NovelToon NovelToon
TERPAKSA MENIKAHI CEO BEJAD

TERPAKSA MENIKAHI CEO BEJAD

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Cerai / CEO / Percintaan Konglomerat / Konflik etika / Balas Dendam
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Alviona Mahira berusia 15 tahun baru lulus SMP ketika dipaksa menikah dengan Daryon Arvando Prasetya (27 tahun), CEO Mandira Global yang terkenal tampan, kaya, dan memiliki reputasi sebagai playboy. Pernikahan ini hanya transaksi bisnis untuk menyelamatkan keluarga Alviona dari kebangkrutan.

Kehidupan rumah tangga Alviona adalah neraka. Siang hari, Daryon mengabaikannya dan berselingkuh terang-terangan dengan Kireina Larasati—kekasih yang seharusnya ia nikahi. Tapi malam hari, Daryon berubah menjadi monster yang menjadikan Alviona pelampiasan nafsu tanpa cinta. Tubuh Alviona diinginkan, tapi hatinya diinjak-injak.
Daryon adalah pria hyper-seksual yang tidak pernah puas. Bahkan setelah bercinta kasar dengan Alviona di malam hari, pagi harinya dia bisa langsung berselingkuh dengan Kireina. Alviona hanya boneka hidup—dibutuhkan saat Daryon terangsang, dibuang saat dia sudah selesai.

Kehamilan, keguguran karena kekerasan Kireina, pengkhianatan bertubi-tubi

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 13: TUBUH YANG MULAI MEMBERONTAK

🤒

Hari ketiga Daryon di Surabaya.

Alviona bangun dengan badan... aneh.

Kepalanya pusing. Berat banget. Kayak ada yang neken dari dalam. Tenggorokannya sakit—gak cuma kering, tapi kayak terbakar. Tubuhnya lemas total, kayak tulang-tulangnya jadi jelly.

Dia coba bangun dari ranjang—tapi langsung oleng, tangan harus nyangkut di meja nakas buat jaga keseimbangan.

"Ugh..." Alviona meringis, megangin kepala yang makin sakit.

Dia jalan ke kamar mandi—langkahnya gontai, limbung—dan pas ngeliat pantulan di cermin...

Wajahnya pucat. Bibir kering pecah-pecah. Mata cekung. Keringat dingin membasahi dahinya walau dia ngerasa kedinginan.

Alviona nyentuh dahinya sendiri.

Panas.

Sangat panas.

Demam.

---

Dia coba turun ke ruang makan buat sarapan, tapi di tengah tangga, kepalanya makin pusing. Pandangannya blur. Kaki hampir keseleo.

"Nona!" Bi Sari yang kebetulan lewat langsung lari nolongin Alviona, nopang tubuhnya yang hampir jatuh. "Nona kenapa?! Wajahnya pucat sekali!"

"Aku... aku gak tau, Bi..." Alviona berbisik lemah. "Kepalaku... sakit banget..."

Bi Sari nempelkan tangannya ke dahi Alviona—langsung kaget.

"Nona demam tinggi! Harus istirahat! Sini, Bibi antar balik ke kamar."

Bi Sari ngantar Alviona balik ke kamar dengan hati-hati, ngebantu dia rebahan di ranjang, ngeliatin tubuh Alviona yang gemetar kedinginan walau udara gak dingin.

"Bibi panggilkan dokter ya, Nona. Tunggu sebentar."

Alviona cuma ngangguk lemah.

---

Satu jam kemudian, dokter pribadi keluarga Prasetya datang—Dr. Anwar, pria paruh baya dengan wajah serius dan kacamata tebal.

Dia periksa Alviona—ngecek suhu (39.2°C), ngecek tekanan darah (rendah), ngecek kondisi umum.

Dan pas dia liat lebam-lebam di lengan Alviona yang keliatan jelas karena Alviona pake kaos lengan pendek...

Wajah Dr. Anwar berubah. Matanya melebar sedikit. Tapi dia gak ngomong apa-apa.

Dia cuma... diem. Terus lanjut periksa.

"Ini demam tinggi akibat kelelahan ekstrem dan... stres berat," ucap Dr. Anwar pelan setelah selesai periksa. "Tubuhnya... sudah terlalu dipaksakan."

Bi Sari yang berdiri di samping kasur natap Dr. Anwar khawatir.

"Saya kasih obat penurun panas, antibiotik, sama vitamin." Dr. Anwar nulis resep dengan cepat. "Istirahat total. Jangan dipaksa beraktivitas. Makan yang cukup. Minum air putih banyak."

"Baik, Dokter."

Dr. Anwar berdiri, rapiin tas dokternya, tapi sebelum keluar... dia noleh ke Alviona yang lagi rebahan dengan mata setengah terbuka.

"Nyonya Alviona..." ucapnya pelan, ragu. "Kalau... kalau ada yang perlu dibicarakan... tentang... kondisi Anda... saya bisa—"

"Tidak perlu, Dokter." Suara dingin dari pintu bikin semua orang noleh.

Daryon.

Berdiri di ambang pintu dengan jas hitam, tas kerja di tangan, wajah datar tapi tatapannya... tajam. Dia baru pulang dari Surabaya.

"Tuan Daryon..." Dr. Anwar langsung agak tegang.

"Terima kasih sudah memeriksa istri saya," ucap Daryon datar, melangkah masuk. "Bibi Sari, tolong antarkan Dokter Anwar keluar."

Bi Sari ngangguk cepat, ngajak Dr. Anwar keluar.

Dr. Anwar sempet ngeliatin Alviona lagi—tatapannya penuh kekhawatiran—tapi akhirnya dia ikut keluar.

Pintu ditutup.

Dan Alviona sendirian dengan Daryon.

---

Daryon berdiri di ujung ranjang, menatap Alviona dengan tatapan... annoyed. Bukan khawatir. Bukan cemas.

Tapi kesal.

"Sakit?" tanyanya datar.

Alviona gak jawab. Dia cuma natap Daryon dengan mata yang udah gak ada semangat lagi.

"Demam berapa?"

"...39," bisik Alviona lemah.

Daryon mendecak pelan. "Merepotkan."

Kalimat itu ditusukkan dengan enteng. Kayak Alviona cuma... barang yang rusak.

"Aku... aku gak sengaja sakit..." Alviona berbisik, suaranya serak.

"Kau pikir aku peduli?" Daryon melipat tangan, natap Alviona dengan tatapan dingin. "Yang aku pedulikan adalah kau jadi... gak bisa disentuh."

Alviona membeku.

Gak bisa disentuh.

Itu... itu yang dia peduliin?

"Cepat sembuh," perintah Daryon datar. "Aku butuh."

Dan dengan itu, dia pergi. Keluar kamar. Nutup pintu.

Meninggalkan Alviona yang... hancur lebih dalam lagi.

---

Dua hari berlalu.

Alviona masih demam tinggi. Tubuhnya makin lemas. Dia hampir gak bisa bangun dari ranjang. Bi Sari yang nyuapin dia makan, ngasih obat, ngeliatin dia dengan penuh kekhawatiran.

Tapi Daryon?

Gak pernah muncul. Gak pernah nanya kabar. Gak ada telepon. Gak ada apa-apa.

Malam ketiga, Alviona lagi tidur dengan gelisah—demamnya naik lagi jadi 39.5°C—tubuhnya basah keringat, napasnya pendek-pendek.

Dan tiba-tiba...

Pintu kamar terbuka.

Alviona setengah sadar denger langkah kaki masuk. Dia buka mata sedikit—blur, gak jelas—tapi ngeliat siluet familiar.

Daryon.

Dia berdiri di samping ranjang, natap Alviona yang tergeletak lemas.

"Sudah sembuh?" tanyanya pelan.

Alviona gak bisa jawab. Tenggorokannya terlalu sakit. Kepalanya terlalu pusing.

"Aku... masih... sakit..." bisiknya parau, hampir gak kedengeran.

Daryon diem sebentar.

Terus...

"Aku butuh."

Tiga kata itu kayak vonis mati.

"Daryon... kumohon..." Alviona nangis sekarang—air matanya keluar walau tubuhnya udah gak ada tenaga. "Aku... aku gak kuat... aku masih demam..."

"Itu bukan urusanku."

Daryon duduk di tepi ranjang, tangannya meraih selimut Alviona—

"JANGAN!" Alviona berteriak—atau lebih tepatnya coba berteriak, tapi yang keluar cuma suara serak yang lemah. "Kumohon... aku sakit... kumohon jangan..."

Tapi Daryon gak peduli.

Tangannya menarik selimut, menyingkap tubuh Alviona yang gemetar—

Dan tiba-tiba, Alviona muntah.

Langsung muntah di ranjang, cairan keluar dari mulutnya, tubuhnya kejang-kejang.

Daryon langsung mundur—jijik—wajahnya berubah.

"Sialan..." gerutunya, berdiri cepat, menjauhi ranjang.

Alviona terbatuk-batuk, muntah lagi, tubuhnya kejang. Air matanya mengalir deras bercampur keringat dan muntahan.

Daryon natap Alviona dengan tatapan... jijik. Dan kesal.

"Benar-benar merepotkan," ucapnya dingin.

Dan dia keluar kamar.

Meninggalkan Alviona sendirian—tergeletak di ranjang dengan muntahan, demam tinggi, tubuh gemetar—menangis tanpa suara.

Karena sekarang Alviona bener-bener ngerti.

Buat Daryon, dia bukan istri.

Bukan manusia.

Bahkan bukan boneka.

Dia cuma... alat pemuas nafsu.

Dan kalau alat itu rusak?

Dibuang.

---

**[ END OF BAB 13 ]**

1
Eflin
.uuuuiu]uui
Eflin
pkpp
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!