Azizah pura pura miskin demi dapat cinta sejati namun yang terjadi dia malah mendapatkan penghinaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 18 nona zee
Jantung Susan berdebar. Saat aku bertemu dengannya, aku langsung jatuh cinta. Itulah suara hatinya saat pertama kali melihat Raka secara langsung.
Foto-foto yang selama ini ia lihat ternyata tak mampu menggambarkan ketampanan pria itu sepenuhnya. Raka jauh lebih memukau dari yang ia bayangkan—alis tebal yang tegas, hidung mancung sempurna, rahang kokoh yang menambah kesan maskulin, serta postur tegap yang mencerminkan wibawa. Setiap gerak-geriknya tampak elegan, dan kerapian pakaiannya menegaskan bahwa ia adalah pria yang berkelas.
Susan menatapnya dengan kagum, nyaris lupa bernapas. Bagaimana mungkin ada pria yang begitu sempurna? Batinnya bersorak. Selama ini, ia bertemu banyak pria mapan, tetapi tidak ada yang mampu membuatnya merasa seperti ini. Aura Raka terlalu kuat, begitu menawan hingga membuatnya kehilangan fokus.
Susan semakin berambisi. Aku harus mendapatkan dia, tekadnya dalam hati.
Di seberang meja, Sari yang menyadari tatapan berbinar Susan tersenyum puas. Ia tahu pertemuan ini akan berhasil. Dengan penuh semangat, ia memperkenalkan mereka. "Susan, ini adikku, Raka," katanya dengan nada penuh harapan.
Susan segera mengulurkan tangan. Senyumannya manis, bibirnya berlapis lipstik merah elegan yang sudah dipilihnya dengan hati-hati di salon tadi siang. "Senang sekali bertemu dengan Anda," ucapnya, nada suaranya lembut, hampir seperti bisikan.
Namun, di sisi lain, Raka hanya menampilkan ekspresi datar. Ia membalas jabatan tangan Susan dengan ringan, sopan, tetapi tak ada kehangatan lebih dari itu. Tidak ada ketertarikan di matanya.
Sebenarnya, pikirannya sedang kacau. Tidak ada satu pun bagian dari dirinya yang ingin berada di sini malam ini. Ia masih diselimuti perasaan bersalah—Azizah, istrinya, yang sedang mengandung anaknya, menghilang tanpa jejak. Sudah seminggu lebih ia mencarinya, tapi nihil. Dan kini, di tengah kebingungannya, ia harus duduk di sini, berbasa-basi dengan wanita lain yang bahkan baru pertama kali ia temui.
Hati kecilnya bertanya, Pantaskah aku duduk di sini, berkencan dengan wanita lain, sementara istriku tak tahu rimbanya?
Namun, seperti biasa, suara hatinya kalah oleh suara Sumarni. Ibunya adalah segalanya. Seumur hidupnya, ia dibesarkan dengan pemahaman bahwa ucapan ibunya adalah titah. Jika ibunya berkata ia harus menikahi Susan, maka itu adalah perintah yang tidak bisa ditawar. Bahkan jika ibunya menyuruhnya mati, maka ia akan mati tanpa bertanya.
Menutupi kegundahannya, Raka berusaha tetap profesional. "Raka Karyana," ucapnya memperkenalkan diri dengan nada rendah dan penuh wibawa. Bagaimanapun, Susan bukan orang biasa. Ia bagian dari keluarga Warseno—bukan pemain utama dalam bisnis ayahnya, tetapi tetap memiliki koneksi yang cukup kuat hingga ke keluarga Pratama.
Susan tersenyum semakin lebar. "Panggil aku Susan saja, biar lebih akrab," katanya, suaranya terdengar menggoda.
"Panggil aku Raka," balas Raka, berusaha menjaga nada tetap netral.
Susan menatapnya dengan penuh ketertarikan. Suaranya berat, begitu menenangkan. Gaya bicaranya santai tapi penuh percaya diri. Dia benar-benar pria yang sempurna! pikirnya.
"Aku dengar bisnismu sedang maju pesat, ya?" tanya Susan, mencoba membangun obrolan.
"Oh, ya. Berkat doa ibu saya, saya bisa sampai di titik ini," jawab Raka dengan percaya diri, menyisipkan senyum tipis yang selalu berhasil memikat banyak wanita.
Susan mengangguk kecil, menatapnya lebih dalam. "Kamu sangat berbakti pada orang tua, ya?"
Sari yang masih duduk di sebelah mereka segera menyela, seolah ingin menegaskan kebanggaannya. "Oh, iya! Dia sangat mengutamakan orang tua, Susan. Aku bangga punya adik seperti Raka."
Susan tersenyum, tetapi kali ini ada sesuatu di balik matanya. Sorot matanya sedikit menyipit, penuh makna yang sulit ditebak. "Bagus sekali kalau begitu," katanya pelan, lalu menambahkan pertanyaan yang membuat Raka tertegun.
"Tapi kalau kamu punya istri, bagaimana? Apakah tetap akan mengutamakan orang tua?"
Raka menoleh, menatap Susan dengan heran. Pertanyaan itu terdengar terlalu spesifik. Apakah Sari tidak memberitahunya bahwa aku sudah beristri?
Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang aneh. Seperti jebakan yang halus, tetapi berbahaya.
"Tentu saja Raka akan menjadikan orang tua dan istri sebagai prioritasnya, Susan," Sari buru-buru menyela, mencoba mengontrol situasi saat Raka tak kunjung menjawab.
Susan tersenyum senang, matanya berbinar. "Bagus sekali! Aku memang suka laki-laki yang bertanggung jawab seperti itu," ujarnya penuh semangat.
Raka menelan ludah. Kata-kata Susan seharusnya terdengar seperti pujian, tapi entah kenapa justru terasa seperti tamparan baginya. Ia tahu ia tidak seperti yang Susan bayangkan. Ia bukan pria yang bertanggung jawab. Jika benar, seharusnya ia mencari Azizah sekarang, bukan duduk di sini berpura-pura sebagai pria lajang.
Namun, seperti biasa, Raka memilih mengabaikan kegelisahan hatinya.
"Ya, tentu saja," katanya akhirnya, memaksakan senyum. "Saya akan mengutamakan keduanya. Karena keduanya adalah kewajiban, bukan pilihan. Tidak seharusnya memilih salah satu, semuanya harus diutamakan."
Susan tersenyum semakin lebar, mengangguk penuh kepuasan. Baginya, kata-kata Raka adalah bukti bahwa ia pria ideal—laki-laki mapan, tampan, bertanggung jawab, dan berbakti pada orang tua.
Ini tipe suami idaman! pikirnya.
Tidak ada sedikit pun kecurigaan dalam dirinya. Baginya, Raka adalah sosok yang sempurna, dan ia semakin yakin bahwa laki-laki ini harus menjadi miliknya.
Sari, yang mengamati reaksi Susan, merasa lega. Ia tidak perlu khawatir Susan akan menanyakan lebih lanjut tentang status Raka. Wanita itu sudah terpikat, dan itu bagus.
Maka, untuk memastikan pembicaraan tidak berbelok ke arah yang tidak diinginkan, Sari segera berkata, "Susan, aku dengar kamu sedang dekat dengan keluarga Andi Pratama, ya?"
Susan tersenyum bangga. "Tentu saja! Aku punya beberapa koneksi di sana. Bahkan, aku berencana memperluas relasi bisnis keluargaku dengan mereka."
Raka mendengarkan dengan setengah hati. Nama Andi Pratama seharusnya membuatnya lebih antusia karena Andi Pratama adalah idolanya tapi pikirannya masih berputar-putar pada Azizah. Azizah… di mana kamu sekarang?
Sementara itu, Susan justru semakin yakin. Jika ia menikah dengan Raka, maka ini akan menjadi pasangan yang sempurna. Raka punya bisnis yang berkembang pesat, ia punya koneksi dengan keluarga Warseno, dan dengan kemampuannya, ia yakin bisa membawa Raka lebih jauh lagi.
Dalam hatinya, Susan berkata, Kamu akan jadi milikku, Raka. Aku tidak akan membiarkanmu pergi.
Susan tersenyum bangga sambil mengangkat ponselnya. "Ini, aku tunjukkan kemarin aku berfoto bareng dengan Pak Andi Pratama," ucapnya dengan nada penuh kemenangan.
Ia lalu menyerahkan ponselnya pada Sari dan Raka.
"Wah, kamu benar-benar dekat dengan Pak Andi Pratama, ya," ujar Sari dengan kagum. "Kalau orang lain pasti harus ngantri berbulan-bulan buat sekadar ketemu beliau!"
Susan tertawa kecil. "Tentu saja. Aku punya koneksi yang kuat."
Raka menerima ponsel itu dengan ekspresi datar. Awalnya, ia tidak terlalu peduli. Baginya, pertemuan Susan dan Warseno dengan Andi Pratama hanyalah urusan bisnis biasa. Namun, ketika matanya bergerak ke latar belakang foto, alisnya mengernyit.
Di belakang mereka, ada sebuah foto keluarga besar yang terpajang di dinding. Sekilas, sosok seorang wanita dalam foto itu tampak familiar.
Raka menajamkan pandangannya.
"Azizah?" gumamnya tanpa sadar.
Sari yang duduk di sampingnya dengan cepat menginjak kakinya di bawah meja.
"Aww!" Raka tersentak dan menatap Sari dengan tajam.
Sari juga menatapnya dengan ekspresi tajam seakan memperingatkannya agar tidak bertindak gegabah.
Susan, yang tidak menyadari ketegangan di antara mereka, tetap tersenyum.
"Kenapa, Raka?" tanyanya. "Ada yang salah dengan fotonya?"
Raka menatap ulang foto itu, pikirannya kalut. Sosok itu… wajahnya memang mirip Azizah. Sangat mirip. Tapi bagaimana mungkin?
Azizah hanyalah perempuan sederhana. Dia tidak mungkin ada hubungannya dengan keluarga konglomerat sekelas Andi Pratama.
Raka menggeleng pelan, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Bukan. Itu bukan Azizah. Ini cuma kebetulan. Banyak orang punya wajah mirip.
Untuk meyakinkan dirinya lebih jauh, ia bertanya, "Kamu kenal dengan orang-orang di foto ini?" tanyanya, menunjuk ke arah sosok perempuan itu.
Susan melirik sekilas. "Oh, itu kayaknya anaknya Pak Jayadi. Aku nggak terlalu hafal namanya, tapi pegawainya memanggilnya Nona Zee."
Raka mengerutkan kening.
Nona Zee? Bukan Azizah?
Sekilas, hatinya bergetar lagi. Tapi kemudian egonya berbicara. Tidak mungkin Azizah berasal dari keluarga kaya. Azizah hanyalah perempuan biasa yang bahkan keluarganya harus bekerja keras untuk bertahan hidup.
"Tidak mungkin…" gumamnya pelan.
"Hah?" Susan menatapnya bingung.
Raka buru-buru menggeleng. "Aku cuma… heran aja," katanya, suaranya mulai stabil. "Kupikir aku kenal seseorang yang mirip."
Susan tertawa. "Ah, mungkin saja. Tapi Nona Zee itu keponakan kesayangan Pak Andi Pratama. Dia punya pengaruh besar di bisnis keluarganya."
Raka tertawa kecil. "Kalau begitu, pasti aku salah orang."
Iya. Tidak mungkin itu Azizah. Bagaimana mungkin perempuan yang dulu ia abaikan dan tinggalkan hidup dalam kesusahan, ternyata punya koneksi dengan salah satu konglomerat terbesar? Itu tidak masuk akal.
"Kenapa? Apa kamu kenal dengan Nona Zee?" tanya Susan dengan rasa ingin tahu.
Raka menggeleng, kini lebih yakin dengan dirinya sendiri. "Aku nggak kenal," jawabnya cepat. "Aku hanya mengidolakan Pak Andi Pratama. Dia panutanku dalam bisnis."
"Oh, betulkah?" Susan tampak semakin senang.
"Benar sekali!" Sari menimpali dengan cepat, memastikan agar Raka tidak terpancing untuk mengatakan hal yang seharusnya tidak ia katakan.
Susan tersenyum lebih lebar. "Kalau begitu, aku akan membantumu membangun koneksi dengan Pak Andi Pratama."
Raka tersenyum, hatinya masih sedikit gelisah, tetapi ia sudah menyingkirkan keraguan itu.
"O-oke… aku senang sekali mendengarnya," ucapnya, berusaha tetap tenang.
"Aku bisa mengatur pertemuan untukmu," lanjut Susan. "Aku yakin Pak Andi Pratama akan tertarik berbicara dengan pria berbakat sepertimu."
"Kalau begitu…" Raka menatap Susan dengan mata penuh harapan. "Tolong bantu aku bertemu dengan Pak Andi Pratama."
Susan tersenyum penuh kemenangan. Aku tahu Raka akan membutuhkan aku. Ini kesempatan emas.
Sementara itu, jauh di dalam lubuk hatinya, Raka masih belum bisa sepenuhnya menghilangkan perasaan aneh yang muncul saat melihat foto itu. Tapi ia terlalu sombong untuk mempercayai kemungkinan bahwa Azizah bisa lebih dari sekadar perempuan sederhana yang ia tinggalkan.
gk sma suamix tinggal ,dodol bangat Rommy...kejar cinta msa lalu mu