Dia mendengar kalimat yang menghancurkan hatinya dari balik pintu:
"Dia cuma teman tidur, jangan dibawa serius."
Selama tiga tahun, Karmel Agata percaya cintanya pada Renzi Jayawardhana – bosnya yang jenius dan playboy – adalah kisah nyata. Sampai suatu hari, kebenaran pahit terungkap. Bukan sekadar dikhianati, dia ternyata hanya salah satu dari koleksi wanita Renzi.
Dengan kecerdasan dan dendam membara, Karmel merancang kepergian sempurna.
Tapi Renzi bukan pria yang rela kehilangan.
Ketika Karmel kembali sebagai wanita karir sukses di perusahaan rival, Renzi bersumpah merebutnya kembali. Dengan uang, kekuasaan, dan rahasia-rahasia kelam yang ia simpan, Renzi siap menghancurkan semua yang Karmel bangun.
Sebuah pertarungan mematikan dimulai.
Di papan catur bisnis dan hati, siapa yang akan menang? Mantan sekretaris yang cerdas dan penuh dendam, atau bos jenius yang tak kenal kata "tidak"?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18
Hall 8A Jakarta International Expo bergemuruh oleh suara mesin diesel, desingan alat berat yang dipamerkan, dan riuh rendah percakapan bisnis. Pameran tahunan ini menjadi ajang pertemuan para pelaku industri pertambangan Indonesia. Stan-stan perusahaan multinasional dari Amerika, Jerman, Jepang, dan China berdiri megah, memamerkan teknologi terbaru dalam industri ekstraktif.
Bima dan Karmel berjalan di antara stan-stan tersebut dengan serius. Bima mengenakan kemeja lengan panjang dengan lencana perusahaan di saku, sementara Karmel dalam blazer hitam dan celana tailored, membawa tablet di tangannya.
“Kita butuh ekskavator hidrolik yang lebih efisien untuk lapisan overburden di Site Kalimantan,” jelas Bima sambil berhenti di stan sebuah perusahaan Jerman. “Yang sekarang sudah 8 tahun, fuel consumption-nya tinggi dan downtime-nya mulai mengkhawatirkan.”
Karmel mengangguk, jarinya mengetik catatan di tablet. “Berapa target peningkatan produktivitas yang kita butuhkan?”
“Minimal 30%,” jawab Bima. “Dengan target produksi nikel kita tahun depan, kita harus bisa memindahkan material lebih cepat.” Dia mendekati sebuah ekskavator raksasa berwarna kuning. “Model ini punya sistem hydraulic yang lebih efisien. Bisa menghemat konsumsi solar sampai 20%.”
Karmel mendekat, membaca spesifikasi teknis di plakat. “Tapi harga unit ini setara dengan tiga unit yang kita punya sekarang. ROI-nya berapa tahun?”
“Sekitar 3 tahun berdasarkan kenaikan produktivitas dan penghematan operasional,” Bima menjelaskan sambil mengambil brosur. “Dan ini sudah termasuk garansi dan after-sales service yang komprehensif.”
Mereka berpindah ke stan berikutnya yang memamerkan dump truck otonom. Karmel mengernyitkan dahi. “Teknologi autonomous ini menarik, tapi apakah cocok dengan kondisi lapangan kita? Jaringan dan infrastruktur digital di site masih terbatas.”
Bima tersenyum, mengapresiasi pertimbangan kritis Karmel. “Betul. Mungkin kita bisa mulai dengan sistem semi-autonomous dulu. Fase transisi.”
Tiba-tiba, perhatian mereka teralihkan oleh suara yang keras dan familiar dari sudut hall. Suara itu memotong gemuruh pameran seperti pisau.
Renzi berdiri di depan stan sebuah perusahaan Swedia, wajahnya merah oleh amarah. Di depannya, Pita terlihat seperti anak kecil yang dihukum, menunduk dalam-dalam sambil memegangi sebuah tablet yang gemetar.
“Serius, Pit? Lo nggak ngerti sama sekali? Astaga!” hardik Renzi, jarinya menunjuk-nunjuk layar tablet. “Spesifikasi teknis yang diminta sama yang lo catat beda jauh! Ini bisa bikin kita salah beli alat seharga puluhan miliar!”
“Maaf pak, saya akan perbaiki,” Pita menjawab dengan suara tertahan, matanya sudah berkaca-kaca.
“Lama-lama gue muak kalau dengar kata maaf dari lo!” Renzi membentak lagi, tak peduli bahwa puluhan pasang mata di sekitar mereka mulai melirik.
Karmel menggigit bibirnya. Amarah yang lama dipendam mendidih dalam dadanya. Tanpa berpikir panjang, dia melangkah mendekati kelompok itu, diikuti Bima yang mencoba menahannya.
“Nggak pantes laki-laki bentak-bentak perempuan!” tukas Karmel, suaranya tegas memotong ketegangan.
Renzi memutar tubuhnya perlahan. Matanya yang dingin bertemu dengan Karmel. “Coba inget-inget,” ujarnya dengan nada sarkastik, menunjuk ke arah Pita. “Sekretaris ini siapa yang pilih?!”
Karmel tak goyah. “Aku cuma nyesuain sama selera kamu aja kok,” balasnya santai, tapi ada api di matanya. “Kan kamu selalu suka yang cantik?”
“Yang cantik bukan yang bodoh!” Renzi menyeringai, menghina Pita langsung di hadapannya.
Pita seperti ditampar. Air mata yang ditahannya akhirnya menetes, tapi dia cepat menghapusnya dengan punggung tangan. Fano yang berdiri di samping hanya bisa melihat dengan wajah penuh ketidakberdayaan.
Karmel menarik napas dalam. “Kalau ada yang bodoh di sini, itu yang lebih suka melihat wanita berdasarkan tampilan, bukan kompetensi.” Tatapannya tajam menantang Renzi.
Suasana sekitar menjadi tegang. Beberapa pengunjung pameran mulai berbisik-bisik, mengenali kedua eksekutif dari perusahaan tambang besar tersebut. Bima meletakkan tangan di bahu Karmel, isyarat halus untuk meredakan situasi.
Tapi kerusakan sudah terjadi. Pita terlihat hancur, sementara Renzi justru tersenyum puas melihat reaksi Karmel. Bagi Renzi, ini bukan sekadar soal Pita—ini adalah cara lain untuk menusuk Karmel, untuk mengingatkannya bahwa dia masih punya kuasa, masih bisa menciptakan kekacauan di kehidupan orang-orang yang pernah dekat dengannya.
***
ADEGAN: DALAM MOBIL - PERJALANAN MENUJU KANTOR
Mobil SUV mewah meluncur pelan meninggalkan area Jakarta International Expo, menyusuri jalan tol yang mulai padat oleh kendaraan siang hari. Bima memegang kemudi dengan tenang, sesekali melirik Karmel yang duduk di sampingnya dengan wajah yang masih sedikit keruh.
Suasana dalam mobil terasa berbeda dari antusiasme mereka tadi saat membahas alat-alat tambang. Keheningan yang tergantung di antara mereka terasa berat, dipenuhi oleh pertanyaan yang tak sepenuhnya terjawab.
"Kamu dulu kerja sama Pak Renzi?" tanya Bima akhirnya, suaranya berhati-hati seperti sedang menginjak tanah yang rapuh.
Karmel menatap keluar jendela, mengamati gedung-gedung tinggi yang berlalu. "Iya," jawabnya singkat, nada suaranya datar dan sengaja dibuat tak berwarna.
Bima mengerti isyarat itu—Karmel tidak ingin membahas topik ini. Tapi rasa penasarannya, ditambah dengan keinginan untuk memahami wanita di sampingnya lebih dalam, membuatnya bertanya lagi. "Jadi..."
"Sekretarisnya," Karmel memotong sebelum Bima menyelesaikan kalimatnya. Jawaban itu terdengar seperti kalimat yang sudah sering diulang-ulang, sebuah fakta yang ia ingin kubur dalam-dalam.
"Kenapa resign?" Bima tak bisa menahan diri untuk bertanya lebih lanjut. Dalam pikirannya, setelah melihat langsung bagaimana Renzi memperlakukan Pita tadi, ia membayangkan Karmel pasti mengalami hal yang sama—atau bahkan lebih buruk.
Karmel menarik napas dalam. "Karena malas menghadapi atasan seperti dia," jawabnya dengan kalimat yang terdengar terlalu sederhana untuk sebuah keputusan besar seperti meninggalkan perusahaan sekelas JMG Group.
Bima mengangguk pelan, matanya tetap tertuju pada jalan di depan. Logikanya mengatakan ada yang tidak beres dengan jawaban itu. Karmel bukan tipe orang yang "malas" menghadapi tantangan. Justru, dari yang ia lihat selama bekerja bersamanya, Karmel adalah wanita yang gigih dan pantang menyerah.
Tapi Bima memilih untuk tidak mengejar lebih dalam. Ia melihat bagaimana bahu Karmel sedikit menegang, bagaimana jari-jarinya memainkan ujung scarf yang dikenakannya. Ada luka di sana yang belum sembuh, dan Bima bukan tipe pria yang ingin membuka luka orang lain hanya untuk memuaskan rasa penasarannya sendiri.
"Aku nggak mau bahas soal Pak Renzi lagi, Mas. Bisa kan?" Karmel akhirnya meminta, suaranya lembut tapi penuh ketegasan.
"Oke," Bima segera menanggapi, disusul dengan senyum kecil yang menenangkan. "Sorry ya."
Dia mengalihkan percakapan dengan menyalakan musik instrumental lembut melalui sound system mobil. Lagu-laju piano klasik mengisi keheningan antara mereka, memberikan ruang bagi Karmel untuk bernapas lega.
Tapi dalam hati Bima, pertanyaan-pertanyaan itu tetap berputar. Ia melihat bagaimana Renzi memandang Karmel tadi—bukan seperti mantan bos memandang mantan sekretaris, tapi dengan intensitas yang lebih dalam, lebih personal, lebih... posesif. Dan respon Karmel terhadap Renzi juga bukan respon biasa. Ada sejarah di sana yang lebih kompleks dari sekadar hubungan atasan-bawahan.
Sambil menyetir, Bima berjanji pada dirinya sendiri: apapun yang terjadi di masa lalu Karmel, ia akan melindunginya sekarang. Perusahaan Atmaja mungkin belum sebesar JMG Group, tapi ia akan memastikan Karmel merasa aman dan dihargai di sini—sesuatu yang mungkin tidak ia dapatkan dari Renzi.
Dan untuk Renzi sendiri, Bima mulai menyimpan kewaspadaan. Pria itu bukan sekadar rival bisnis, tapi juga ancaman bagi ketenangan Karmel. Dan Bima tidak akan membiarkan siapa pun mengganggu ketenangan wanita yang perlahan-lahan mulai ia sayangi itu.