"Satu detik di sini adalah satu tahun di dunia nyata. Beranikah kamu pulang saat semua orang sudah melupakan namamu?"
Bram tidak pernah menyangka bahwa tugas penyelamatan di koordinat terlarang akan menjadi penjara abadi baginya. Di Alas Mayit, kompas tidak lagi menunjuk utara, melainkan menunjuk pada dosa-dosa yang disembunyikan setiap manusia.
Setiap langkah adalah pertaruhan nyawa, dan setiap napas adalah sesajen bagi penghuni hutan yang lapar. Bram harus memilih: membusuk menjadi bagian dari tanah terkutuk ini, atau menukar ingatan masa kecilnya demi satu jalan keluar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Awph, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Bisikan dari balik kain kafan
Di tengah kegelapan itu, sebuah tangan kecil yang sangat lembut memegang pipi Baskara dan membisikkan kata-kata dalam bahasa yang sangat ia rindukan. Suara itu begitu jernih namun mengandung getaran kesedihan yang mampu menembus lapisan pelindung mental yang selama ini Baskara bangun dengan sangat kuat.
Rasa perih dari ribuan jarum yang menusuk kulitnya mendadak sirna digantikan oleh hawa sejuk yang menyelimuti seluruh permukaan tubuhnya yang penuh luka. Baskara mencoba membuka matanya namun kegelapan di dasar sumur ini seolah memiliki massa yang sangat berat hingga kelopaknya terasa sulit untuk diangkat.
Tangan lembut itu menuntun kepala Baskara untuk bersandar pada sesuatu yang terasa seperti pangkuan seorang ibu yang sudah sangat lama tidak ia jumpai. Aroma melati segar mulai menggantikan bau belerang yang tadi sempat menyesakkan paru-paru pemuda malang tersebut secara terus-menerus.
"Ibu? Apakah itu benar-benar engkau yang datang untuk menjemputku dari neraka ini?" tanya Baskara dengan suara yang terputus-putus.
Sosok itu tidak menjawab melainkan hanya mengelus kening Baskara sambil memberikan sebuah benda kecil yang terasa sangat dingin ke dalam genggaman tangannya. Baskara merasakan benda itu berbentuk seperti sebuah koin kuno yang memiliki lubang di bagian tengahnya serta ukiran yang sangat kasar.
"Simpanlah benda ini sebagai penukar nyawamu saat kamu sampai di pasar jiwa nanti," bisik suara itu dengan nada yang sangat halus.
Baskara akhirnya berhasil membuka matanya dan ia sangat terkejut melihat sosok yang ada di depannya bukanlah ibunya melainkan seorang gadis kecil tanpa mata. Gadis itu mengenakan gaun putih yang sudah sangat kotor oleh lumpur dan darah kering yang menempel pada lipatan kainnya secara berulang-ulang.
Darah hitam terus mengalir dari lubang matanya yang kosong dan jatuh membasahi telapak tangan Baskara yang sedang memegang koin kuno tersebut. Baskara tersentak dan mencoba menarik dirinya mundur namun tumpukan kain kafan di bawahnya mendadak bergerak melilit kakinya dengan sangat kencang.
"Siapa kamu sebenarnya? Kenapa kamu memiliki suara yang sangat mirip dengan ibuku?" teriak Baskara sambil meraba-raba mencari belati peraknya yang hilang.
Gadis kecil itu hanya tersenyum lebar hingga memperlihatkan deretan gigi yang semuanya telah dicabut secara paksa hingga gusi merahnya terlihat jelas. Ia menunjuk ke arah atas di mana mulut sumur tempat Baskara jatuh tadi kini sudah tertutup oleh ribuan akar pohon beringin yang sangat tebal.
"Aku adalah ingatan yang dibuang, dan ibumu adalah bagian dari sejarah yang ingin dilupakan oleh hutan ini," jawab gadis kecil itu sambil tertawa melengking.
Suara tawa itu memicu pergerakan pada tumpukan kain kafan yang kini mulai berubah menjadi ribuan tangan manusia yang sedang kelaparan dan kehausan. Tangan-tangan pucat itu meraba-raba tubuh Baskara dan mencoba masuk ke dalam saku seragamnya untuk mencari kunci perak yang tersimpan di sana.
Baskara menepis tangan-tangan tersebut dengan penuh kemuakan namun jumlah mereka terlalu banyak hingga ia mulai kewalahan menghadapi serbuan dari segala arah. Ia merasakan sebuah tangan besar mulai mencengkeram lehernya dan mencoba menyeretnya masuk ke dalam tumpukan kain kafan yang lebih dalam.
"Jangan ambil kunci ini! Aku harus menyelamatkan ayahku dari istana kristal hitam itu!" bentak Baskara sambil menghantamkan sikutnya ke arah tangan yang mencengkeramnya.
Tiba-tiba, koin kuno di tangan Baskara bercahaya biru redup dan mengeluarkan suara denting yang sangat nyaring hingga membuat tangan-tangan itu mundur dengan ketakutan. Gadis kecil tanpa mata itu merangkak mundur ke sudut ruangan gelap sambil menutupi telinganya yang mulai mengeluarkan cairan bening secara terus-menerus.
Baskara menggunakan kesempatan itu untuk berdiri dan mencari jalan keluar dari ruangan bawah tanah yang sangat menyesakkan tersebut dengan penuh kewaspadaan. Ia melihat sebuah lubang kecil di balik tumpukan tulang yang memancarkan cahaya hijau pucat dan mengeluarkan suara aliran air yang cukup deras.
Ia merangkak masuk ke dalam lubang itu dan mendapati dirinya berada di pinggiran sungai bawah tanah yang airnya berwarna hitam pekat seperti tinta. Di permukaan air tersebut, terlihat ribuan potongan kertas yang berisi nama-nama manusia yang telah menjadi korban keganasan Alas Mayit sejak jaman dahulu kala.
"Sungai ini adalah aliran darah dari mereka yang jiwanya telah dijual oleh keluarga sendiri," ucap sebuah suara dari balik kegelapan di seberang sungai.
Baskara menoleh dan melihat Arini berdiri di sana dengan mengenakan pakaian seragam perawat yang sudah sangat lusuh dan penuh dengan noda tanah merah. Arini tidak lagi tampak menyeramkan melainkan terlihat sangat lelah dengan lingkaran hitam yang sangat tebal di bawah kedua matanya yang sayu.
"Arini? Bagaimana kamu bisa sampai ke tempat ini setelah dinding daging itu mengunyahmu hidup-hidup?" tanya Baskara dengan perasaan yang sangat tidak percaya.
Arini melangkah maju menuju tepi sungai dan menunjuk ke arah pergelangan tangannya yang kini memiliki tato berbentuk angka yang terus berubah-ubah secara berulang-ulang. Ia menjelaskan bahwa ia berhasil meloloskan diri karena hutan ini menganggapnya sebagai barang cacat yang tidak layak untuk dikonsumsi lebih lanjut.
"Hutan ini sedang sakit, Baskara, dan darahmu adalah satu-satunya obat yang bisa menyembuhkan atau menghancurkannya sekaligus," ucap Arini sambil menatap aliran air hitam.
Baskara berjalan mendekati Arini namun ia berhenti saat melihat bayangan Arini di atas air sungai tidak memiliki kepala sama sekali. Ia teringat peringatan Komandan tentang mahluk-mahluk yang hanya bisa menyentuh manusia melalui pantulan bayangan yang ada di permukaan air atau cermin.
Ia menggenggam belati peraknya yang ternyata terselip di balik ikat pinggangnya dan bersiap untuk menyerang jika Arini di depannya adalah mahluk peniru. Namun, Arini justru melemparkan sebuah tas medis miliknya ke arah Baskara sebagai bukti bahwa ia benar-benar rekan satu timnya yang asli.
"Periksalah isinya, di sana ada catatan tentang koordinat asli gerbang yang tak boleh dibuka oleh siapa pun," seru Arini sambil tetap menjaga jarak dari aliran sungai.
Baskara membuka tas tersebut dan menemukan sebuah buku agenda yang halamannya penuh dengan coretan tangan yang sangat berantakan dan sulit untuk dibaca. Di halaman terakhir, terdapat sebuah gambar jantung manusia yang di tengahnya tertancap sebuah kunci perak yang sangat identik dengan milik Baskara.
Ia baru menyadari bahwa kunci perak yang ada di bawah kulit tangannya bukan hanya sekadar alat pembuka melainkan sebuah sumbu ledak bagi hutan ini. Jika ia memasukkan kunci itu ke dalam jantung hutan, maka seluruh Alas Mayit akan musnah namun ia juga akan ikut lenyap bersama ledakan tersebut.
"Apakah ini misi bunuh diri yang sudah direncanakan sejak awal oleh pusat?" tanya Baskara dengan nada suara yang sangat bergetar karena rasa kecewa.
Arini tidak memberikan jawaban pasti melainkan hanya menunjuk ke arah hulu sungai di mana terlihat sebuah gerbang kayu besar yang dijaga oleh mahluk-mahluk tanpa kulit. Suara terompet yang terbuat dari tulang manusia terdengar membahana dari arah gerbang tersebut menandakan bahwa waktu perburuan jiwa telah dimulai kembali.
Baskara merasakan tanah yang ia pijak mulai bergetar hebat seiring dengan munculnya mahluk raksasa dari dalam aliran air hitam sungai bawah tanah tersebut. Mahluk itu memiliki ribuan tangan manusia yang menyatu menjadi sebuah tubuh raksasa yang sangat menjijikkan serta mengeluarkan aroma busuk yang luar biasa tajam.
"Lari ke arah gerbang kayu itu, Baskara, sebelum mahluk pengumpul jiwa ini menyatukan tubuhmu dengan ribuan korban lainnya!" teriak Arini sambil mulai berlari sekencang mungkin.
Baskara melompat melewati bebatuan licin yang ada di pinggir sungai sambil terus memegang tas medis dan koin kuno yang diberikan oleh gadis kecil tadi. Ia merasakan tangan-tangan raksasa dari dalam sungai mulai mencoba untuk menggapai kakinya dan menariknya masuk ke dalam pusaran air hitam yang mematikan.
Ia berhasil mencapai gerbang kayu namun gerbang itu terkunci rapat oleh rantai besi yang sangat besar dan hanya bisa dibuka dengan menggunakan kunci perak. Baskara ragu untuk menggunakan tangannya karena ia tahu bahwa sekali kunci itu masuk, maka tidak akan ada jalan kembali bagi hidupnya sebagai manusia.
Mahluk ribuan tangan itu kini sudah berada tepat di belakang Baskara dan mulai melingkarkan salah satu jemarinya yang busuk ke leher pemuda itu.