BIARKAN AKU JATUH CINTA
Ig @authormenia
Akbar diundang ke SMA dan bertemu dengan Ami yang muda dan cantik. Hatinya terasa kembali pada masa dia masih muda, bagaikan air dingin yang dituangkan air mendidih. Dia menemukan jiwa yang muda dan menarik, sehingga dia terjerumus dalam cinta yang melonjak.
Akbar menjalin hubungan cinta dengan Ami yang berumur belasan tahun.
Bagaimana hubungan dengan perbedaan usia 16 tahun akan berkembang?
Bagaimana seorang gadis yang memutuskan untuk menikah muda harus berjuang untuk mendapatkan persetujuan dari keluarganya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Balonku Ada Lima
"Akbar, Ibu tinggal dulu ya mau ganti baju. Ami, buatin minum buat Kak Akbar!" Dua kalimat secara berurutan disampaikan Ibu Sekar kepada sang tamu yang baru duduk dan kepada anak bungsunya yang masih berdiri di ambang pintu.
"Iya, Bu." Ami dan Akbar kompak menjawab. Spontan saling pandang saat Ibu Sekar berlalu menuju kamar. Sama-sama terkekeh. Dan wajah Ami nampak merona malu.
Ami duduk berhadapan dan bertanya, "Kak, mau minum apa?"
"Mau teh yang waktu itu Ami bilang langka di Ciamis." Akbar tersenyum mesem. Pelan-pelan akan memulai serangan balik.
"Teh apa ya? Aku lupa." Ami mengetuk-ngetuk pelipis dengan telunjuknya. Tidak benar-benar lupa. Malah sengaja memancing, ingin mendengar jawaban Akbar.
Akbar berpindah duduk di single sofa sehingga jaraknya lebih dekat dengan Ami. Ia menatap dengan lembut dan berucap dengan suara pelan, "Tehlanjur jatuh cinta padamu."
"Ahahaha, Kak Akbar nggak kreatif. Itu kan gombalan aku. Dilarang copas." Ami nampak puas mentertawakan.
Akbar menggaruk-garuk tengkuk yang tidak gatal. Di luar ekspektasi. Dikira Ami akan salah tingkah. Kadang sikap gadis itu tidak bisa ditebak.
"Itu bukan gombalan, Mi. Itu serius." Akbar tersenyum meringis sambil menatap wajah Ami yang cerah ceria. Belum waktunya diutarakan . Biar monolog dalam hati saja dulu.
"Jadi mau minum apa nih, Kak?" tanya Ami yang sudah berhenti tertawa. Menatap serius.
"Terserah Ami aja deh," sahut Akbar memilih pasrah.
"Gimana kalau aku buatin minuman. Es jeruk Ketapang mau gak, Kak? Cocok sama cuaca nih." Ami pun berdiri dengan semangat. Bersiap pergi ke dapur.
"Wah, baru dengar. Bedanya sama es jeruk biasa apa, Mi?" Akbar menatap dengan sorot penasaran.
"Jelas beda. Es jeruk Ketapang mah minuman spesial. Karena Ketapang itu kedipan dan tatapanmu bikin aku sayang. Eee...aaa." Ami terkikik dan segera berlari pergi dari ruang tamu.
Akbar tertawa lepas seorang diri. Hasrat hati ingin sekali mengejar Ami yang berlari ke arah dapur karena ingin menjitak gemas. Namun tahu diri, ia hanya tamu di rumah itu. Bahkan tak lama kemudian Ibu Sekar datang menghampirinya bersama Aul. Beruntung pas sudah berhenti tertawa.
"Kak Akbar makasih ya udah nganterin Ibu pulang. Jadi direpotin deh." Ucap Aul diiringi senyum tulus.
"Santai aja, Aul. Kan sama-sama searah." Akbar beralasan. Ia beralih menatap kedatangan Ami yang membawa nampan berisi segelas tinggi es jeruk.
"Silakan diminum, Kak." Ami tersenyum ramah menatap Akbar. Ia duduk di single sofa.
"Makasih, Ami." Akbar mengangguk dan tersenyum.
"Akbar mau pulang ke Jakarta lagi kapan?" Tanya Ibu Sekar.
"Besok setelah Duhur, Bu." Tentu saja tidak bisa berlama-lama tinggal di hotelnya di Tasik karena senin memiliki agenda kerja yang padat di Jakarta.
"Kalau Akbar tidak keberatan, besok makan siang dulu di sini sebelum pulang. Sebagai ucapan terima kasih Ibu udah diantar pulang, ditraktir makan. Gimana bisa?" Pinta Ibu Sekar dengan penuh kesungguhan.
"Aduh Ibu kenapa juga harus dibalas. Padahal Akbar ikhlas kok. Soal besok, hmm gimana ya?" Akbar seolah berpikir menimang-nimang. Padahal dalam hati senang bakalan bisa bertemu Ami lagi. Namun ia harus menjaga wibawa. Tidak boleh langsung semangat mengiyakan.
"Nggak suka ya sama menu disini? Memang menu di hotel nak Akbar beda dengan disini dan lebih enak, karena buatan chef." Ibu Sekar tersenyum simpul.
"Oh, bukan. Bukan begitu, Bu. Menu disini enak-enak dan nagih. Akbar tadinya sungkan karena bakalan makan gratis lagi. Tapi iya deh mau. Besok makan siang disini." Ucap Akbar pada akhirnya. Ia tidak mau Ibu Sekar salah paham.
Usai berbincang santai hingga hampir satu jam lamanya dengan tiga orang wanita beda generasi itu, Akbar berpamitan. Tidak ada alasan kuat untuknya tetap tinggal lama-lama. Ibu Sekar tentu butuh istirahat. Tidak ada pula alasan masuk akal untuk bermalam mingguan di rumah itu untuk sekarang ini. Tidak mengapa. Masih ada gantinya besok siang bertemu lagi dengan Ami.
***
Panji mematut diri di depan cermin. Memperhatikan hasil akhir penampilannya sebelum keluar kamar. Bersiap pergi malam mingguan ke rumah Aul. Ia berkacak pinggang dan tersenyum sendiri menatap pantulan wajahnya. Gadis pujaannya itu tidak mau diajak jalan-jalan malam mingguan ke luar. Cukup apel ke rumah saja.
"Nanti aja pacarannya kalau udah nikah. Biar bebas dan hati tenang."
Itulah alasan Aul yang membuat Panji ingin segera menghalalkan sang pujaan hati. Sudah tidak sabar bisa memiliki si jinak-jinak merpati itu.
Panji memarkirkan mobilnya di bahu jalan depan rumah Ibu Sekar. Ia melihat ada Ami di luar pagar sedang berbicara dengan dua orang yang berboncengan di motor.
"Teh Aul ada, Mi?" Tanya Panji usai yang berboncengan itu melajukan motor.
"Ada, Kak. Ayo masuk." Ami melangkah lebih dulu. "Duduk dulu ya, Kak. Aku panggilin dulu Teh Aul nya."
Panji menurut. Ia sudah tidak sungkan keluar masuk rumah itu sejak statusnya sebagai sahabat Aul. Penerimaan tuan rumah yang baik dan humble, menyenangkan siapapun yang bertamu. Ia sengaja menghampiri Ibu Sekar yang terlihat berada di ruang tengah sedang menonton tv.
"Panji mau makan? Ada gurame asam manis sama sop." Ibu Sekar menatap Panji yang duduk satu sofa dengannya.
"Sebelum kesini udah makan dulu. Lain waktu aja, Bu." Sahut Panji sambil mengusap-usap perutnya.
Ami masuk ke dalam kamar Aul usai mengetuk pintu. Nampak sang kakak sedang merapihkan jilbab di depan cermin. "Teh, tuh ada Shahrukh Khan." Ia pun menjatuhkan tubuh di kasur empuk sambil memeluk guling.
"Kak Panji ya?" Aul menatap Ami dari pantulan cermin untuk meyakinkan lagi ucapan sang adik.
"Euh, kudu bae nyebut Ayang Pinokio, baru yakin." Sahut Ami meledek. Menatap Aul yang sudah tampil cantik dan rapih.
Aul hanya menanggapi dengan memanyunkan bibirnya. "Gimana, Mi. Udah oke belum?" Ia meminta penilaian penampilan kepada sang adik.
"Teko antik buatan Cina. Teteh udah cantik bikin Kak Panji terpesona." Ami mengedipkan sebelah mata. Menyatukan kedua tangan membentuk simbol hati.
Aul memasang wajah tersipu malu. Ia bersiap keluar kamar.
"Malam minggu aku sama siapa ya? Jadi pengen punya ayang." Ami menatap plafon kamar dengan tatapan menerawang.
Keluhan Ami membuat Aul memutar badan menatap Ami. "Belum waktunya punya ayang. Fokus sekolah!" tegasnya. Tanpa menunggu jawaban sang adik, segera membuka pintu kamar.
"Iya deh iya. Gak akan pacaran mending gombalin Panda aja lah. Lagi apa ya dia sekarang? Apa mungkin lagi apel juga? Eh tapi katanya jomblo. Orang sekeren gitu kenapa gak punya ayang ya? Kan Marimar jadi kepo." Ami berbicara sendiri sambil memeluk erat bantal guling. Tak lama langsung bangun sekaligus. Ia keluar kamar dan melangkah cepat menaiki tangga. Mau mojok di kamar.
Di ruang tamu, Aul duduk satu sofa dengan Panji. Dua gelas coklat panas baru saja ia sajikan di meja bersama sepiring kue pastry.
"Yang, gimana kalau malam besok dinner keluarga? Mumpung semua sedang ngumpul. Soalnya seninnya aku mau ke Jakarta, urusan pekerjaan." Panji menatap lembut wajah cantik Aul yang memakai pasmina dusty pink.
Aul mengangguk. "Aku ngikut ide Kak Panji aja. Tempatnya mau dimana?"
"Di hotelnya Mas Akbar aja. Udah pernah belum makan disana?" Tanya Panji.
"Belum pernah. Pernah kesana tuh waktu teman SMA nikah dua bulan yang lalu. Bagus ya ballroomnya. Ditambah dekorasinya waktu itu full bunga jadi nambah mewah." Aul membuka ponselnya. Memperlihatkan foto saat menghadiri sebuah pernikahan.
"Ini background bunga jadi indah tuh karena yang difotonya cantik banget."
"Bisa aja." Aul dengan wajah tersipu, memukul lengan Panji dengan bantal sofa.
Membuat Panji terkekeh mendapat pukulan manja itu. "Gimana kalau kita nikah disana aja, Yang? Nanti aku nego Mas Akbar minta diskon," ujarnya dengan wajah penuh senyum.
Sejenak Aul diam berpikir. "Kalau menurut aku sebaiknya kita minta pendapat orang tua juga. Apa untuk keluarga besar gak kejauhan kalau lokasi di Tasik."
"Besok ya, Yang. Sekalian dinner kita bahas acara engagement and wedding. Huft, jadi aku yang nggak sabar pengen segera halal." Panji berkata sejujurnya dengan ekspresi gemas.
"Sabar." Aul terkekeh. Ia mengulurkan gelas minuman coklat untuk Panji yang sudah pas untuk diseruput. Obrolan santai penuh canda tawa terus berlangsung.
Di kamarnya, Ami ragu untuk mengirim pesan atau tidak kepada Akbar. Ditambah bingung memikirkan basa basi apa agar terkesan natural. Sudah berada di room chatnya Panda, namun dua jempolnya malah bergoyang-goyang saja tanpa menyentuh keyboard.
***
Akbar menikmati malam mingguan ditemani Tommy di Coffee Shop hotelnya. Padahal ia tidak meminta didampingi karena tidak sedang kunjungan kerja. Sedang santai urusan keluarga, begitu alasan yang dibuatnya kepada sang GM.
Setiap malam minggu akan ada sajian live musik untuk menghibur pengunjung Coffee Shop yang kebanyakan hadir membawa pasangan. Akbar melihat sekilas tamu yang masuk hampir memenuhi semua meja
"Tom, tiap malam minggu ramai gini?" Akbar menyeruput capucino miliknya. Hanya dalam angan bisa mengajak Ami ke sini. Butuh waktu. Baru mau memulai pendekatan.
"Iya, Pak. Band musik Axel jadi salah satu daya tarik pengunjung juga. Banyak fans nya." Jelas Tommy.
Akbar manggut-manggut. "Dikontrak berapa lama?"
"Dua tahun, Pak. On going setahun."
Akbar menyaksikan aksi vokalis yang turun menyapa tiap meja dan mengajak bernyanyi bersama. Tercipta suasana hangat dan . Fokus menikmati lagu teralihkan oleh adanya notif pesan. Ia membukanya tapi lebih dulu pesan masuk itu dihapus lagi. Senyum samar terbit di bibirnya.
Akbar : [Kenapa dihapus, Mi?]
Ami : [Maaf Kak, salah kirim 🤭]
Akbar : [Ami lagi apa?]
Ami: [Lagi menatap langit dari jendela kamar. Kata orang, beribu-ribu bintang di langit, hanya satu yang bercahaya]
Ami : [Eh, ternyata malam ini gak ada bintang. Aku malah liat balon ada lima]
Akbar menahan senyum. Ia harus menjaga wibawa di hadapan Tommy. Ia penasaran apa kelanjutan chat Ami.
Akbar: [Balon punya siapa ya?🤔]
Ami : [Gak tau, Kak. Eh tau nggak, bedanya 5 balon itu sama Kak Akbar?]
Akbar membalas cepat. Ia menjadi ketagihan mendapat gombalan Ami. [Gak tau. Emang apa?]
Ami: [Kalau balonku ada 5 rupa-rupa warnanya. Kalau Kak Akbar ada satu, rupawan wajahnya 😁🤪]
Akbar bergegas bangkit dari duduknya. Pamit pada Tommy akan kembali ke kamarnya. Pamit mendadak yang mengagetkan sang GM yang sedang menikmati live musik.
Akbar mengirimkan pesan begitu masuk ke dalam lift. [Mi, 5 menit lagi vc ya!]