Gagal menikah!One night stand dengan pria asing yang tak dikenalnya.
Anggun terancam dijodohkan oleh keluarganya, jika dia gagal membawa calon suami dalam acara keluarga besarnya yang akan segera berlangsung.
Tapi secara tak sengaja berpapasan dengan pria asing yang pernah bermalam dengannya itu pun langsung mengajak si pria menikah secara sipil.Yang bernama lengkap Sandikala Mahendra.Yang rupanya Anggun tidak tahu siapa sosok pria itu sebenarnya.
Bukan itu saja kini dia lega karena bisa menunjukkan pada keluarga besarnya jika dia bisa mendapatkan suami tanpa dijodohkan dengan Darma Sanjaya.
Seorang pemuda playboy yang sangat dia benci.Karena pria itu telah menghamili sahabat baik Anggun tapi tidak mau bertanggung jawab.Pernikahan asal yang dilakukan Anggun pun membuat dunia wanita itu dan sekaligus keluarga besarnya menjadi berubah drastis dalam sekejap.
Akankah pernikahan Anggun berakhir bahagia?Setelah mengetahui siapa sosok pria itu sebenarnya?Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mitha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Malam semakin larut, tetapi kehangatan di rumah keluarga Anggun belum mereda. Setelah sesi tanya-jawab yang membuat Anggun cukup frustrasi, keluarganya terus menggali lebih dalam tentang hubungan mereka. Sayangnya, Kala tampak menikmati setiap detiknya.
Setelah berjam-jam berbincang, akhirnya sebagian besar anggota keluarga berpamitan untuk beristirahat. Anggun menghela napas panjang ketika pintu kamar tertutup dan meninggalkannya berdua dengan Kala di kamar tamu yang disediakan untuk mereka.
Kala duduk di tepi tempat tidur, membuka kancing kemejanya satu per satu dengan santai. Anggun yang sedang membereskan koper melirik ke arahnya dengan kesal.
"Kenapa kau terlihat begitu menikmati semua ini?" gerutunya.
Kala menoleh, lalu tersenyum jahil. "Maksudmu? Aku hanya menjadi menantu yang baik."
Anggun mendecak. "Menantu yang baik atau aktor yang terlalu berbakat?"
Kala terkekeh pelan. "Bukankah itu yang kau inginkan? Pernikahan pura-pura yang sempurna di mata keluargamu?"
Anggun terdiam. Memang benar. Ia menginginkan ini. Tapi ia tidak menyangka Kala akan masuk begitu dalam ke dalam perannya.
"Aku hanya tidak menyangka kau akan repot-repot menyiapkan semuanya, bahkan sebelum aku berpikir untuk mengurusnya," gumamnya akhirnya.
Kala bangkit dan berjalan ke arahnya. "Aku tidak ingin melihatmu stres. Lagipula, kalau aku membantumu, bukankah segalanya jadi lebih mudah?"
Anggun menghela napas. Ia membenci fakta bahwa kata-kata itu ada benarnya.
"Tapi kau membawakan terlalu banyak hadiah," gumamnya sambil melirik koper besar yang berisi berbagai macam oleh-oleh dan barang mahal yang diberikan Kala untuk keluarganya.
Kala mengangkat bahu santai. "Aku hanya ingin memastikan mereka senang."
Anggun memutar matanya dan duduk di tepi tempat tidur. "Mereka memang senang… bahkan mungkin terlalu senang."
Kala tertawa pelan, lalu duduk di sampingnya. "Jadi, kau cemburu karena aku lebih populer dari dirimu di rumah ini?"
Anggun menoleh cepat. "Apa? Tentu tidak!"
Kala menatapnya dengan seringai kecil. "Kau yakin?"
Tatapan itu membuat Anggun gugup. Ia langsung beranjak berdiri dan berpura-pura sibuk merapikan sesuatu di meja kecil di dekat tempat tidur.
Kala masih memperhatikannya dari belakang. "Anggun," panggilnya pelan.
Anggun berhenti, tetapi tidak menoleh.
"Apa?"
Kala terdiam sejenak, lalu berkata, "Jika ini bukan pura-pura… apa kau akan membiarkanku tetap di sisimu?"
Pertanyaan itu membuat Anggun membeku di tempat. Dadanya terasa sesak, seolah udara di ruangan ini tiba-tiba menghilang.
Ia menggigit bibir, berusaha mengendalikan emosinya sebelum akhirnya berkata, "Jangan mulai mengaburkan batasan ini, Kala."
Kala tersenyum kecil, meskipun Anggun tidak melihatnya. "Baiklah. Aku hanya ingin tahu."
Anggun tahu, mereka tidak boleh melewati batas itu. Tapi kenapa rasanya semakin sulit?
---
Keesokan paginya
Pagi di Tasikmalaya selalu terasa lebih damai dibandingkan di Jakarta. Udara segar, suara ayam berkokok, dan aroma masakan dari dapur membuat suasana terasa begitu nyaman.
Anggun bangun lebih awal dan berjalan keluar kamar. Ketika sampai di dapur, ia terkejut melihat Kala sudah duduk di meja makan bersama ibunya, menyantap sarapan dengan santai.
"Ibu, kau tidak membangunkanku?" tanya Anggun dengan nada sedikit protes.
Ibunya tertawa kecil. "Kala sudah bangun lebih dulu dan membantu di dapur. Jadi, ibu pikir kau bisa tidur lebih lama."
Anggun menatap Kala dengan curiga. "Kau membantu di dapur?"
Kala menyesap kopinya dengan tenang. "Aku hanya ingin mengambil hati ibu mertuaku."
Ibu Anggun terkekeh senang. "Anak ini memang baik sekali. Anggun, kau harus bersyukur mendapatkan suami sepertinya."
Anggun hanya bisa tersenyum canggung.
Saat itu, paman Anggun masuk ke dapur dan menepuk bahu Kala. "Nak, nanti sore kita akan mengadakan acara kecil-kecilan di halaman belakang. Kau harus ikut!"
Kala mengangguk dengan ramah. "Tentu saja, Pak."
Anggun menatapnya curiga. "Apa yang kalian rencanakan?"
Pamannya tersenyum misterius. "Rahasia. Kau tinggal tunggu saja."
Anggun semakin curiga.
---
Sore harinya
Ternyata, acara yang dimaksud adalah semacam perayaan kecil untuk menyambut kepulangan Anggun dan "suaminya". Ada panggangan jagung, permainan tradisional, dan bahkan beberapa keluarga dari desa sebelah yang datang untuk bergabung.
Kala tampak sangat menikmati acara itu. Ia bercengkerama dengan para pria dewasa, membantu memanggang sate, dan bahkan ikut bermain bola bersama anak-anak kecil.
Anggun mengamati semuanya dari kejauhan. Ia tidak bisa menyangkal bahwa Kala memang sangat mudah berbaur. Semua orang menyukainya, dan itu membuatnya semakin sulit menjaga batas antara pura-pura dan kenyataan.
"Jadi, kapan kau akan memberiku cucu?" suara ibunya tiba-tiba menyentak pikirannya.
Anggun tersedak minumannya dan buru-buru meletakkan gelasnya. "Ibu!"
Ibunya hanya tertawa kecil. "Apa? Kalian sudah menikah cukup lama. Sudah saatnya, bukan?"
Anggun ingin menghilang saat itu juga.
Dan tentu saja, Kala datang di saat yang tidak tepat.
"Ada apa?" tanyanya sambil duduk di sebelah Anggun.
Ibunya menatapnya dengan penuh harap. "Kala, kapan kalian akan memberiku cucu?"
Kala tampak terkejut sesaat, lalu tersenyum jahil ke arah Anggun. "Tanyakan saja pada istrimu, Bu. Aku selalu siap kapan saja."
Anggun hampir ingin melemparkan sesuatu ke arahnya.
Ibunya terkekeh senang. "Anggun, dengar itu? Suamimu siap kapan saja."
Anggun benar-benar ingin kabur sekarang.
---
Malam itu
Setelah acara selesai dan semua orang kembali ke rumah masing-masing, Anggun duduk di teras, menikmati udara malam yang sejuk.
Kala datang dan duduk di sebelahnya, membawa dua cangkir teh.
"Untukmu," katanya sambil menyerahkan salah satunya.
Anggun menerimanya tanpa banyak bicara. Mereka duduk dalam keheningan untuk beberapa saat, menikmati ketenangan malam.
"Aku tidak tahu kau bisa begitu akrab dengan keluargaku," gumam Anggun akhirnya.
Kala tersenyum kecil. "Aku hanya ingin memastikan mereka tidak meragukan kita."
Anggun menatap cangkirnya. "Dan kau berhasil. Mereka bahkan mulai menekan soal cucu."
Kala terkekeh. "Aku tidak keberatan jika benar-benar terjadi."
Anggun menoleh cepat. "Kala—"
Kala menatapnya serius. "Aku hanya bercanda."
Anggun menghela napas. "Jangan bercanda dengan hal seperti itu."
Kala menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, "Baiklah. Aku tidak akan mengaburkan batasan lagi."
Anggun terdiam. Ia tahu, mereka harus menjaga jarak. Tapi kenapa kata-kata itu terasa lebih menyakitkan dari yang seharusnya?
Malam itu, Anggun tidur dengan pikiran yang semakin kacau. Ia tahu bahwa pada akhirnya, sandiwara ini harus berakhir.
Tapi apakah ia benar-benar menginginkan akhirnya?