Blurb:
Mia meyakini bahwa pernikahan mereka dilandasi karena cinta, bukan sekadar perjodohan. Christopher mencintainya, dan ia pun menyerahkan segalanya demi pria itu.
Namun setelah mereka menikah, sikap Chris telah berubah. Kata-katanya begitu menyakitkan, tangannya meninggalkan luka, dan hatinya... bukan lagi milik Mia.
Christopher membawa orang ketiga ke dalam pernikahan mereka.
Meski terasa hancur, Mia tetap terus bertahan di sisinya. Ia percaya cinta mereka masih bisa diselamatkan.
Tapi, sampai kapan ia harus memperjuangkan seseorang yang terus memilih untuk menghancurkanmu?
Note: Remake dari salah satu karya milik @thatstalkergurl
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
"Apa menurutnya tempat ini apa? Sebuah hotel?" Suara Christopher terdengar dingin. "Dia mungkin baru kembali setelah bermalam bersama pria lain."
Nada sinisnya mengoyak udara, memecah keheningan rumah yang semulanya tenang. Lalu kemudian terdengar suara langkah tergesa dari lantai atas. Paman Jack muncul di anak tangga, ia berdiri kaku dengan wajah yang begitu tegang, dan menatap keduanya dengan pandangan waspada.
Namun Mia tidak bereaksi seperti biasanya. Dengan perlahan, ia meletakkan gelas susunya di atas meja dan bangkit berdiri. Dia melangkah tegas berjalan mendekati Christopher.
"Aku pergi ke rumah sakit malam itu," ucap Mia dengan nada tenang, namun cukup tegas untuk menusuk ketegangan yang membalut ruangan itu.
Christopher menatapnya dengan raut wajah kaget. Lalu matanya menyipit, mencoba membaca raut wajah Mia yang tampak jauh lebih pucat dari terakhir kali dilihatnya.
"Rumah sakit…?" tanyanya nyaris tak percaya.
Mia mengangguk pelan. "Aku baru diizinkan pulang hari ini. Dan saat aku kembali… orang pertama yang ingin aku temui adalah dirimu."
Kemudian tatapan mereka bertemu. Mata Mia bergetar, menyimpan emosi yang hampir tak tertahankan, tetapi suaranya tetap kokoh saat ia melanjutkan, "Apa sekarang kamu puas?"
Christopher tidak langsung menjawabnya. Ia hanya menatap Mia, lebih tepatnya menatap tubuhnya yang sekarang tampak kurus, lemah, dan rapuh. Dan ternyata dia baru menyadari kenyataan yang tak ingin dia lihat.
"Kau… dirawat di rumah sakit?" bisiknya lirih yang nyaris tak terdengar.
Mia mengangguk lagi. "Iya. Karena malam itu aku jatuh pingsan. Karena terlalu banyak tekanan dan pikiran."
Keheningan menggantung seperti kabut tebal. Tidak seorang pun yang berbicara. Bahkan suara detik jam di dinding terdengar begitu nyaring.
Christopher akhirnya berdiri lebih tegak, namun nada suaranya kembali menajam, seolah ia menyangkal setiap emosi yang sempat menyeruak dirinya barusan.
"Apakah kau memang terlahir jadi orang yang lemah, Mia? Kenapa aku tidak melihat sisi lemah dan lembutmu saat di pesta itu?"
Paman Jack yang sejak tadi berdiri dan memperhatikan di tangga, segera turun dengan tergesa.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Nona? Ini terdengar serius." tanyanya dengan nada khawatir.
Mia hanya menoleh perlahan ke arah Paman Jack. Wajahnya tetap terlihat tenang, tetapi matanya tampak kosong.
"Perutku sakit. Dan kata dokter, lambungku mengalami pendarahan," ucapnya datar.
Christopher menoleh dengan cepat. Dan ekspresinya langsung berubah drastis, antara cemas dan tidak percaya apa yang dia dengar barusan.
"Lambungmu… berdarah?"
Bibi Im, yang baru keluar dari dapur, segera menghampiri mereka dengan wajah pucat.
"Astaga... Itu pasti sangat menyakitkan…"
Mia menatap lurus pada Christopher. Dan kali ini, matanya tidak lagi bergetar.
"Iya. Sangat menyakitkan. Tapi..." ia menarik napas dalam sebelum melanjutkan. "Hatiku terasa jauh lebih sakit daripada itu."
Kata-kata itu menghantam Christopher seperti badai. Ia terdiam seketika. Hingga, seluruh ruangan tenggelam dalam kebisuan.
Diaa tahu. Diaa tidak perlu bertanya lebih jauh. Mia pasti sudah melihat video itu.
Pada akhirnya Paman Jack mencoba mencairkan suasana.
"Nona... sebaiknya Anda beristirahat setelah makan. Dan Tuan Christopher... Anda juga belum menyentuh makanan hari ini..."
Namun respons Christopher hanya sebuah helaan napas berat. Ia mengalihkan pandangannya, enggan untuk menatap Mia lebih lama.
"Tidak perlu... Aku muak melihat wajahnya," ucapnya tanpa emosi.
Kemudian ia menoleh pada Bibi Im.
"Buatkan aku kopi, dan antarkan juga ke atas."
Bibi Im menunduk pelan.
"Baik, Tuan Christopher."
Tanpa mengatakan apa pun lagi, Christopher menaiki tangga dengan langkahnya yang terdengar berat, ada kemarahan didalam hatinya yang belum dia pahami sepenuhnya sendiri. Dan sesampainya di atas, dia menutup pintu kamarnya dengan keras.
Mia masih berdiri di tempatnya, tak bergeming. Nafasnya teratur, namun dadanya terasa sesak. Matanya berkaca-kaca, tetapi ia tetap menahannya untuk tidak menjatuhkan air matanya.
'Dia bahkan tidak peduli...'
Bibirnya bergerak tanpa suara. Ia bicara di dalam hati, namun hatinya menjerit begitu nyaring.
"Lihatlah… Dia bahkan tidak peduli di mana aku berada selama beberapa hari terakhir… Bahkan setelah aku memberitahu bahwa aku dirawat di rumah sakit… Tidak sedikit pun dia menunjukkan rasa kepedulian padaku…"
Air mata yang ia tahan pun akhirnya jatuh perlahan, membasahi pipi yang sudah terlalu lelah untuk bersikap kuat.
"Semua orang membenciku di internet… dan inilah perbedaanku dengan Lusy… Aku bahkan tidak terlihat di mata siapa pun…"
— Flashback On —
Di dapur, beberapa saat sebelum Christopher pulang
Aroma kaldu hangat memenuhi ruang dapur yang sunyi. Suara lembut panci di atas kompor terdengar seperti nyanyian pelipur lara. Di tengah kesunyian itu, Bibi Im sesekali melirik Mia yang tengah duduk diam di kursi dapur. Wajah gadis itu terlihat sangat pucat, membuat Bibi Im sangat khawatir. Saat pandangan mereka bertemu, Mia tersenyum, tetapi senyuman yang menghiasi bibirnya itu tampak dipaksakan.
Bibi Im berjalan mendekat, tatapannya dipenuhi oleh rasa kekhawatiran.
“Nona muda… apakah Anda masih merasa tidak enak badan? Wajah Anda sangat pucat,” ucapnya lembut, suaranya bergetar oleh rasa prihatin.
Mia tersenyum samar, berusaha tampak tegar meski tubuhnya terasa begitu rapuh.
“Tidak, Bibi… Aku hanya sedikit kelelahan saja,” jawabnya dengan tenang.
Kemudian Mia menarik napas panjang, seolah mencoba mengisi ulang dirinya dengan keberanian. Lalu, senyumnya melembut, lebih hangat daripada sebelumnya.
“Ayo kita makan, Bibi… Aku sangat merindukan masakan buatanmu.”
Bibi Im tersenyum sendu, lalu mengangguk kecil. Ia tahu Mia tengah berusaha bertahan, dan satu-satunya yang bisa dirinya lakukan saat ini hanyalah mendampingi gadis itu dengan sepenuh hati. Mereka berdua pun duduk di meja makan, menikmati makanan dengan tenang.
Usai makan, Bibi Im bersiap untuk pergi berbelanja ke supermarket dan berpamitan kepada Mia. Namun, Mia tiba-tiba berdiri dan menahan lengannya dengan lembut.
“Aku ikut, Bibi,” ujarnya pelan.
Bibi Im menatapnya heran.
“Apakah Anda yakin? Bukankah Anda butuh istirahat sekarang?”
Mia mengangguk lemah, matanya tampak hampa namun penuh harap.
“Aku bosan berada di rumah terus… Dan aku merasa sedikit lebih baik sekarang. Tolong izinkan aku ikut, Bibi.”
— Dalam Perjalanan Menuju Supermarket —
Di dalam mobil yang melaju perlahan di bawah langit senja, Mia menatap keluar jendela. Pohon-pohon di sepanjang jalan tampak kabur, namun pikirannya jauh lebih kabur dari itu. Ia menggenggam erat jemarinya sendiri, seolah berusaha menenangkan ketakutan yang terus menghantuinya.
“Terima kasih sudah mengizinkanku ikut, Bibi…” ucapnya pelan. “Aku… aku sangat takut bertemu orang banyak. Tapi… aku juga lelah terus merasa sendirian dirumah.”
Bibi Im yang duduk di sampingnya menoleh sebentar lalu tersenyum hangat.
“Nona Mia tidak perlu khawatir. Kita hanya akan membeli beberapa bahan makanan, tidak lama, kok. Lagipula, udara segar sangat baik untuk Anda.”
Mia mengangguk perlahan. Ada sedikit rasa nyaman dalam suara Bibi Im yang lembut itu. Suara yang tidak pernah menghakiminya dan tidak pernah meninggalkannya.
— Rumah, beberapa Saat Kemudian, Setelah Pulang —
Mereka sudah kembali dari berbelanja, dan kini Mia beristirahat di ruang tamu. Tubuhnya bersandar lemah di sofa, sementara pikirannya melayang-layang entah ke mana. Udara rumah yang tenang sedikit menenangkan batinnya yang porak-poranda.
Dan tidak lama kemudian, Bibi Im datang dengan secangkir susu hangat di tangannya.
“Susu kesukaan Nona Mia,” ujar Bibi Im dengan senyum lembut. “Minumlah selagi hangat.”
Mia mengambil cangkir itu dengan kedua tangan, lalu menatap Bibi Im dengan senyum manis di bibirnya.
“Terima kasih, Bibi. Aku merasa sangat nyaman selama masih ada Bibi dan Paman di rumah ini.”
Senyum Bibi Im menipis, namun hangat. Tanpa berkata, ia mengusap pelan punggung tangan Mia, memberikan kekuatan lewat sentuhan sederhana itu.
Di lantai atas, Paman Jack sedang mengganti seprai dan merapikan kamar Mia. Ia melakukannya dengan cermat, seolah ingin menyambut Mia pulang seperti putri kecil yang sudah lama menghilang.
Dirumah itu… meski penuh dengan luka yang tak terlihat, masih menjadi satu-satunya tempat di mana Mia bisa merasa aman, meskipun untuk sesaat.
— Flashback Off —
“Tuan Chris, ini kopi Anda,” ucap Bibi Im dari balik pintu kamar Christopher.
Suara Christopher terdengar datar dari dalam.
“Masuk saja, Bibi.”
Bibi Im membuka pintu perlahan dan masuk membawa nampan berisi cangkir porselen yang menguarkan aroma kopi hitam. Ia berjalan dengan hati-hati, lalu meletakkan cangkir itu di meja kerja Christopher yang dipenuhi dokumen.
“Silakan, Tuan. Jika tidak ada lagi yang Anda perlukan, saya permisi—”
Belum sempat ia berbalik, suara Christopher kembali terdengar, kali ini memotong dengan nada yang tetap dingin.
“Tunggu.”
Langkah Bibi Im terhenti. Ia membalikkan badan, dan menatap pria muda itu dengan hormat.
“Ada yang Tuan perlukan?” tanyanya hati-hati.
Christopher tidak menoleh. Ia masih menatap dokumen di tangannya, hanya menyeruput kopinya sejenak sebelum akhirnya bertanya dengan sedikit tajam.
“Mia… Apa yang dia lakukan sekarang?”
Pertanyaan itu membuat Bibi Im sedikit terkejut, namun ia menjawab dengan hati-hati.
“Nona Mia sudah beristirahat, Tuan. Dia masih sangat lemah setelah keluar dari rumah sakit, dan tadi siang Nona Mia ikut mengantarkan saya berbelanja. Bahkan, saat ini Nona hanya bisa mengonsumsi bubur. Kondisinya belum sepenuhnya pulih... Apakah Tuan ingin menemuinya?”
Christopher terdiam. Tidak ada perubahan di raut wajahnya, hanya tatapan kosong yang sulit diartikan.
“Tidak perlu,” jawabnya dingin. “Jangan terlalu memperhatikannya. Dia pandai bermain perasaan untuk mendapatkan simpati dari oranglain.”
Perkataan itu menusuk hati Bibi Im. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan kata-kata yang ingin ia ucapkan. Ia teringat bagaimana Mia terlihat sore tadi, Mia memang selalu tersenyum, namun ada kesedihan yang jelas tergambar di matanya.
Pelan-pelan, ia bergumam, “Nona Mia tidak mengeluh apa pun padaku… Tapi sorot matanya sangat sayu. Seperti seseorang yang menyimpan beban berat di dalam hatinya.”
Christopher akhirnya mengangkat kepalanya. Pandangannya tajam dan menelisik.
“Ada hal lain yang ingin kamu katakan?”
Bibi Im mengangguk ragu, tapi kemudian ia menguatkan hatinya. Ia tahu ini berisiko, tapi jika dia diam saja maka itu lebih menyakitkan.
“Tuan Christopher…” ucapnya perlahan namun tegas. “Saya tidak tahu apa yang pernah terjadi antara Anda dan Nona Mia. Namun, saya telah mengenalnya… Saya melihatnya tumbuh. Saya tahu seperti apa hatinya.”
Ia berhenti sejenak, memastikan nada suaranya tetap lembut.
“Nona Mia bukanlah orang yang manipulatif. Dia bukan seorang pembohong. Sebaliknya, dia sangat mencintai Anda. Cintanya sangat tulus dan murni, Tuan. Tidak ada kepalsuan dalam setiap perhatian yang ia berikan kepada Anda.”
Kata-kata itu menggantung di udara, menciptakan keheningan yang lebih dalam daripada sebelumnya.
Christopher tak menjawab. Ia hanya diam, seolah setiap kalimat dari Bibi Im menggema di benaknya, membenturkan keraguan yang selama ini dipeluknya erat.
Bibi Im menunduk perlahan, lalu melangkah keluar tanpa menunggu balasan, kemudiana menutup pintu dengan hati-hati.
Christopher menatap pintu yang baru saja tertutup. Tangannya meletakkan dokumen yang semula ia pegang. Pandangannya kosong, seakan jiwanya melayang entah ke mana.
“Dia mencintaiku…?” pikirnya dalam hati.
“Kalau begitu… kenapa terasa seperti aku adalah orang yang paling dia benci?”
.
.
.
.
.
.
.
- 𝐓𝐁𝐂 -
Mia Mia cinta butamu membuat dirimu terluka kamu jg sangat goblok ,, wanita kaya kamu tuh ga bisa move on ga bisa sukses terlalu myek2 kamu ,,so enjoy lah