Dalam keheningan, Nara Wibowo berkembang dari seorang gadis kecil menjadi wanita yang mempesona, yang tak sengaja mencuri hati Gala Wijaya. Gala, yang tak lain adalah sahabat kakak Nara, secara diam-diam telah menaruh cinta yang mendalam terhadap Nara. Selama enam tahun lamanya, dia menyembunyikan rasa itu, sabar menunggu saat Nara mencapai kedewasaan. Namun, ironi memainkan perannya, Nara sama sekali tidak mengingat kedekatannya dengan Gala di masa lalu. Lebih menyakitkan lagi, Gala mengetahui bahwa Nara kini telah memiliki kekasih lain. Rasa cinta yang telah lama terpendam itu kini terasa bagai belenggu yang mengikat perasaannya. Di hadapan cinta yang bertepuk sebelah tangan ini, Gala berdiri di persimpangan jalan. Haruskah dia mengubur dalam-dalam perasaannya yang tak terbalas, atau mempertaruhkan segalanya untuk merebut kembali sang gadis impiannya? Ikuti kisahnya dalam cerita cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIGA PULUH SATU
Nara melangkah cepat ke dapur, meninggalkan detak jantung Gala yang masih berdegup kencang, memikirkan apa yang sebenarnya dia rasakan. Gala tahu apa yang Nara melakukan kali ini hanya sekedar merasa kasihan, dan karena rasa tanggung jawabnya, tapi Gala selalu berharap lebih dari sikap Nara.
Saat Nara kembali ke kamar membawa segelas air hangat, mata Gala tak bisa berpaling darinya. Setiap gerakannya, setiap langkahnya—semuanya terasa berbeda kali ini.
Ada yang aneh dari sorot mata Nara kali ini. Bukan kebencian yang biasa Gala tangkap, bukan sikap dingin dan nada judes yang Gala dengar dari bibir Nara kali ini. Tapi suara lembut dan tatapan hawatir tergambar jelas dari cara Nara menatap Gala.
"Ini, minumlah obat anti nyeri dan antibiotik untuk lukamu,Prof," ujar Nara, menyodorkan tiga butir obat ke tangan Gala dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Terima kasih," kata Gala, suaranya nyaris tak terdengar.
"Em," gumam Nara pelan. Nara berbalik, menghindari tatapan mata Gala, langkahnya terkesan terburu-buru seolah ingin menghindar.
Namun refleks, tangan Gala bergerak lebih cepat daripada pikiranya. Gala menarik pergelangan tangan Nara sebelum dia benar-benar pergi. "Nara..." suara itu tertahan, tapi di balik kata itu ada ribuan emosi yang ingin Gala katakan.
Nara merasakan tarikan pada tangannya, menoleh dengan cepat dan menemukan mata Gala yang menyiratkan kekhawatiran.
"Diamlah di sini, saya masih merasa sedikit pusing," pinta Gala dengan suara yang serak.
Nara mengangguk, lalu duduk kembali di tepi tempat tidur. Dia memperhatikan dengan seksama saat Gala menelan obat satu persatu ke dalam mulutnya. Entah kenapa tiba tiba, Nara menggenggam tangan Gala.Gala memejamkan matanya sejenak, meresapi kehangatan dari tangan Nara, kemudian membuka mata, menatap Nara dengan rasa tak percaya.
"Sikapmu berbeda kali ini, apa kamu mengingat sesuatu, Ara...?" tanya Gala mencoba memancing ingatan Nara. Nara tersentak, menatap Gala dengan lekat lalu kembali mengontrol wajah terkejutnya.
"Tidak, aku tak mengingat apapun," ujar Nara, mencoba menutupi kebenara.
"Oo...gak papa, pelan pelan saja,jangat terlalu dipaksakan," ucap Gala membalas genggaman tangan sang istri.Nara hanya tersenyum.
"Emm...aku akan berusaha mengingatnya," jawab Nara asal.
Malam itu,Nara tetap duduk di samping Gala, menjaga sampai lelaki itu tertidur, meski ada rasa mengganjal di hatinya, namun Nara tetap menemani Gala hingga pagi.
Cahaya matahari pagi yang lembut menyelinap masuk melalui celah-celah tirai, membangunkan Gala dari tidur lelapnya. Dengan rasa segar yang menyelimuti tubuhnya, ia bangkit dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi untuk mandi, meninggalkan Nara yang masih terlelap di atas ranjang.
Sementara Gala sibuk di kamar mandi, suara deringan ponselnya yang terletak di meja samping tempat tidur mengejutkan Nara. Dengan rasa penasaran yang memuncak, ia cepat-cepat meraih ponsel suaminya itu. Layar menunjukkan ada pesan WhatsApp baru dari seorang bernama Gilsa, yang foto profilnya setangkai bunga mawar.
Nara lalu menarik ke bawah, notif yang masuk di ponsel Gala, ia membaca pesan itu tanpa membukanya. Isi pesannya singkat namun cukup untuk membuat nafas Nara tercekat, "Mas, jadikan pagi ini anter aku ke dokter kandungan?" Genggaman Nara pada ponsel itu semakin erat, matanya tidak berkedip menatap pesan tersebut.
Nara buru buru meletakkan ponsel Gala ketempat semula, saat suara kunci pintu kamar mandi dibuka. Tak lama keluar Gala dengan wajah lebih segar. Nara menatap Gala dengan wajah datar tanpa ekspresi.
"Ada apa?," tanya Gala merasa tatapan Nara seperti hantu yang tengah menahan amarah.
"Apa Prof akan pergi?" tanya Nara, berharap Gala memberitahunya prihal kegiatan hari ini.
"Ya, saya ada kegiatan di luar," ucap Gala, sepertinya tak ingin memberi tahu Nara.
"Tapi Prof, lukamu masih belum sembuh,kamu bahkan baru keluar dari rumah sakit" ujar Nara menata hawatir.
"Tak apa, ini hanya luka kecil saja," ujar Gala sembari mengenakan kemeja pilihannya sendiri. Nara pun buru buru bersiap ia ingin kembali membuntuti suaminya.
"Saya pergi dulu, saya pulang sedikit terlambat," ujar Gala buru buru, setelah ponselnya kembali berdering.
"Tunggu, Prof saya ikut," sontak langkah Gala terhenti, menatap Nara tak berkedip.
"Maksudku, saya ikut sampai kampus" Nara meralat ucapannya.
Gala mengangguk,"ayo, saya tunggu di mobil" ujar Gala melangkah keluar.Saat di mobil ponsel Gala kembali berdering.
"Iya, Mas sudah jalan, tunggu sebentar?" Gala berkata dengan nada santai yang luar biasa, seakan tidak memperhatikan bahwa di sebelahnya terdapat hati seorang wanita yang remuk. Setelah sambungan teleponnya terputus, Nara tak mampu lagi menahan diri untuk diam.
"Apa tidak ada yang ingin Prof jelaskan padaku?" ucapannya menggantung di dalam mobil, saat sebelum turun. Gala membalikkan badan, matanya menatap Nara dengan rasa kebingungan yang membingungkan.
"Menjelaskan? Sepertinya tidak ada yang harus saya jelaskan," jawabnya, seolah-olah tidak ada beban di bahunya.
"Oo...oke..." Nara membalas dengan suara serak, penuh kekecewaan yang dalam. Lalu, dengan langkah cepat, dia turun dari mobil Gala.
Setelah dikira aman,Nara segera masuk ke taxi yang sudah ia pesan, untuk menguntit suaminya, benar saja ternyata mobil Gala menuju rumah sakit. Sialnya saat Nara memasuki gerbang masuk, taxi yang Nara tumpangi terjebak macet, menunggu antrean kartu parkir. Alhasil Nara turun dan berjalan menuju rumah sakit yang Gala tuju.
Kali ini Nara kehilangan jejak suaminya. Mata nara terlihat celingukan, mencari sosok yang ia cari, hingga tak sengaja Nara menabrak seseorang di belakangnya.
"Maaf...." Nara dengan cepat memungut dompet seseorang yang ia tabrak dengan tak sengaja tadi.
Perlahan Nara meraih kartu identitas yang keluar dari dompet, matanya tajam tertuju pada foto tercetak di sana—Gilsa Amanda, status: kawin. Dia mendongak perlahan, mengunci pandangan pada wajah wanita yang tertera sebagai pemilik kartu tersebut.
"Jadi benar dugaanku, mereka sudah menikah?"Nara menelan ludahnya serat.
Jantung Nara berdebar keras saat suara yang tidak asing lagi terdengar memanggil wanita itu.
"Ayo Dek, sudah Mas daftarkan," ucap Gala dengan kelembutan yang mencengkeram hati Nara. "Oh, iya Mas..." sahut Gilsa dengan nada manja. Nara berbalik, matanya menembus Gala dengan tatapan yang setajam silet.
Gala yang tampak terkejut segera mendekati Nara dengan langkah tergesa-gesa.
"Kamu di sini juga? Kamu sakit? Kenapa tidak bilang saya?" Gala memberondong Nara dengan seribu pertanyaan, kecemasannya tampak jelas dalam tiap tatapannya, seolah-olah menutupi kegelisahan lain.
Dalam sekejap, realitas bagi Nara bergeser—darahnya mengalir dingin menyaksikan suaminya bukan merasa terpojok karena ketahuan bersama wanita lain.
"kenapa dia bisa sesantai ini?" batin Nara tersenyum getir.
Amarah dan kesedihan bercampur menjadi racun dalam dada Nara, mengetahui bahwa orang yang seharusnya menjaga hatinya, kini bermain api di belakangnya.
"Emm... aku baik-baik saja, Prof," ucap Nara, dengan suara yang tersendat, seakan ada simpul tak terlihat yang menahan kata-katanya keluar dari tenggorokan. Nara mencoba terlihat tenang, tetapi dadanya berdebar kencang. Sebelum Nara sempat menarik napas, Gilsa—istri sah Gala—memotong dengan nada penuh keheranan, seolah pisau tajam di tengah obrolan yang tidak pernah kuinginkan.
"Siapa dia, Mas? Kamu kenal dia?" Pertanyaannya meluncur cepat, terdengar seperti penghakiman yang menyudutkan posisi Nara tanpa ampun. Nara menatap Gala, mencari celah untuk menguasai situasi, tetapi bibir Nara rasanya terkunci, enggan untuk membeberkan apa pun yang bisa mengobarkan konflik lebih jauh. Sebelum Gala sempat angkat bicara, Nara memutuskan untuk menyalip, dengan suara yang bergetar pelan.
"Kenalkan, saya mahasiswi Pak Gala." Hati Nara serasa runtuh saat kalimat itu terucap. Ia tahu itu satu-satunya cara untuk meredam situasi di depan umum. Tetapi pikiran buruk berputar cepat dalam benak Nara.
Tubuhnya terasa menggigil membayangkan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi di sini—keributan di tengah orang-orang, teriakan yang membongkar hubungannya dengan Gala, lalu hinaan yang membanjir seperti hujan deras.
"Apa yang akan mereka katakan jika tahu aku hanyalah istri sirihnya? Apa yang akan Gilsa lakukan padaku?" Pertanyaan itu menggema dalam pikirannya.
Bayangan dimana Nara pernah melihat bagaimana para perempuan di posisi seperti ini dihakimi habis-habisan oleh masyarakat. Pikiran itu mengiris lebih tajam daripada kenyataan yang ia jalani.
"Aku bukan pelakor,..Bukan...." batin Nara berusaha membela diri, tetapi rasa takut telah menguasai seluruh keberadaannya saat ini. Sebuah doa diam-diam Nara ucapkan di dalam hati, memohon agar hari ini bisa berlalu tanpa harus kehilangan lebih banyak lagi.
Sementara di posisi lain, Gala yang mendengar jawaban Nara, merasakan sesuatu yang pecah di dalam dadanya. Pikiran bahwa Nara masih tak mengakui keberadaan dirinya sebagai suami, mungkin karena Nara merasa malu mempunyai suami yang berusia lebih tua, itu membayang di benak Gala seolah menjadi pisau yang mengiris hatinya. Sebuah senyum terkembang pada wajah Gala, senyum pahit yang seakan menyimpan lautan duka di baliknya.
"Oh, mahasiswi Mas Gala, saya pikir tadi... Ada sesuatu yang lebih." ceplos Gilsa.
Melihat ketegangan di wajah Nara, Gala berusaha mencairkan suasana.
"Ya sudah, ayo Dek, dokter Mira sudah menunggu," katanya pada Gilsa.
"Emm...saya akan mengantar Gilsa. Kamu mau ikut?" Gala menawarkan pada Nara dengan harap. Nara tampak berpikir sejenak lalu dengan cepat menggeleng.
"Saya ada janji temu dengan dokter Mata," tolaknya lembut. Gala mengangguk.
"Jika begitu, tunggu saya. Saya akan menemani kamu setelah bertemu dokter Mira," Gala berharap Nara mau menunggunya kali ini.
Tanpa Gala sadari, bahwa Gilsa terus memperhatikan interaksi yang katanya hanya berstatus dosen dan mahasiswinya.
Gilsa menyipit, merasa ada yang berbeda dari sikap Gala pada mahasiswinya itu.