Wang Lu adalah juara satu perekrutan Paviliun Longtian, mengalami kerusakan pondasi internal dan berakhir sebagai murid tak berguna.
Tak ada yang mau jadi gurunya kecuali… Wang Wu.
Cantik!
Tapi tak bisa diandalkan.
“Bagaimanapun muridku lumayan tampan, sungguh disayangkan kalau sampai jatuh ke tangan gadis lain!” ~𝙒𝙖𝙣𝙜 𝙒𝙪
“Pak Tua! Tolonglah! Aku tak mau jadi muridnya!” ~𝙒𝙖𝙣𝙜 𝙇𝙪
“Tak mau jadi muridnya, lalu siapa yang mau jadi gurumu?”~
Murid tak berguna, guru tak kompeten… mungkinkah hanya akan berakhir sebagai lelucon sekte?
Ikuti kisahnya hanya di: 𝗡𝗼𝘃𝗲𝗹𝘁𝗼𝗼𝗻/𝗠𝗮𝗻𝗴𝗮𝘁𝗼𝗼𝗻
______________________________________________
CAUTION: KARYA INI MURNI HASIL PEMIKIRAN PRIBADI AUTHOR. BUKAN HASIL TERJEMAHAN, APALAGI HASIL PLAGIAT. HARAP BIJAK DALAM BERKOMENTAR!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jibril Ibrahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 7
“Bocah Long—dia…” Wang Lu tergagap-gagap. Ketua? pikirnya dengan syok.
“Lancang!” hardik Penatua Agung sembari memelototinya. “Berlutut!”
Wang Lu spontan menjatuhkan dirinya dan melemas. Kemudian menautkan kedua tangannya di depan wajah, memberikan salam soja, “Ketua…” gumamnya dengan suara tercekat.
Long Ziling meliriknya dengan sorot geli, “Gòule! katanya seraya tersenyum tipis. “Bangunlah!”
Wang Lu memutar bola matanya ke atas, menatap Penatua Agung dengan isyarat mengejek.
Pria tua itu memelototinya sembari menggertakkan gigi.
“Mari!” Long Ziling melayangkan telapak tangannya ke arah meja teh di beranda pondoknya dengan gerakan elegan, mempersilahkan Penatua Agung untuk kembali ke tempat duduknya.
Sementara para petinggi itu berbincang-bincang sambil minum teh, Wang Lu menyisi ke altar batu—panggung rendah berbentuk bulat yang biasa digunakan untuk berlatih, mencoba mempraktikkan sejumlah jurus yang didapatkannya dari manual dalam benaknya.
“Kukira Junior Kelima turun gunung untuk melatih anak itu,” gumam Penatua Agung sambil memperhatikan Wang Lu.
“Melatihnya?” Long Ziling tersenyum miring. “Apa yang bisa diajarkan padanya?”
Penatua Agung mendesah pendek. “Sudah kuduga Junior Kelima juga kehabisan cara,” katanya dengan prihatin. “Hanya saja, tak disangka dia meninggalkan anak itu di sini. Benar-benar merepotkan Ketua!” sesalnya, kemudian menautkan kedua tangannya di depan wajah dan membungkuk pada Long Ziling. “Ini salahku!”
Long Ziling hanya mengibaskan tangannya sekilas. “Bukan salahmu,” katanya tanpa ekspresi. Kemudian menawari Penatua Agung secangkir teh dengan isyarat melayangkan tangan ke arah cangkir di depan Penatua Agung sementara Duanmu Jin menuangkan tehnya.
Penatua Agung mengangkat cangkirnya ke arah Long Ziling sebagai penghormatan, kemudian menyesapnya.
“Dia hanya memanfaatkan sumber daya di sini untuk pemulihannya,” imbuh Long Ziling. “Soal merepotkan, sudah kukatakan tak ada yang bisa diajarkan padanya. Apanya yang merepotkan?”
“Benar!” Penatua Agung menanggapi. “Selain pondasi internalnya telah rusak, dia juga sangat nakal, tak bisa diajari.”
Long Ziling menyembunyikan senyum simpulnya.
Rupanya pemahaman Penatua Agung tidak sejalan dengan pemahamannya!
Long Ziling akhirnya tak mengatakan apa-apa lagi, membiarkan Penatua Agung sibuk sendiri dengan persuasinya.
“Kalau dipikirkan, sungguh disayangkan menghabiskan banyak waktu dan sumber daya,” celoteh Penatua Agung. “Tapi karena Ketua sendiri tidak merasa keberatan, saya juga tidak punya alasan untuk memperhitungkannya.”
Diam-diam Duanmu Jin mengerling ke arah Long Ziling, dan mendapati seulas senyuman samar di sudut bibir anak laki-laki itu.
“Saya hanya tak habis pikir, kenapa Junior Kelima tidak menyerah saja?” Penatua Agung masih sibuk berspekulasi. “Sudah menghabiskan begitu banyak, tetap saja tak ada perubahan!”
Long Ziling dan Duanmu Jin bertukar pandang.
Penatua Agung masih mengeluh, “Demi perawatan anak itu, Junior Kelima sudah menghabiskan semua yang dimilikinya,” katanya. “Sekarang sudah tak punya apa-apa lagi.”
“Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan,” ulas Long Ziling.
Sesingkat itu, dan Penatua Agung langsung terdiam.
Sebuah dentuman di pekarangan mengusik mereka. Ketiganya mengerling serentak ke altar batu dan mendapati altar itu telah meledak.
Apa yang terjadi?
Long Ziling melesat dari tempatnya dan melayang ke arah altar.
Duanmu Jin dan Penatua Agung mengikutinya.
Wang Lu berdiri kebingungan di tengah-tengah retakan di dalam lubang, menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya yang sebenarnya tidak terasa gatal, kemudian mendongak menatap Long Ziling yang melayang di atas kepalanya.
“Sebenarnya apa yang kau lakukan?” Penatua Agung memelototinya.
“Itu…” Wang Lu tak bisa menjawab. Ia melihat alis Long Ziling mengerut.
Sebenarnya bukan ledakan itu yang mengejutkan Long Ziling, tapi lebih kepada apa yang menyebabkannya, dan itu bukan sengatan emosi seperti yang dipikirkan Wang Lu.
Itu adalah ketakjuban!
Samar-samar, Long Ziling melihat berkas cahaya yang telah memburai seperti sisa pelangi yang telah membias. Pola formasi yang sangat langka.
Tujuh Diagram Kerajaan Langit!
Ia pernah mendengar bahwa leluhurnya, pendiri Paviliun Longtian memiliki formula rahasia perangkat jiwa yang dapat menghancurkan energi langit dan bumi, disebut Tujuh Diagram Kerajaan Langit.
Berkat itu, pendiri Paviliun Longtian melejit ke Langit Di Luar Langit dan menempati rasi bintang Dewa Agung.
Tapi itu hanya sebatas legenda yang diceritakan turun-temurun.
Bentuk pola Tujuh Diagram Kerajaan Langit tercatat dalam buku sejarah berikut informasinya, tapi formulanya tak pernah ditemukan.
Tujuh Diagram Kerajaan Langit adalah warisan klan Long yang hilang.
Kenapa Wang Lu bisa memilikinya?
Apa latar belakang anak ini?
Long Ziling tak habis pikir.
“Xiao Long, duìbùqǐ…” sesal Wang Lu dengan raut wajah memelas.
Mendengar Wang Lu memanggil Long Ziling dengan cara tak sopan, Penatua Agung spontan merongos. “Ni—”
“Gòule!” sergah Long Ziling.
Wang Lu menggigit bibirnya menahan tawa. Diam-diam matanya bergulir lagi ke arah Penatua Agung, mengejeknya lagi.
Dasar bocah tengik ini! rutuk Penatua Agung dalam hatinya. Bahkan Ketua tak berdaya, pikirnya.
“Kau keluarlah!” instruksi Long Ziling. Kemudian memulihkan altar itu setelah Wang Lu menyisi, mengembalikan bentuknya lagi seperti semula hanya dengan satu jentikan jari.
Wang Lu terkesiap.
Sementara Long Ziling sudah berbalik, Wang Lu masih ternganga memandangi altar itu.
Penatua Agung memanfaatkan kesempatan itu untuk menoyor kepala Wang Lu. “Bocah Tengik!” desisnya di telinga Wang Lu. “Sekali lagi kau memanggilnya Bocah Long, aku akan merebusmu sampai keriput,” ancamnya. “Kau tahu berapa usianya? Tujuh ratus tahun!”
“Sss—shénme?” pekik Wang Lu tercekat. Tujuh ratus tahun? pikirnya terkejut. Kalau begitu dia… Kakek Buyut Leluhur Kecil!
“Berarti guruku…” Wang Lu menggumam dan menggantung kalimatnya. Jangan-jangan usianya sudah ribuan tahun? katanya dalam hati.
“Apa yang kau pikirkan?” Penatua Agung menggeram sembari menjewer kupingnya. “Gurumu adalah pilar dewa kelima. Usianya baru dua ratus tahun!”
Wah! Nenek Buyut Rubah! pikir Wang Lu geli.
Lalu pak tua ini…? Wang Lu mengerling ke arah Penatua Agung.
“Lihat apa?” Penatua Agung mengencangkan jewerannya.
“A-a-ah! Wǒ cuòle, wǒ cuòle!” Wang Lu menyerah cepat-cepat dan mengaku salah.
Penatua Agung akhirnya melepaskannya, kemudian meninggalkannya sembari misuh-misuh dan bergegas menyusul Long Ziling, kembali ke teras pondok.
Setelah menyelesaikan semua urusannya, Penatua Agung menyeret Wang Lu pulang ke Gunung Luar.
“Bocah Tengik sialan tak beradab!” cerocos Penatua Agung saat terbang melesat sembari menjinjing kerah baju Wang Lu. “Gurumu sudah menghilang sebulan lebih, dan kau malah berleha-leha di Pondok Ketua?! Apa kau tak punya rasa khawatir sedikit pun?”
“Di antara kata tengik, sialan dan tak beradab, minimal hilangkan satu,” komentar Wang Lu sekenanya.
“Bì zuǐ!” hardik Penatua Agung.
Sesampainya di Bukit Mingyue, Penatua Agung melemparkan pemuda itu ke pekarangan pondok gurunya seperti melemparkan kucing.
“Temukan gurumu, atau kau hanya akan menjadi maskot di Paviliun Longtian!” Penatua Agung memperingatkan. Kemudian melesat menuju Serambi Ketua di kaki bukit.
Maskot? pikir Wang Lu. Matanya berkilat-kilat. Sisi dirinya yang jahil merasa tergelitik. “Pak Tua!” teriaknya sembari menangkupkan kedua telapak tangannya di seputar mulut membentuk corong. “Apakah menjadi Maskot Paviliun Longtian bisa memiliki biro sendiri? Gaji tinggi? Makanan enak? Seragam mahal? Cuti tahunan?”
“BÌ ZUǏ!” Penatua Agung menghardiknya lagi. Kali ini menggunakan tenaga dalam.
GLARRR!
Suaranya meninggalkan gema yang menggelegar.
Wang Lu mengkerut sembari membekap kedua telinganya. Tapi lalu cengengesan sembari memandangi punggung pak tua itu.
“Dia ingin membuatku mati kesal,” gerutu Penatua Agung sambil mendarat di pekarangan bawah.
Beberapa saat kemudian, Wang Lu menyusulnya turun dengan berjalan kaki. Dalam hatinya, sebenarnya ia agak terguncang mendengar gurunya sudah hilang lebih dari sebulan.
Apakah terjadi sesuatu?
Ke mana dia pergi?
Tidak adakah orang yang berusaha mencarinya?
Adakah orang yang mengkhawatirkannya?
Wang Lu bertanya-tanya dalam hatinya. Tapi, tidak, pikirnya kemudian.
Tidak seorang pun peduli padanya atau gurunya. Bahkan bisa dikatakan semua orang mungkin akan merasa tenang jika mereka lenyap dari aliran.
“Pak tua itu bahkan tak mengatakan ke mana aku harus mencarinya!” gerutu Wang Lu.
Ke mana aku harus mencarinya?
Siapa yang bisa ditanyai?
Jangan lupa dukungan dari kang Authornya, hingga Wang Lu "susah" sekali untuk sial...
/Determined//Determined//Determined/
😅😅😅
Ingin menggaruk demua rahasia Long Tian ( Wang Lu )...