Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.
Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.
Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.
Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.
Dan Aira bahkan tidak tahu…
Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18 — Kebenaran yang Hampir Terbongkar
Pagi hari di desa membawa ketenangan yang berbeda, udara yang dingin dan segar, berbanding terbalik dengan ketegangan yang menyelimuti rumah itu. Arvan, setelah tidur nyenyak di tempat tidurnya yang familiar dan dirawat oleh Neneknya, tampak jauh lebih baik. Demamnya hilang, dan energinya kembali.
Aira sibuk membantu Ibunya menyiapkan sarapan di dapur yang kecil, berusaha keras agar Dion tidak sendirian terlalu lama. Sementara itu, Dion Arganata, yang tidak terbiasa hanya duduk diam, memutuskan untuk menjelajahi halaman depan.
Di sana, ia menemukan Arvan sedang bermain dengan sebatang ranting, menganggapnya sebagai pedang.
Dion menghampirinya. Arvan, yang merasa nyaman dengan kehadiran ‘Tuan Dion’ setelah sesi puzzle dan perhatian di mobil, segera tersenyum lebar.
“Tuan Dion! Lihat! Arvan adalah ksatria gagah! Arvan menjaga Mama dan Nenek!” seru Arvan, mengayunkan rantingnya.
Dion duduk di bangku kayu di dekatnya. Ia melihat putranya—pucat karena sakit, tetapi mata yang bersinar itu penuh dengan kehidupan.
“Ksatria gagah,” ulang Dion, senyum kecil yang tulus muncul di bibirnya. “Itu pekerjaan yang mulia. Tapi kenapa hanya Mama dan Nenek yang kau jaga? Bagaimana dengan Ayahmu?”
Arvan menghentikan permainannya. Ia menatap Dion dengan mata polos yang persis sama dengan mata Dion.
“Ayah…” Arvan duduk di sebelah Dion. “Ayah itu… ada di langit, kata Mama.”
Dion merasakan tusukan di dadanya. “Di langit? Maksudmu?”
“Iya. Mama bilang Ayah itu orang baik, jadi dia selalu melihat Arvan dari bintang paling terang. Tapi Mama juga bilang… Ayah sangat sibuk.”
Aira, yang sedang mengintip dari jendela dapur, merasakan kepalanya pusing. Dion dan Arvan terlalu dekat, percakapan mereka terlalu berbahaya.
Dion menatap Arvan dengan hati yang hancur. Aira telah menciptakan cerita yang indah, yang merenggut keberadaannya dan menempatkannya sebagai bintang yang sibuk.
“Lalu, bagaimana kau tahu Ayahmu orang baik?” tanya Dion, suaranya pelan dan penuh emosi.
Arvan mencondongkan tubuhnya ke depan, berbisik seolah itu adalah rahasia besar. “Mama punya foto Ayah. Tapi cuma di dalam kotak rahasia. Mama bilang… Ayahku tampan.”
Dion menahan napas. Tentu saja dia tampan. Itu adalah fotonya.
“Apakah Mamamu sering melihat foto itu?” tanya Dion.
Arvan mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca. “Iya. Mama sering nangis kalau liat foto aku waktu bayi. Mama nangis sambil memeluk foto Ayah. Mama bilang… Ayah sangat mencintai kita.”
Dion tersentak. Mencintai kita. Aira tidak hanya berbohong kepada Dion, tetapi ia juga berbohong kepada putranya tentang cinta yang tak pernah terjadi, tentang pria yang ia anggap pengecut, tetapi ia berikan cinta dalam cerita dongeng putranya.
Kebenaran yang diucapkan oleh Arvan jauh lebih menyakitkan daripada pengakuan Aira. Aira telah menderita, menangis, dan menciptakan ilusi cinta demi putranya.
“Dan lagi,” Arvan melanjutkan, polos. “Mama bilang Ayahku orang baik. Mama bilang Ayah pasti akan kembali kalau dia tahu Arvan sakit. Tapi Ayah nggak pernah kembali.”
Dion merasakan amarah, tetapi amarah itu kini ditujukan pada dirinya sendiri. Dia adalah pria pengecut itu, pria yang sibuk, pria yang tidak pernah kembali.
Dion merangkul Arvan. Itu adalah rangkulan yang dipenuhi penyesalan empat tahun, rangkulan yang dipenuhi janji yang tak terucapkan.
“Ayahmu akan segera datang,” bisik Dion. “Mungkin Ayahmu sudah ada di sini, Arvan. Ayahmu… dia selalu ada untukmu.”
Tiba-tiba, Aira muncul. Ia berlari keluar dari rumah, wajahnya pucat pasi, menatap Dion dan Arvan dengan mata panik.
“Arvan! Sudah selesai bermain,” seru Aira, suaranya memaksa. Ia menghampiri mereka, menarik Arvan dari pelukan Dion.
“Tapi Mama, Tuan Dion sedang bercerita tentang Ayah,” protes Arvan.
Aira mencengkeram lengan Arvan erat-erat. “Tidak, Sayang. Tuan Dion sibuk. Dia tidak boleh diganggu.”
Aira memotong percakapan itu, menarik Arvan ke dalam rumah. Ia tidak melihat Dion, ia hanya tahu ia harus segera menyelamatkan putranya dari kebenaran yang kejam.
Aira meninggalkan Arvan di kamar bersama Neneknya dan bergegas kembali ke teras. Dion masih duduk di bangku kayu, matanya mengawasi Aira.
Wajah Dion kini dipenuhi kekecewaan yang mendalam, bukan lagi amarah.
“Kau menciptakan dongeng yang menyedihkan,” kata Dion, suaranya tenang, tetapi setiap kata terasa seperti es. “Kau membuat dirimu menjadi martir, Aira. Kau menciptakan ilusi seorang Ayah yang baik, yang mencintai, tetapi tidak bisa hadir. Kau membuatku menjadi pengecut, bahkan dalam cerita yang kau ciptakan.”
Aira tidak bisa berbohong lagi. Semua pertahanannya runtuh.
“Saya melakukannya untuk Arvan!” seru Aira, air matanya tumpah. “Saya tidak ingin dia tahu bahwa Ayahnya adalah seorang tiran tanpa hati yang membayar Ibunya dengan uang! Saya tidak ingin dia tumbuh dengan kebencian! Saya ingin dia tahu bahwa dia dicintai!”
“Dan kau pikir aku tidak mencintainya?” Dion bangkit. “Aku melihat mataku di matanya. Aku melihat diriku di dalam dirinya. Dan kau merampas hakku untuk mencintainya, karena kau pikir kau tahu apa yang terbaik!”
Dion melangkah mendekat, matanya menembus jiwa Aira. “Arvan bilang kau menangis saat melihat foto waktu bayinya. Dan kau bilang Ayah sangat mencintai kalian. Itu berarti kau… kau mencintaiku juga, Aira. Kau mencintaiku saat malam itu. Itulah yang membuatmu menyimpan foto itu, itulah yang membuatmu menciptakan dongeng itu.”
Aira menggeleng, putus asa. “Tidak! Itu penyesalan! Itu penyesalan karena memilih pria yang salah!”
“Penyesalan?” Dion mencengkeram tangan Aira. “Penyesalan tidak menciptakan cinta yang kau ceritakan kepada putramu, Aira. Penyesalan tidak membuatmu menyimpan foto pria yang kau benci!”
Ketegangan di antara mereka meningkat hingga mencapai titik puncak. Mereka terlalu dekat, emosi mereka terlalu terbuka.
Tiba-tiba, Nyonya Siti muncul di ambang pintu, membawa dua cangkir teh.
“Nak Aira, Tuan Dion. Kenapa kalian berdiri di luar? Masuk. Kalian bertengkar?” tanya Nyonya Siti, matanya curiga.
Dion dan Aira segera melepaskan genggaman. Mereka mundur beberapa langkah.
“Tidak, Bu,” kata Dion, dengan senyum yang dipaksakan. “Kami hanya sedang… membahas jadwal perjalanan Aira yang melelahkan. Kami punya banyak hal untuk diselesaikan di kota.”
Nyonya Siti menyerahkan teh kepada mereka. “Ya, pekerjaan memang menyiksa. Tapi jangan lupakan istirahat. Kesehatan anak itu penting.”
Nyonya Siti kembali masuk.
Aira menatap Dion, matanya memohon. “Tolong, Dion. Jangan katakan apa-apa. Jangan hancurkan Ibuku. Jangan hancurkan Arvan.”
Dion menyesap tehnya, matanya yang dingin menatap Aira. “Permintaanmu terlambat, Aira. Kau sudah menghancurkan semuanya empat tahun lalu. Sekarang, aku hanya akan menyusun kembali kepingan-kepingan itu, dengan caraku sendiri.”
Dion tahu, percakapan polos Arvan telah memberikan semua amunisi yang ia butuhkan. Ia tahu kisah cinta yang diciptakan Aira. Ia tahu di mana Arvan lahir. Ia tahu semuanya.
semoga cepet up lagi