Sea adalah gadis yang selalu menemukan kedamaian di laut. Ombak yang bergulung, aroma asin yang menyegarkan, dan angin yang berbisik selalu menjadi tempatnya berlabuh saat dunia terasa menyesakkan. Namun, hidupnya berubah drastis ketika orang tuanya bangkrut setelah usaha mereka dirampok. Impiannya untuk melanjutkan kuliah harus ia kubur dalam-dalam.
Di sisi lain, Aldo adalah seorang CEO muda yang hidupnya dikendalikan oleh keluarga besarnya. Dalam tiga hari, ia harus menemukan pasangan sendiri atau menerima perjodohan yang telah diatur orang tuanya. Sebagai pria yang keras kepala dan tak ingin terjebak dalam pernikahan tanpa cinta, ia berusaha mencari jalan keluar.
Takdir mempertemukan Sea dan Aldo dalam satu peristiwa yang tak terduga. Laut yang selama ini menjadi tempat pelarian Sea, kini mempertemukannya dengan pria yang bisa mengubah hidupnya. Aldo melihat sesuatu dalam diri Sea—sebuah ketulusan yang selama ini sulit ia temukan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Humairah_bidadarisurga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Sea berdiri kaku di balik tiang teras, tubuhnya mendadak terasa dingin.
"Ini bukan tentang cinta."
Kata-kata Aldo berulang di kepalanya seperti gema yang menyakitkan. Ia tidak tahu kenapa hatinya terasa nyeri mendengarnya, padahal sejak awal ia tahu bahwa pernikahan ini hanyalah sebuah kesepakatan. Tapi mendengar Aldo mengatakan itu dengan suara ragu, seolah ia tidak pernah memikirkannya sama sekali, membuatnya sadar betapa ia sudah terlalu berharap lebih.
Clara masih menatap Aldo dengan penuh keyakinan. "Jadi, kau menikahinya hanya karena tuntutan orang tuamu?"
Aldo tidak segera menjawab. Ia menghela napas panjang, lalu menatap Clara dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Ya."
Jawaban itu menghantam dada Sea lebih keras daripada yang ia perkirakan.
Clara tertawa kecil, tapi tawanya terdengar getir. "Aku tidak percaya kau benar-benar melakukannya. Aku pikir kau akan tetap keras kepala seperti biasanya."
Aldo menggeleng pelan. "Aku lelah berdebat dengan mereka."
Clara menatapnya lekat-lekat. "Tapi kalau kau menikahi seseorang yang tidak kau cintai, lalu apa gunanya semua ini? Kau tidak bahagia, kan?"
Aldo tidak menjawab. Diamnya sudah cukup memberi jawaban bagi Sea.
Sea ingin berbalik dan pergi, tapi tubuhnya terasa berat. Ada dorongan kuat dalam dirinya untuk tetap mendengarkan.
Clara melangkah lebih dekat ke Aldo. "Lalu bagaimana denganku, Aldo?"
Aldo terdiam, matanya seolah menyimpan ribuan kata yang tidak terucap.
"Aku menunggumu," lanjut Clara dengan suara lirih. "Aku berpikir kau hanya butuh waktu, bahwa suatu hari kau akan mencariku lagi."
Sea menggigit bibirnya. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya.
Aldo akhirnya membuka mulut, suaranya rendah dan penuh beban. "Clara... aku tidak bisa mengubah masa lalu."
Clara tersenyum pahit. "Tapi kau masih mencintaiku, bukan?"
Sea menahan napas.
Ia menunggu jawaban Aldo dengan hati yang sudah terlanjur hancur.
Aldo tidak langsung menjawab, tapi setelah beberapa saat, ia akhirnya berkata dengan suara nyaris tak terdengar.
"Aku tidak tahu."
Jawaban itu seharusnya menjadi hal yang melegakan bagi Sea. Seharusnya. Tapi yang ia rasakan justru sebaliknya.
Jika Aldo benar-benar sudah melupakan Clara, maka ia seharusnya bisa menjawab dengan tegas. Tapi kenyataan bahwa Aldo masih ragu… itu lebih menyakitkan daripada mendengar bahwa pria itu masih mencintai wanita lain.
Sea sadar ia tidak bisa berada di sana lebih lama.
Ia berbalik dan berjalan cepat meninggalkan tempat itu, tanpa menyadari bahwa Aldo sebenarnya menyadari kehadirannya.
Dan ketika Aldo menoleh, ia hanya bisa melihat punggung Sea yang menjauh dalam kegelapan malam.
Sea berjalan tanpa tujuan di trotoar yang diterangi lampu jalan. Hatinya masih terasa berat setelah mendengar percakapan antara Aldo dan Clara.
"Ini bukan tentang cinta."
"Aku tidak tahu."
Kata-kata itu terus berulang di kepalanya, menyiksa pikirannya yang sudah cukup lelah.
Ia seharusnya tidak kecewa. Sejak awal, pernikahan ini hanyalah kesepakatan. Ia bukan siapa-siapa bagi Aldo. Tapi kenapa rasanya begitu menyakitkan?
Udara malam yang dingin menusuk kulitnya, tetapi Sea tidak peduli. Ia terus melangkah, berharap angin malam bisa sedikit menenangkan pikirannya.
Namun, langkahnya terhenti saat ponselnya bergetar. Nama Aldo tertera di layar.
Sea menggigit bibirnya. Ia ingin mengabaikannya, tapi entah kenapa jarinya bergerak sendiri, mengangkat panggilan itu.
"Sea, kamu di mana?" Suara Aldo terdengar rendah dan tajam.
Sea menghela napas. "Di luar."
"Kamu pergi tanpa bilang apa-apa."
Sea tersenyum pahit. "Aku hanya butuh udara segar."
"Beritahu aku lokasimu. Aku akan menjemput."
"Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri."
"Tidak." Aldo terdengar tegas. "Aku akan menjemputmu."
Sebelum Sea bisa membantah, panggilan sudah terputus.
Ia menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Kenapa Aldo terdengar begitu cemas? Apa dia khawatir? Atau hanya sekadar mengontrolnya seperti yang selalu ia lakukan?
Lima belas menit kemudian, mobil Aldo berhenti di pinggir jalan. Pria itu keluar dari mobil dan langsung berjalan ke arahnya.
"Kamu kenapa pergi sendiri di malam begini?" Aldo bertanya dengan nada sedikit marah, tetapi sorot matanya menunjukkan sesuatu yang berbeda.
Sea menatapnya tanpa ekspresi. "Aku butuh waktu sendiri."
Aldo menghela napas panjang. "Masuk ke mobil."
Sea menimbang sejenak sebelum akhirnya menurut. Ia tidak ingin berdebat.
Saat mobil melaju, keheningan menyelimuti mereka.
Sea akhirnya membuka suara. "Aku dengar percakapanmu dengan Clara."
Aldo yang sedang fokus menyetir menegang seketika.
Sea tersenyum kecil, tapi matanya tidak menunjukkan kebahagiaan. "Jadi… kamu masih ragu dengan perasaanmu terhadapnya?"
Aldo tidak langsung menjawab.
Sea menunggu, tapi yang ia dapatkan hanyalah kesunyian.
Sea tertawa pelan, meskipun hatinya terasa nyeri. "Aku mengerti."
Aldo akhirnya menoleh sebentar, ekspresinya tidak terbaca. "Sea…"
"Tidak apa-apa," potong Sea cepat. "Seharusnya aku tidak berharap lebih, bukan?"
Aldo menggenggam setir lebih erat. "Bukan begitu maksudku."
"Kalau begitu, apa maksudmu?"
Aldo terdiam.
Sea menatap ke luar jendela, mencoba menahan air matanya. "Aku lelah, Aldo."
Mobil berhenti di depan apartemen. Aldo menatapnya, tetapi Sea sudah lebih dulu membuka pintu dan keluar tanpa berkata apa-apa.
Aldo hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh, merasa ada sesuatu yang perlahan mulai menjauh dari genggamannya.
Sea menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur, menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Malam ini terasa lebih sunyi daripada biasanya.
Ia ingin marah, ingin menangis, tetapi ia tahu itu tidak akan mengubah apa pun. Perasaannya pada Aldo hanyalah sesuatu yang tidak seharusnya ada.
"Seharusnya aku tidak berharap lebih."
Pikiran itu terus berputar di kepalanya, membuat hatinya semakin sesak.
Tak lama kemudian, terdengar ketukan di pintu.
Sea enggan bangkit, tetapi ketukan itu terus berlanjut. Dengan berat hati, ia berjalan dan membuka pintu.
Aldo berdiri di sana.
Pria itu tampak berbeda. Matanya tajam, tetapi ada kegelisahan yang tersembunyi di balik sorotannya.
"Kita perlu bicara," kata Aldo.
Sea menghela napas. "Tentang apa lagi?"
Aldo melangkah masuk tanpa menunggu izin, membuat Sea mundur selangkah.
"Aku tidak ingin ada kesalahpahaman di antara kita," kata Aldo serius.
Sea tertawa sinis. "Kesalahpahaman? Aku rasa aku sudah cukup memahami semuanya."
Aldo menatapnya dalam. "Sea, aku memang tidak yakin dengan perasaanku terhadap Clara. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan apa yang aku rasakan saat bersamamu."
Jantung Sea berdetak lebih cepat. "Jangan berkata seperti itu jika kamu sendiri masih ragu."
"Aku tidak ragu," potong Aldo cepat. "Aku hanya tidak tahu bagaimana menghadapinya."
Sea menggeleng, tersenyum pahit. "Kamu hanya terbiasa mengontrol segalanya, Aldo. Tapi perasaan bukan sesuatu yang bisa kamu atur sesuka hati."
Aldo terdiam. Ia tidak bisa membantah kata-kata Sea.
Sea menarik napas panjang. "Aku butuh waktu, Aldo. Aku tidak bisa terus terjebak dalam situasi yang tidak pasti seperti ini."
Aldo menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Baik. Aku akan memberimu waktu."
Sea tidak menjawab. Ia hanya menutup pintu perlahan, meninggalkan Aldo di luar dengan pikirannya sendiri.
Di balik pintu, Sea menyandarkan kepalanya, matanya mulai basah.
Aldo mungkin memberinya waktu. Tapi apakah waktu akan cukup untuk menyembuhkan luka yang sudah terlanjur ada?
Sea menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur, menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Malam ini terasa lebih sunyi daripada biasanya.
Ia ingin marah, ingin menangis, tetapi ia tahu itu tidak akan mengubah apa pun. Perasaannya pada Aldo hanyalah sesuatu yang tidak seharusnya ada.
"Seharusnya aku tidak berharap lebih."
Pikiran itu terus berputar di kepalanya, membuat hatinya semakin sesak.
Tak lama kemudian, terdengar ketukan di pintu.
Sea enggan bangkit, tetapi ketukan itu terus berlanjut. Dengan berat hati, ia berjalan dan membuka pintu.
Aldo berdiri di sana.
Pria itu tampak berbeda. Matanya tajam, tetapi ada kegelisahan yang tersembunyi di balik sorotannya.
"Kita perlu bicara," kata Aldo.
Sea menghela napas. "Tentang apa lagi?"
Aldo melangkah masuk tanpa menunggu izin, membuat Sea mundur selangkah.
"Aku tidak ingin ada kesalahpahaman di antara kita," kata Aldo serius.
Sea tertawa sinis. "Kesalahpahaman? Aku rasa aku sudah cukup memahami semuanya."
Aldo menatapnya dalam. "Sea, aku memang tidak yakin dengan perasaanku terhadap Clara. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan apa yang aku rasakan saat bersamamu."
Jantung Sea berdetak lebih cepat. "Jangan berkata seperti itu jika kamu sendiri masih ragu."
"Aku tidak ragu," potong Aldo cepat. "Aku hanya tidak tahu bagaimana menghadapinya."
Sea menggeleng, tersenyum pahit. "Kamu hanya terbiasa mengontrol segalanya, Aldo. Tapi perasaan bukan sesuatu yang bisa kamu atur sesuka hati."
Aldo terdiam. Ia tidak bisa membantah kata-kata Sea.
Sea menarik napas panjang. "Aku butuh waktu, Aldo. Aku tidak bisa terus terjebak dalam situasi yang tidak pasti seperti ini."
Aldo menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Baik. Aku akan memberimu waktu."
Sea tidak menjawab. Ia hanya menutup pintu perlahan, meninggalkan Aldo di luar dengan pikirannya sendiri.
Di balik pintu, Sea menyandarkan kepalanya, matanya mulai basah.
Aldo mungkin memberinya waktu. Tapi apakah waktu akan cukup untuk menyembuhkan luka yang sudah terlanjur ada?