Aura, gadis berusia 26 tahun yang selama hidupnya tidak pernah memahami arti cinta.
Karena permintaan keluarga, Aura menyetujui perjodohan dengan Jeno.
Akan tetapi, malam itu akad tak berlanjut, karena Aura yang tiba-tiba menghilang di malam pengantinnya.
Entah apa yang terjadi, hingga keesokan harinya Aura justru terbangun di sebuah kamar bersama Rayyan yang adalah anak dari ART di kediamannya.
"Aku akan bertanggung jawab," kata Rayyan lugas.
Aura berdecih. "Aku tidak butuh pertanggungjawaban darimu, anggap ini tidak pernah terjadi," pungkasnya.
"Lalu, bagaimana jika kamu hamil?"
Aura membeku, pemikirannya belum sampai kesana.
"Tidak akan hamil jika hanya melakukannya satu kali." Aura membuang muka, tak berani menatap netra Rayyan.
"Aku rasa nilai pelajaran biologimu pasti buruk," cibir Rayyan dengan senyum yang tertahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chyntia R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Mau bagaimana lagi
Aura tidak bisa menerima jika ternyata Rayyan sudah menikahinya ketika dia sedang tidak sadarkan diri. Namun kenyataannya memang begitu, pria itu sudah menjadi suaminya. Aura tidak tau harus bersedih atau menjerit sekarang. Yang jelas, diantara pilihan-pilihan itu tidak ada rasa bahagia terselip disana.
Aura memilih diam. Ini lebih baik ketimbang dia harus berdebat dengan kedua orangtua yang sejatinya sudah merestui pernikahan dadakan tersebut.
"Kamu tau, gak, Mama sama Papa dulu nikahnya juga dadakan."
Aura menghela nafas panjang, seolah ucapan Mamanya itu hanya untuk menenangkannya saja.
"Lucu deh dulu, Mama sama Papa malah disangka lagi me sum. Padahal itu cuma prasangka warga aja karena Papa kamu cuma numpang ganti baju pas abis kehujanan, emang seharusnya Mama gak kasih papa kamu masuk rumah ya waktu itu."
Mama Yara terus saja berbicara sambil membayangkan momen lamanya, pasalnya kini mereka memang hanya tinggal berdua dalam ruangan itu, sebab Papa Sky dan Rayyan keluar untuk mengisi perut.
"... itu yang namanya jodoh, Ra. Begitu juga dengan kamu dan Rayyan. Kamu gagal menikah sama Jeno mungkin karena kamu emang jodohnya Rayyan."
"Tapi, Ma ..." Aura mulai mengeluarkan suaranya, hendak protes tapi sang Mama kembali berujar lembut.
"Coba deh kamu lihat, Rayyan itu tampan, lho."
Kali ini Aura melengos, dia membuang pandangan ke arah langit-langit kamar. Pujian Mamanya terhadap Rayyan terdengar berlebihan di telinganya.
"Iya, gak?" Rupanya Mama Yara menagih jawaban dari Aura.
"Tauk!" Aura bersungut-sungut. "Kalau Mama rasa dia tampan, kenapa gak sama Mama aja?" kesalnya.
Mama Yara langsung terkekeh. "Ntar Papa kamu gimana? Mama cuma bilang kalau Rayyan itu tampan, bukan berarti Mama mau sama dia. Lagipula, Mama juga udah tua. Rayyan itu cocoknya jadi anak Mama." Mama Yara terkekeh lalu seperti mengingat sesuatu. "Eh, iya, udah jadi anak Mama dong ya, kan udah jadi suami kamu sekarang," jelasnya mengingatkan Aura.
Aura langsung memajukan bibirnya beberapa sentimeter. Kesal sekali kalau kembali mengungkit hal itu. Tapi mau bagaimana lagi, semua sudah terlanjur, mau dia berakting dramatis pun rasanya percuma saja. Toh, kepalanya masih terikat perban saja kedua orangtuanya tetap menikahkannya dengan pria itu.
"Mama sama Papa yang dulu menikah instan, akhirnya hidup bersama sampai sekarang. Punya anak 3 lagi," Mama Yara kembali menceritakan pengalamannya di masa lalu kepada sang putri. "Kamu sama Rayyan juga pasti bisa begitu," ujarnya.
"Beda dong, Ma!" bantah Aura langsung. "Mama sama Papa itu saling cinta. Gak kayak Aura sama dia," paparnya.
"Rayyan cinta kok sama kamu."
Aura tersenyum getir. "Cinta? Cinta apaan maksud Mama?" tanyanya tak paham.
"Kalau gak percaya kamu tanya aja langsung sama Rayyan."
"Ya ampun, Ma. PR banget nanya sama dia," kata Aura kembali bersungut-sungut.
Ya kali, aku menanyakan hal itu sama dia. Apa kamu mencintaiku? Sejak kapan? Begitu? Mana mau aku melakukan hal remeh-temeh soal perasaan seperti itu, apalagi menanyakannya pada lelaki itu? Ih, tidak akan! Bisa kepedean dia nanti.
Aura membatin kemudian bergidik akan pemikirannya sendiri.
"Dia itu punya nama, namanya Rayyan. Jangan biasakan bilang dia, dia, dia." Mama Yara malah berujar sambil bernyanyi, menyadarkan Aura dari pemikirannya tadi.
"Udah tau," kata Aura memutar bola matanya.
Sekarang Mama Yara terkekeh melihat gelagat putrinya.
Sementara dilain tempat, tepatnya di cafetaria Rumah Sakit. Papa Sky dan Rayyan sedang menikmati sarapan dan kopi hangat mereka. Diluar memang sedang turun salju, sehingga suhu dan udaranya memang terasa sangat dingin.
"Gimana kerjaan kamu? Udah dibereskan sebelum terbang kesini?"
"Syukurnya sudah, Pak," jawab Rayyan pada Ayah kandung Aura yang menanyainya itu.
"Kok, Pak? Papa ..." Papa Sky menekankan.
Rayyan terkekeh sekilas. "Iya, Pa," ujarnya patuh.
"Nah, begitu." Papa Sky menepuk pundak Rayyan dengan akrab. Bagaimanapun, pemuda ini sudah menjadi menantunya. Dia harus menerima terlepas dari kesalahan yang Rayyan perbuat pada Aura. Lagipula, Rayyan benar-benar beritikad baik dengan menikahi Aura terlepas dari semua runtutan masalah yang terjadi kepada putrinya itu.
Mereka berbincang akrab, sampai akhirnya Rayyan membahas kembali soal kejadian di malam itu.
Sebelumnya, Rayyan memang tidak pernah untuk kembali mengungkit hal ini pada Ayah Aura, meski beberapa kali mereka bertemu dan sempat melakukan perjalanan bersama dari Indonesia ke Jerman.
Rayyan juga tak pernah menceritakan soal pengeroyokan Jeno terhadapnya. Baginya, itu adalah masalah dia dan Jeno, Rayyan tak mau menyangkut-pautkan dengan keluarga Aura.
Akan tetapi, terkait kejadian malam itu memang seharusnya dibahas kembali karena permasalahan itu masih terasa mengganjal dihati Rayyan sebab belum menemukan siapa dalang dibalik penjebakan tersebut.
"Jadi, malam itu kamu sempat membelikan obat untuk seorang tamu?"
Rayyan mengangguk, mengiyakan.
"Patut dicurigai itu! Kenapa kamu gak bilang sama Papa soal ini sebelumnya?"
"Maaf, Pa. Saya udah mencoba menyampaikan hal ini pada Aura sebelum Aura berangkat ke Jerman waktu itu. Saya kira Aura akan menceritakannya pada Papa."
Papa Sky menggeleng. "Aura tidak menceritakan hal ini," katanya. "Papa rasa dia benar-benar mau mencoba melupakan kejadian malam itu makanya dia tidak mau mengungkitnya lagi."
"Ya, mungkin memang begitu, Pa. Maaf seharusnya saya bukan menceritakannya pada Aura melainkan pada Papa langsung agar segera menemukan titik terang mengenai kejadian malam itu."
"Kamu tetap mau mencari tahu hal itu?" Papa Sky menatap Rayyan serius. "Maksud Papa, sekarang kamu dan Aura sudah menikah, apa kamu masih mau mencari dalangnya? Papa pikir kamu juga akan seperti Aura yang mencoba melupakan hal itu sebab masa depan kalian jauh lebih baik, ketimbang kembali mengungkit malam nahas itu."
"Saya tau, Pa. Saya juga mendukung Aura untuk melupakan malam itu karena mungkin itu akan menjadi memori kelam bagi Aura. Tapi, saya tetap ingin mencari tau siapa dalangnya yang menjebak saya dan Aura. Karena saya perlu itu untuk membuat Aura yakin bahwa bukan saya yang sengaja menjebaknya."
"Meskipun kami semua sudah percaya bahwa kamu juga korban?"
Rayyan mengangguk. "Jika semua sudah merasa itu tak penting lagi, tapi bagi saya itu tetap harus diselidiki. Saya tetap mau mencari siapa pelakunya, Pa."
Papa Sky memahami rasa ingin tahu Rayyan terkait hal ini. Sejatinya diapun sama penasarannya, siapa yang dengan berani menjebak keduanya. Apalagi ini membuat Aura kehilangan hal yang paling berharga. Ya, meski sekarang Rayyan dan Aura sudah menikah dan membuat hati Papa Sky cukup lega, tapi tindakan seseorang yang menjebak Aura dan Rayyan malam itu memang perlu ditindaklanjuti kembali.
"Bukan berarti setelah saya dan Aura menikah dalangnya tidak perlu dicari tau, Pa. Justru saya memerlukan bukti agar nama saya tetap baik didepan keluarga Papa terutama didepan Aura, istri saya."
"Baiklah, kita akan mencaritahunya lagi dan berdasarkan keterangan kamu bahwa malam itu ada seorang gadis yang meminta kamu pergi ke apotek, maka langkah awalnya kita harus menemukan gadis itu."
Rayyan setuju dengan usul mertuanya. Dia mulai menceritakan ciri-ciri fisik gadis tersebut. Dia juga mengatakan warna baju gadis itu.
"Apa yang akan kamu lakukan jika menemukan gadis itu lagi?"
"Entahlah, mungkin saya akan langsung menanyakannya," kata Rayyan tampak ragu.
Papa Sky terkekeh. "Orang yang licik biasanya akan sulit untuk mengakui perbuatannya," ujarnya penuh keyakinan.
Rayyan ikut tertawa sebab ucapan mertuanya memang ada benarnya.
"Papa serahkan semua ini sama kamu, Rayyan. Cari tau dan gunakan caramu sendiri untuk mendapatkan jejak dari kejadian itu. Sekarang Aura juga sudah menjadi istrimu, Papa harap kamu bisa untuk menjaganya termasuk dari orang yang menjebaknya malam itu."
...Bersambung ......