi keluarga ningrat bukan lagi sekadar harapan—melainkan tuntutan yang mencekik.
~
Ketika doa-doa tak kunjung dijawab dan pandangan sekitar berubah jadi tekanan tak kasat mata, Raden Ayu Sumi Prawiratama mengambil jalan yang tak seharusnya dibuka: sebuah perjanjian gelap yang menuntut lebih dari sekadar kesuburan.
~
Sementara itu, Martin Van der Spoel, kembali ke sendang setelah bertahun-tahun dibayangi mimpi-mimpi mengerikan, mencoba menggali rahasia keluarga dan dosa-dosa masa lalu yang menunggu untuk dipertanggungjawabkan.
~
Takdir mempertemukan Sumi dan Martin di tengah pergolakan batin masing-masing. Dua jiwa dari dunia berbeda yang tanpa sadar terikat oleh kutukan kuno yang sama.
~
Visual tokoh dan tempat bisa dilihat di ig/fb @hayisaaaroon. Dilarang menjiplak, mengambil sebagian scene ataupun membuatnya dalam bentuk tulisan lain ataupun video tanpa izin penulis. Jika melihat novel ini di
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ilusi
Martin mengerutkan dahi, merasa heran. Selama seminggu terakhir ia terus membersihkan tempat ini, tidak sekalipun pemuda itu menemukan kura-kura, apalagi sebanyak ini.
Meski begitu, Martin tidak merasa khawatir. Ia hanya mengamati, berpikir bahwa hewan-hewan itu tidak berbahaya.
Mereka hanya berenang-renang di sekitar Sumi, seperti menari dalam gerakan aneh namun memesona.
Tatapan Martin kemudian beralih pada Sumi yang kini berdiri dengan air setinggi dada.
Perempuan itu menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menenggelamkan kepala, berharap agar ritual itu lebih cepat selesai dan memastikan air membasahi seluruh tubuhnya.
Martin bisa melihat samar-samar Sumi menggeleng-gelengkan kepalanya sejenak, membiarkan rambutnya terurai sepenuhnya di dalam air.
Tanpa sadar, Martin turut menahan napas. Namun satu detik ... dua detik ... Sumi tak kunjung muncul.
Martin mulai merasa was-was. Berapa lama seorang perempuan bisa menahan napas di dalam air?
Ia menggelengkan kepala, mencoba meyakinkan diri bahwa Sumi baik-baik saja. Tapi kekhawatiran mulai menggerogotinya.
Martin memutuskan untuk bergerak. Ia berlari mengitari jalur di sekitar sendang, menuju undakan tangga.
Sementara itu, di bawah permukaan air, Sumi terkejut saat membuka mata. Dalam keremangan air yang disorot cahaya bulan, ia melihat bulus-bulus itu berenang-renang dalam air—bentuk tempurung mereka lebih besar dari biasanya, dan yang paling mengerikan, mata mereka yang bercahaya dalam kegelapan air.
Untuk beberapa saat, Sumi membeku, terkejut dengan pemandangan yang tidak ia duga. Gelembung-gelembung udara kecil keluar dari mulutnya.
Tapi bulus-bulus itu tidak menunjukkan tanda-tanda mengancam. Mereka hanya berputar-putar di sekitarnya, seperti menari dalam lingkaran besar.
Sumi yang sudah berada di ambang batas menahan napas akhirnya menegakkan kakinya yang tertekuk.
Dengan dorongan kuat, ia menjulurkan kepalanya keluar dari air, mengambil udara sebanyak mungkin dengan napas tersengal.
Tepat pada saat itu, Martin tiba di dekat pakaian Sumi yang teronggok di atas batu besar. Ia merasa lega melihat perempuan itu tidak tenggelam. Namun sebelum sempat bersembunyi kembali, kepala Sumi menoleh ke belakang dan melihatnya.
Perempuan itu terkejut mendapati ada orang lain di sana. Tapi matanya yang buram karena air pada bulu mata yang lebat justru melihat Martin seperti sosok suaminya.
"Kangmas?" gumam Sumi sambil mengusap wajahnya yang basah.
Ia tampak terlalu senang, mengira sang suami menyusul ke sendang. Sumi tersenyum, membuat Martin merasakan déjà vu dengan mimpinya beberapa jam lalu.
Senyum yang sama, tatapan yang sama, situasi yang sama—hanya kini semua terasa nyata, terlalu nyata.
Martin menelan ludah, tidak tahu harus melakukan apa. Tapi entah mengapa, tubuhnya seolah membeku di tempat, terutama ketika perempuan itu perlahan menaiki undakan tangga.
Tubuhnya yang basah disorot cahaya bulan, air menetes dari kulitnya yang berkilau, menciptakan pemandangan yang membuat Martin sulit berpaling.
Ia masih membeku di tempatnya, bingung harus bagaimana. Sedangkan wanita cantik itu terus mendekat, senyum menggoda tidak lepas dari wajahnya. Ia mengulurkan tangan, dan Martin tak kuasa menolak.
Tanpa mengalihkan pandangan dari Sumi, pemuda itu melepaskan mantel serta kemejanya, melemparkan keduanya ke atas tumpukan pakaian Sumi.
Kemudian, seolah ditarik oleh tali tak kasat mata, ia menuruni tangga dengan hati-hati, menyambut uluran tangan Sumi yang tersenyum menggoda.
Tapi perempuan itu bukannya minta dibantu naik. Ia justru menarik Martin turun, kembali ke dalam air.
Jantung Martin berdebar kencang, namun tubuhnya dengan patuh mengikuti Sumi. Kakinya melangkah turun satu demi satu, merasakan dinginnya air sendang yang anehnya terasa hangat di kulitnya.
Di bawah pengaruh kekuatan gaib Mantra Panunggaling Sukmo, realitas di sekitar Kedung Wulan berubah menjadi sesuatu yang berbeda. Batas-batas dunia nyata dan dunia gaib menjadi kabur.
Bagi Sumi, pria yang berdiri di hadapannya dengan air sendang setinggi pinggang bukanlah Martin van der Spoel.
Yang ia lihat adalah suaminya, Raden Mas Soedarsono, dengan tatapan penuh cinta. Di bawah cahaya bulan yang keperakan, wajah tampan suaminya tersenyum padanya, mata pria itu memancarkan kerinduan yang membuat hatinya bergetar.
Tangannya yang basah meraih wajah pria itu, mengusap pipinya dengan kelembutan yang membuat sekujur kulit Martin meremang.
Wajah cantiknya yang basah mendongak, menatap Martin dengan pandangan yang penuh kerinduan.
Sebelum Martin sempat mengucapkan apa-apa, Sumi telah menarik wajahnya mendekat dan dan menyatukan bibir mereka.
Persis seperti dalam mimpi, Martin merasakan bibir itu begitu dingin namun membakar pada saat yang sama.
Air sendang yang dingin kontras dengan kehangatan tubuh mereka yang saling merapat, menciptakan sensasi yang memabukkan.
Bagi Martin, ilusi itu tak kalah kuat. Mantra yang terbisik dari mulut Ki Jayengrana telah membuka jalur gaib yang menghubungkan sukma mereka, menciptakan daya tarik yang tak bisa dilawan.
Dalam pandangannya, Sumi bukanlah istri orang lain, bukan perempuan terlarang yang seharusnya tidak ia sentuh. Ia adalah perempuan dalam mimpinya, takdirnya, yang telah menunggunya di sendang ini.
Air sendang beriak lembut di sekitar mereka, seperti selimut cair yang menyembunyikan tubuh mereka dari dunia luar.
Di kedalaman air, bulus-bulus keramat berenang dalam lingkaran yang semakin cepat, menciptakan pusaran kecil di sekitar kaki mereka. Mata mereka yang berkilau dalam kegelapan menjadi saksi bisu persatuan yang terlarang ini.
Bulan perlahan bergeser di langit malam, memberikan waktu bagi dua sukma yang terikat oleh mantra untuk menyatu.
Air sendang yang awalnya dingin kini terasa hangat, melingkupi mereka dalam kelembutan yang memabukkan.
Bisikan-bisikan gaib berdengung di sekeliling, seperti nyanyian dari dunia lain yang mendorong mereka untuk melupakan segala keraguan.
Mereka saling melingkupi, menyatu dalam ritme yang selaras dengan denyut alam di sekitar. Telapak tangan Martin menelusuri lekuk tubuh Sumi yang basah, memetakan setiap jengkal kulit yang berkilau di bawah cahaya bulan.
Sumi memejamkan mata, menikmati sensasi yang tidak seperti biasanya. Dalam dunia ilusinya, ini adalah bukti bahwa pernikahannya masih bisa diselamatkan, bahwa cinta Soedarsono masih miliknya.
Mereka terus menyatu di sepanjang kegelapan itu—di dalam air sendang yang dalam, di atas bebatuan yang ditumbuhi lumut lembut di tepian, di atas hamparan kain jarik Sumi yang dibentangkan di tanah—seperti sepasang kekasih yang kelaparan akan sentuhan satu sama lain.
Di atas mereka, langit malam Jawa perlahan berubah. Bintang-bintang mulai memudar satu per satu, memberikan tempat bagi fajar yang mulai mengintip di cakrawala timur.
Angin pagi yang sejuk berembus lembut, membawa aroma tanah basah dan dedaunan segar.
Mantra yang mengikat mereka perlahan memudar, seperti mimpi yang terbangun oleh cahaya pagi. Kesadaran mulai kembali, merayap perlahan seperti kabut yang diusir matahari.
Sumi yang berbaring di atas hamparan kain jariknya di tepi sendang, membuka mata saat mendengar erangan suara suaminya terdengar berbeda.
Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba melihat lebih jelas, namun yang didapatinya adalah dada pria yang terasa asing, terlalu pucat, jauh berbeda dengan kulit sang suami yang kecokelatan.
Cahaya pertama fajar menyinari wajah pria yang melingkupinya— tampan dengan mata terpejam dan bibir merah yang terbuka, namun bukan wajah suaminya–melainkan Martin van der Spoel.
Sumi menggosok mata, memastikan ia tak salah melihat. Dengan gerakan cepat, Sumi mendorong bahu pria itu.
"Kau?!" serunya, suaranya campuran antara keterkejutan dan kemarahan.
Martin, masih dengan napas terengah dan kesadaran yang belum sepenuhnya kembali, menatap Sumi dengan bingung.
"Kau?" ia mengulang kata Sumi dengan tersenyum. Matanya masih berkabut oleh sisa-sisa ilusi yang bertahan.
"Kau benar-benar luar biasa," lanjut Martin dengan senyum puas, mencoba meraih wajah Sumi untuk kembali mencumbunya.
Tapi Sumi yang telah sepenuhnya sadar dari pengaruh mantra, mendorongnya dengan kasar.
"Apa yang kau lakukan di sini?!" teriaknya panik, buru-buru menarik mantel cokelat Martin untuk menutupi tubuh telanjangnya.
Martin kebingungan dengan perubahan sikap mendadak Sumi. "Apa maksudmu? Bukankah kau yang mengundangku masuk ke air? Kau yang menarikku ...."
"Tidak!" potong Sumi, wajahnya memucat. "Aku tidak pernah ... aku pikir kau .... "
Kata-katanya terhenti, terlalu malu untuk mengakui bahwa ia mengira Martin adalah suaminya.
Memori tentang malam yang mereka habiskan bersama mulai berkelebat dalam benaknya, membuat wajahnya memerah dan tubuhnya gemetar oleh rasa malu dan penyesalan.
"Pergi," ucap Sumi akhirnya, suaranya dingin. "Pergi sekarang juga dan jangan pernah katakan ini pada siapapun."
Martin masih terdiam, mencoba mencerna apa yang terjadi. Perlahan, kesadaran tentang situasi mereka mulai jelas.
Ia telah menghabiskan malam dengan istri orang lain, seorang Raden Ayu dari keluarga terpandang. Apa yang telah ia lakukan?
"Raden Ayu, saya …," ia mencoba berbicara, tapi tidak menemukan kata yang tepat. "Saya pikir kau menginginkan ini. Kau memanggil namaku, kau—"
"Aku tidak pernah memanggil namamu!" Sumi hampir berteriak, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Aku ... aku tidak tahu apa yang terjadi. Kau memanfaatkanku!"
Martin menggeleng. "Tidak, aku tidak ... kita berdua sama-sama ...."
Ia mencoba meraih tangan Sumi lagi, tapi perempuan itu menepis tangannya dengan kasar. "Jangan sentuh aku. Pergi sekarang atau aku akan berteriak."
puaaanaaaskan
suami nya banyak istri
mungkin yg mandul Raden Soedarso sendiri