Ketegangan antara Kerajaan Garduete dan Argueda semakin memuncak. Setelah kehilangan Pangeran Sera, Argueda menuntut Yuki untuk ikut dikuburkan bersama suaminya sebagai bentuk penghormatan terakhir. Namun, Pangeran Riana dengan tegas menolak menyerahkan Yuki, bahkan jika itu berarti harus menghadapi perang. Di tengah konflik yang membara, Yuki menemukan dirinya dikelilingi oleh kebohongan dan rahasia yang mengikatnya semakin erat pada Pangeran Riana. Setiap langkah yang ia ambil untuk mencari jawaban justru membawanya semakin jauh ke dalam jebakan yang telah disiapkan dengan sempurna. Di sisi lain, kerajaan Argueda tidak tinggal diam. Mereka mengetahui ramalan besar tentang anak yang dikandung Yuki—anak yang dipercaya akan mengubah takdir dunia. Dengan segala cara, mereka berusaha merebut Yuki, bahkan menyusupkan orang-orang yang berani mengungkap kebenaran yang telah dikubur dalam-dalam. Saat pengkhianatan dan kebenaran saling bertabrakan, Yuki dihadapkan pada pertanyaan terbesar dalam hidupnya: siapa yang benar-benar bisa ia percaya? Sementara itu, Pangeran Riana berusaha mempertahankan Yuki di sisinya, bukan hanya sebagai seorang wanita yang harus ia miliki, tetapi sebagai satu-satunya cahaya dalam hidupnya. Dengan dunia yang ingin merebut Yuki darinya, ia berjuang dengan caranya sendiri—menyingkirkan setiap ancaman yang mendekat, melindungi Yuki dengan cinta yang gelap namun tak tergoyahkan. Ketika kebenaran akhirnya terbongkar, akankah Yuki tetap memilih berada di sisi Pangeran Riana? Atau apakah takdir telah menuliskan akhir yang berbeda untuknya? Dalam Morning Dew V, kisah ini mencapai titik terpanasnya. Cinta, pengkhianatan, dan pengorbanan saling bertarung dalam bayang-bayang kekuasaan. Di dunia yang dipenuhi ambisi dan permainan takdir, hanya satu hal yang pasti—tidak ada yang akan keluar dari kisah ini tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Pangeran Arana masih berusaha mencerna semua yang baru saja ia dengar. Namun sebelum pikirannya bisa menemukan titik terang, Kakek Veyron menambahkan sesuatu yang membuat kebingungan di kepalanya semakin bertambah.
“Dan Lekky memperburuk semuanya.”
Arana mengernyit, lalu mendengus sinis. “Apa maksud Kakek? Bajingan itu tampaknya cukup baik untuk merawat Putri Yuki dan anaknya selama mereka menghilang dari hidup Kakak dan Riana.”
Kakek Veyron menatapnya tajam, matanya menyiratkan kebijaksanaan yang tak bisa dibantah. “Kau harus tahu, Arana. Lekky adalah bajingan yang lebih kejam dari Riana… dan lebih pintar dari kakakmu.”
Arana terdiam. Itu bukan perbandingan yang sepele.
“Dia membebaskan Yuki melakukan apa pun,” lanjut Kakek Veyron. “Tapi ketahuilah, kebebasan itu ilusi. Dia membuat Yuki merasa bebas di dalam kandangnya. Itu saja.”
Arana menelan ludah, merasakan bulu kuduknya meremang.
“Dia tidak jauh berbeda dengan kakakmu ataupun Riana,” kata Kakek Veyron dengan nada dingin. “Hanya saja, cara yang ia gunakan lebih halus, lebih licik, dan jauh lebih berbahaya.”
Keheningan menyelimuti ruangan.
Untuk apa Lekky melakukan itu pada adiknya sendiri?
Kakek Veyron menghela napas panjang. “Lekky sering membahayakan nyawanya sendiri, dan berujung pada Yuki yang harus menjadi penyelamatnya,” katanya lirih.
Tatapan Arana semakin menggelap. “Apa maksud Kakek?”
Kakek Veyron menatapnya dalam-dalam sebelum menjelaskan. “Aku mendengar tentang satu peristiwa… di mana Lekky sengaja membawa Yuki ke Sungai Putri Duyung di Hutan Terlarang. Dia membiarkan dirinya terkena racun cinta putri duyung.”
Arana menahan napas. Sungai Putri Duyung bukan sekadar mitos. Itu adalah tempat yang sudah lama dilarang dikunjungi karena bahayanya.
“Siapa pun yang terkena racun itu,” lanjut Kakek Veyron, “akan memiliki hasrat yang kuat untuk bercinta. Mereka yang terkena racun biasanya akan menyelam ke dalam sungai, berharap bisa bercinta dengan para putri duyung, hanya untuk akhirnya menjadi santapan mereka.”
Arana mengepalkan tangan. “Kalau mereka bertahan di darat?”
“Efek racun itu bisa begitu menyiksa,” kata Kakek Veyron dengan suara berat. “Rasanya seperti jantung hendak meledak. Rasa sakit dan hasrat itu begitu kuat, hingga banyak orang memilih mengakhiri hidup mereka sendiri karena tidak tahan.”
Ruangan terasa semakin sunyi dan mencekam.
“Satu-satunya penawar racun itu…” Kakek Veyron menghentikan kata-katanya sesaat sebelum melanjutkan, “adalah bercinta dengan seorang wanita.”
Arana mencengkeram sandaran kursinya. Matanya menatap lurus ke Kakeknya, berharap ia tidak mendengar kesimpulan yang sudah muncul di kepalanya.
“Maksud Kakek…” suaranya bergetar karena emosi, “Lekky menciptakan situasi di mana Yuki tidak punya pilihan selain menyelamatkannya… dengan membiarkan dirinya dinikmati Lekky?”
Kakek Veyron tidak menjawab langsung. Tapi cara ia menghela napas… dan tatapannya yang dipenuhi kelelahan, sudah cukup menjadi jawaban.
Pangeran Arana menatap Kakek Veyron dengan mata membelalak, seolah menolak kenyataan yang baru saja ia dengar.
“Yuki adalah adiknya!” katanya dengan suara bergetar, antara kemarahan dan ketidakpercayaan. “Bagaimana mungkin—”
Kakek Veyron tidak segera menjawab. Ia hanya menggeleng pelan, tatapannya kosong, seolah kenangan yang ia ketahui tentang Lekky terlalu gelap untuk diungkapkan dengan kata-kata.
“Tapi Lekky…” Arana mengulang, suaranya melemah, “Dia tahu itu, bukan? Dia tahu Yuki adalah adiknya.”
Kakek Veyron akhirnya menatap Arana dengan pandangan tajam. “Lekky tahu,” katanya datar. “Tapi Lekky tidak pernah menganggap hubungan darah sebagai batasan. Baginya, Yuki bukan sekadar adik. Dia adalah wanita. Wanita yang menarik.”
Arana merasa mual. “Kakek bercanda…”
“Apakah aku terlihat sedang bercanda?” suara Kakek Veyron begitu dingin. “Lekky bukan orang yang memikirkan moral, Arana. Dia tidak pernah peduli tentang benar atau salah. Dia hanya peduli tentang apa yang dia inginkan, dan bagaimana cara mendapatkannya.”
Arana merasakan kemarahan mendidih dalam dadanya. Ia bisa menerima bahwa Riana adalah pria yang obsesif dan kejam, bisa memahami bahwa Sera adalah manipulator licik yang mempermainkan orang lain…
duga.
“Jadi, selama ini…” Arana bergumam, seolah berbicara pada dirinya sendiri, “Yuki tidak pernah benar-benar bebas, bukan?”
Kakek Veyron menghela napas berat. “Tidak, Arana,” katanya, suaranya terdengar penuh iba. “Yuki hanya berpindah dari satu kandang ke kandang lainnya. Perbedaannya hanyalah Lekky membiarkannya merasa seolah ia bebas… padahal kenyataannya, ia tetap menjadi burung yang terkurung.”
Pangeran Arana mengepalkan tangannya di atas meja. Rahangnya mengeras, matanya berkilat penuh kemarahan.
“Dan sekarang Lekky sudah sadar.” Suaranya rendah dan berbahaya. “Entah apa yang akan dilakukannya lagi.”
Kakek Veyron mengangguk pelan, tatapannya penuh kewaspadaan. “Lekky bukan orang yang bisa ditebak, Arana. Dia bisa saja bertindak seperti seorang pelindung, tetapi di saat yang sama, dia juga bisa menghancurkan segalanya tanpa ampun.”
Arana mengerutkan kening. Pikirannya berputar cepat. Jika Lekky telah siuman, maka itu berarti…
“Yuki dalam bahaya.”
Kakek Veyron tidak langsung menjawab, tetapi sorot matanya mengiyakan. “Bukan hanya Yuki,” katanya pelan. “Tapi semua orang yang menghalangi Lekky dari mendapatkan apa yang dia inginkan.”
Arana merasakan hawa dingin merayapi punggungnya. Ini bukan hanya masalah antara Yuki, Riana, atau bahkan Sera. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih besar—sesuatu yang berakar dalam kegelapan yang selama ini tersembunyi di balik bayang-bayang.
Dan sekarang, bayangan itu mulai bergerak.
...****************...
Asap tipis mengepul ke udara, membentuk pola samar sebelum akhirnya menghilang di balik cahaya redup dalam ruangan. Pintu kayu berderit pelan saat terbuka, disusul dengan langkah berat yang menggema di lantai. Varmount memasuki ruangan, sorot matanya tajam menelusuri sosok yang duduk di atas ranjang.
Lekky bersandar santai, sebatang rokok terselip di antara jemarinya. Asap yang ia hembuskan melayang lambat di udara, nyaris seperti bagian dari dirinya yang tak peduli pada dunia di sekitarnya. Beberapa perban masih melilit tubuhnya, menandakan luka yang belum sepenuhnya sembuh. Namun, ekspresinya tetap datar, seolah rasa sakit hanyalah angin lalu.
Varmount berhenti di tepi ranjang, menatap Lekky yang tampak tidak terusik. Namun sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, suara Lekky yang tenang dan dingin mendahuluinya.
“Jadi, Riana sudah menikahinya, dan dia kehilangan ingatannya.” Bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. Lekky tidak perlu menunggu jawaban untuk tahu kebenarannya.
Varmount hanya terkekeh, nada suaranya terdengar seperti seseorang yang tengah menikmati ironi. “Ya,” jawabnya santai. “Lupakan saja dia. Dia bahkan sudah tidak mengingatmu. Anggap saja kau sudah dibuang.”
Lekky menghembuskan asap rokoknya perlahan, matanya yang tajam menyipit menatap Varmount. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya, tapi bukan senyum yang mencerminkan keterkejutan atau kekecewaan—lebih seperti ekspresi seseorang yang baru saja mendengar lelucon yang membosankan.
“Dibuang, ya?” Lekky mengulang kata-kata itu dengan nada santai, seolah mempertimbangkannya. “Yuki mungkin kehilangan ingatannya, tapi aku meragukan dia benar-benar bisa melupakanku.”
Varmount mengangkat bahu, lalu menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan sikap santai. “Itu yang kau percaya? Baiklah. Tapi pada kenyataannya, dia sekarang adalah milik Riana. Dia bahkan tidak mengingatmu, Lekky. Tidak ada gunanya bersikeras.”
Lekky memiringkan kepalanya sedikit, menekan rokok di tepi asbak, membiarkan bara merahnya padam. “Aku tidak peduli siapa yang mengklaim memiliki Yuki sekarang. Ingatan itu bisa hilang, tapi perasaan… tidak semudah itu.”
Varmount menatapnya lama, lalu tertawa pelan. “Jadi kau masih belum menyerah?”
Lekky hanya tersenyum samar. “Aku tidak pernah menyerah.” Dia bersandar di kepala ranjang, meregangkan tubuhnya yang masih terluka dengan santai. “Kehilangan ingatan bukan berarti kehilangan segalanya. Lagipula…” Lekky berhenti sejenak, lalu menatap Varmount dengan sorot mata yang penuh bahaya. “Aku tidak pernah membiarkan orang lain mengambil apa yang sudah menjadi milikku.”
Varmount mendengus kesal, sorot matanya penuh amarah dan kelelahan. “Lekky, berhentilah mengganggunya,” suaranya terdengar tajam, hampir seperti peringatan. “Dia cukup baik, sialan, untuk bajingan gila sepertimu. Kau terus membenamkan dirinya dalam kerusakan moralmu. Memanipulasinya begitu gila.”
Lekky tak segera menjawab. Ia hanya mengisap rokoknya sekali lagi, membiarkan asap putih itu memenuhi udara sebelum akhirnya menghembuskannya dengan tenang. Matanya yang berbahaya dan dalam menatap Varmount dengan tatapan penuh makna, seolah ia menyimpan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Lalu, dengan suara rendah, hampir seperti bisikan, ia berkata, “Itu karena bahkan di neraka pun, aku ingin bersamanya.”
Varmount mengusap wajahnya dengan frustrasi, matanya menatap Lekky yang masih duduk tenang di ranjang, menghisap rokoknya tanpa ekspresi.
“Lekky, banyak wanita yang bisa kau ajak bersenang-senang dan ke neraka bersamamu,” katanya, suaranya lebih lembut, tapi tetap penuh tekanan. “Gadis itu… Demi Tuhan. Biarkan dia hidup dengan normal.”
Lekky tidak langsung merespons. Ia menatap Varmount dengan sorot mata yang sulit ditebak, seperti seseorang yang sedang menimbang-nimbang sesuatu. Asap rokok kembali membumbung di udara saat ia menghembuskannya perlahan.
“Aku bicara ini demi kebaikan kalian berdua,” lanjut Varmount, suaranya sedikit melemah. Ada kelelahan di sana—keputusasaan dari seseorang yang tahu bahwa kata-katanya mungkin tidak akan pernah benar-benar didengar.