Azizah Dikira Miskin

Azizah Dikira Miskin

menantu tak dianggap

"Azizahhhhhh!" Sumarni berteriak itu adalah kegiatan rutinnya setiap pagi, sepertinya ada yang kurang hidupnya jika tidak berteria memanggil Aziah.

Azizah merapatkan tangannya, seperti ini lah rutinitas setiap pagi mendengarkan omelan ibu mertua yang selalu menganggap dirinya salah dan tak berguna.

"Ya, Bu?"Aizah menyahut suara ibunya dengan pelanm Aziza wanita lembut dia tak pernah berteriak apalagi meninggikan suaranya, apalagi dihadapan orang lebih dewasa darinya.

Dia berjalan perlahan menahan rasa sakit dipunggungnya, sekarang aziza sedang hamil 8 buln harusnya aziza dijaga betul-betul tapi malah dipaksa bekerja.

"Ada apa, Bu?" tanyanya, berusaha tersenyum meski perasaannya sudah tidak enak, dan pasti ada yang salah.

"Kenapa teh manisnya kurang manis?" Bentak sumarni tanpa sedikitpun menurunkan volume suaranya.

Sumarni benci azizah, bagi Sumarni Aziza adalah wanita kampungan tak berharga, bukan wanita karir yang mengahasilkan uang, bagi sumarni Aziza adalah beban raka anaknya.

Azizah menunduk, mengusap perutnya, lalu menjawab lirih, "Gulanya habis, Bu."

Sumarni menatap tajam pada Aziza pandangannya menusuk memberi aura intimidasi yang kuat lalu berteriak. "Ya beli dong! Raka kan udah ngasih uang belanja. Masa nggak ada gula?" suaranya tajam bagai silet baru.

Azizah menelan ludah. "Aku nggak bisa jalan jauh, Bu... Aku takut membahayakan kehamilanku."

Matanya berkaca-kaca, berharap ada sedikit belas kasih. kalaupun tidak suka dengan dia setidaknya ibu mertuanya menyayangi cucu yang Aziza kandung. Tapi harapan itu langsung hancur.

"Dasar manja! Udah numpang hidup di anak saya, ngurus rumah aja nggak becus! Kalau saja kamu nggak hamil, udah dari dulu saya suruh Raka cari istri lagi!"

Azizah terpaku. Hatinya seperti diremas. bagaimana mungkin ibu mertuanya tega mengatakan itu dihadapannya langsung, apakah mertuanya tidak punya hati mengatakan hal itu didepan menantu yang sedang mengandung.

Dan kenapa seorang istri yang tinggal di rumah suami disebut menumpang, bukankah salah satu kewajiban suami adalah menafkahi istri dan salah satunya adalah membuatkannya rumah, kalau sekarang aziza disebut menumpang logika macam apa ini.

"Ya udah, aku beli dulu, Bu," Tidak mau ada pertengkaran lebih lanjut aziza menuruti permitaan ibu mertuanya.

Ia melangkah keluar rumah dengan hati yang berat. Matahari menyengat, membuat peluhnya mengalir, tapi bukan itu yang paling menyiksa. Lebih menyakitkan tinggal serumah dengan mertua yang menganggapnya sampah.

Di depan rumah, Bi Eha—tetangga yang hobi julid tapi sebenarnya perhatian—sedang duduk sambil mengipas wajahnya dengan tutup panci. Matanya langsung menangkap sosok Azizah yang berjalan tertatih di bawah terik matahari.

"Eleuh-eleuh, Neng Gelis! Perut udah buncit gitu, bukannya di rumah aja, malah jalan-jalan. Panas, Neng!" serunya, setengah prihatin, setengah kepo.

Azizah hanya tersenyum tipis. Bahkan tetangganya saja mengerti kalau ibu hamil butuh perhatian lebih. Tapi kenapa mertuanya tidak? Kenapa suaminya malah makin galak?

Tapi ia tetap bertahan. Demi keutuhan keluarga.

Sampai di tepi jalan, ia berhenti sejenak. Jalanan cukup ramai, motor dan mobil melintas dengan kecepatan tinggi. Azizah menelan ludah, bersiap untuk menyeberang.

Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara teriakan khas Mang Maman, tukang parkir yang selalu siaga di sekitar warung.

"Aduh neng jangan nyebrang dong harusnya, nanti kalau terjadi apa-apa sama neng dan anak yang neng kandung gimana coba" ucap Mang maman tukan parikr

Mangmaman membantu aziza menyebarang jala, dia memastikan agar aziza selamat sampai tujuan walau dia beberapa kali di hardik oleh pengguna jalan raya

Azizah tersenyum lelah. Setidaknya masih ada orang yang peduli.

Setelah selamat sampai di seberang, ia masuk ke warung Bu Susi dan membeli gula. Namun, saat ia keluar…

Matanya membelalak.

Di tepi jalan, tepat di depan warung, terparkir sebuah Alphard hitam mengilap. Aziza faham betul kalau itu adalah mobil Ayahnya.Jayadi Pratama

Aziza bukan dari kalangan sederhana dia adalah putri keluarga pratama, keluarga yang merajai bisnis di kota ini, Jayadi Pratama orang yang Aziza ingin hindari, memlilih raka bukan perkara mudah dia harus beratem dulu sama ibunya demi memili Raka, dan Aziza belum siap memperkenalkan Raka, taku raka minder kalau tahu Aziza dari kalangan konglomerat.

"Ziii, kapan pulang?" suara Jayadi terdengar datar, tapi ada tekanan kuat di dalamnya.

Azizah menggenggam plastik berisi gula lebih erat. Ia tidak menjawab. Dadanya terasa sesak.

Jaya di menatap lekap putri kesayangannya yang nampak kelelahan, bukannya tidak mau membantu tapi Jayadi hanya ingin anaknya merasakan apa yang sudah dia putuskan "Kamu harus segera jujur sama suami kamu, kalau kamu dari keuarga pratama, ingat bayi yang kamu kandung adalah cucu pertama keluarga pratama, orang-orang harus tahu itu, dan aku kakeknya tidak akan membiarkan cucuku dalam penderitaan" ucap Jayadi penuh penekanan

Azizah menunduk, bibirnya bergetar. "Beri aku waktu seminggu, Pah. Aku pasti memberi tahu Mas Raka."

Jayadi menatapnya lama, seolah menimbang-nimbang ucapannya. "Baiklah.Papah beri kamu waktu, kalau salam seminggu tidak ada jawaban dari kamu, terpaksa papah akan datang ke rumah suamimu itu."

Suasana terasa semakin berat.

"Baik, Pah," jawab Azizah pelan.

Jayadi tidak berkata apa-apa lagi. Ia masuk ke dalam mobilnya, mesin menyala, lalu Alphard hitam itu melaju meninggalkan Azizah sendirian di tepi jalan.

Azizah menatap kepergian ayahnya dengan mata nanar."Maaf pah, aku belum bisa jujur sama mas Raka tentang keluargaku sebenarnya pa, keluarga mas raka meperlakukan ku dengan buruk, waktu seminggu ini akan aku lihat perkembangannya jika terus menyakitiku maka aku akan pergi demi anakku"

Angin berembus pelan, seakan mengerti kegelisahannya.

Azizah dibantu mang maman menyebrang dengan perlahan

"Terima kasih, Mang," ucap Azizah dengan senyum tipis.

"Sama-sama, Neng. Hati-hati, ya," balas Mang Maman sebelum kembali ke posnya.

Azizah melangkah pulang, napasnya terasa berat. Begitu sampai di rumah, wajah Sumarni sudah bringas, seperti singa betina yang siap menerkam.

"Lambat… lambat… lambat terus!" Bukannya ucapan terima kasih, atau perhatian malah cacian yang diterima aziza

Tidak tampak rasa kahwatir sama sekali terhadap Azizah ada cucunya sendiri.

Azizah diam. Jawaban hanya akan memicu perdebatan panjang yang melelahkan.

Tanpa banyak bicara, ia langsung menuju dapur. Tangannya cekatan memasak, mencuci piring, mengepel rumah—semua dilakukan tanpa keluhan. Sementara itu, Sumarni tetap rebahan, tidak melakukan apa-apa selain memberi perintah.

Azizah, yang sejak kecil tidak pernah menyentuh pekerjaan rumah karena semuanya dilakukan oleh para pembantu, kini harus bekerja keras demi keluarga yang bahkan tidak menghargainya..

Aiza berpura-pura jadi orang sederhana untuk mendapatkan cinta sejati Tapi yang ia dapatkan bukan cinta sejati—melainkan penghinaan sejati.

"Bu, aku mau bayar pembantu untuk membersihkan rumah ini," ucap Azizah hati-hati.

Sumarni menoleh tajam. Wajahnya langsung berubah menyeramkan, seperti serigala kelaparan yang siap menerkam mangsanya.

"Apa kamu bilang?Bayar pembantu, dasar ya kamu istri tak berguna, sudah jad beban suami, minta pembantu pula, emang kamu sanggup bayarnya, kamu ini numpang di rumah raka anakku setidaknya kamu itu harus berguna dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, jangan manja kamu, dasar tak berguna" Bentak Sumarni menggebu-gebu bai dia permintaan Aziza ini tidak masuk akal sama sekali.

Azizah menarik napas dalam. "Ya sudah, Bu."

Ia memilih diam. Tidak mau ribut. Tidak mau berdebat. hanya akan membuat dia sakit hati dan berujung ribut dengan raka nantinya,

Sore tiba, Raka pulag dengan wajah ditekuk seperti sedang menanggung masala yang besar. tanpa memperdulikan aziza sedikitpun, bahkan menyentuh perut aziah pun seolah tak sudi, Dulu raka baik, sholeh makanya Aziza jatuh hati pada Raka.

Sejak kapan dia berubah?

Azizah mengingat-ingat. Sejak usahanya maju Raka berubah padanya, apalagi saat raka mampu beli rumah, Aziza seolah tak ada dalam kehidupannya, ya mungkin begitu lah uang bisa memperjelas watak manusia

"Raka istri mu bisa apa sih, apa apa salah, ini ga bisa, itu ga bisa"  Sumarni mulai mengadi dan seperti biasa akan memprovokasi Raka

Dana benar saja kesabaran raka sekarang setipis tisu, sekali sentuh langsung tembus, mendengarkan sedikit aduan dari ibuny langsung tersulut emosinya

"Azizah".....pekik Raka

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!