"Aku mencintainya, tapi akulah alasan kehancurannya. Bisakah ia tetap mencintaiku setelah tahu akulah penghancurnya?"
Hania, pewaris tunggal keluarga kaya, tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Meskipun seluruh sumber daya dan koneksi dikerahkan untuk mencarinya, Hania tetap tak ditemukan. Tidak ada yang tahu, ia menyamar sebagai perawat sederhana untuk merawat Ziyo, seorang pria buta dan lumpuh yang terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya.
Di tengah kebersamaan, cinta diam-diam tumbuh di hati mereka. Namun, Hania menyimpan rahasia besar yang tak termaafkan, ia adalah alasan Ziyo kehilangan penglihatannya dan kemampuannya untuk berjalan. Saat kebenaran terungkap, apakah cinta mampu mengalahkan rasa benci? Ataukah Ziyo akan membalas dendam pada wanita yang telah menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Terancam
Pelayan datang dengan dua gelas cocktail yang tampak biasa saja. Namun, sebelum Clara menyadarinya, Bryan sudah memberikan isyarat halus kepada pelayan itu. Minuman Clara bukan sekadar cocktail biasa.
Clara menerima gelasnya. Ia ingin menolak, tetapi perasaan tidak enak jika menolak membuatnya akhirnya menyeruput sedikit. Rasanya manis, asam, pahit dan sedikit menyegarkan. Ia berpikir, mungkin tidak ada salahnya menikmati malam ini sedikit.
Namun, tak lama setelah meneguknya, sesuatu terasa aneh.
Dada Clara mulai terasa panas, kepalanya semakin berat, pandangannya sedikit berputar. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba mengabaikan rasa aneh yang mulai menjalar ke seluruh tubuhnya.
“Bryan…” Clara menyentuh pelipisnya. “Aku merasa sedikit pusing.”
Bryan langsung mendekat, ekspresi khawatir terlukis di wajahnya. “Kau baik-baik saja? Mungkin kau terlalu lelah.”
Clara mengangguk pelan. “Mungkin… Aku hanya butuh udara segar.”
Tapi saat ia mencoba berdiri, tubuhnya terasa lemah. Ia hampir jatuh jika Bryan tidak segera menangkapnya.
“Kau benar-benar tidak baik-baik saja.” Suara Bryan terdengar lembut, tetapi di balik itu, ada nada kemenangan.
“Ayo kita pergi ke tempat yang lebih tenang,” lanjutnya, membimbing Clara menjauh dari keramaian.
Clara ingin menolak, ingin mengatakan bahwa ia butuh pulang, tetapi bibirnya terasa berat untuk bergerak. Kesadarannya mulai kabur.
Bryan dan Clara masuk ke sebuah kamar. Ruangan itu terasa panas, atau mungkin hanya tubuhnya yang mulai kehilangan kendali. Clara membuka matanya setengah, pandangannya buram. Kepalanya terasa ringan, pikirannya melayang, seakan berada di antara sadar dan mimpi.
Di sisinya, Bryan menatapnya dengan sorot penuh arti. Tangannya menyentuh wajahnya, membelai lembut seakan menunggu sebuah jawaban.
"Clara…" suara Bryan nyaris seperti bisikan.
Clara mengerjap, dadanya naik turun dengan napas tersengal. Ia tidak tahu apa yang terjadi padanya, hanya ada perasaan kosong yang perlahan-lahan terisi oleh kehangatan yang mengalir dari sentuhan Bryan. Entah itu efek minuman atau perasaan yang ia pendam, tetapi saat Bryan mendekat, ia tidak menghindar.
Sebuah senyum samar muncul di bibir Bryan, seolah membaca isyarat dalam sorot mata Clara.
"Kalau kau menginginkannya… aku tidak akan menolak," suaranya lembut, namun dalam.
Clara tidak menjawab. Hanya tatapan matanya yang menjadi undangan yang tidak tersampaikan lewat kata-kata. Ada sesuatu dalam dirinya yang berbisik bahwa ini salah, bahwa pikirannya tidak jernih, tetapi malam ini, semua logika dan batasan itu terasa kabur.
Bryan menunduk, bibirnya menyentuh pelipis Clara dengan kehati-hatian yang terukur. Seakan masih menunggu sebuah konfirmasi, sebuah isyarat bahwa ia tidak salah langkah. Dan ketika Clara merengkuhnya, mencari kehangatan yang menggulung pikirannya dalam kabut, Bryan pun tidak lagi ragu.
Saat itu, Clara menginginkannya.
Menginginkan sesuatu yang tidak seharusnya ia inginkan sekarang. Melewati batas yang selalu ditekankan orang tuanya dan bahkan selalu di jaga dan dihormati Ziyo.
Dan ketika pagi datang, kenyataan yang menanti bisa saja tidak sehangat malam sebelumnya.
Pagi itu terasa begitu asing.
Sinar matahari menembus celah tirai, menyinari ruangan yang masih diselimuti kehangatan malam sebelumnya. Clara mengerjap pelan, kepalanya masih terasa berat. Namun, saat ia mengubah posisi, menyadari sesuatu yang berbeda, dadanya berdesir.
Tubuhnya terasa lengket oleh keringat, dan yang lebih mengejutkan, ia tidak mengenakan apa pun.
Clara membeku. Perlahan, ia menoleh dan menemukan Bryan masih tertidur di sampingnya, satu lengannya melingkari pinggangnya dengan begitu erat, seakan enggan melepaskannya. Kenyataan menghantamnya dengan keras.
Jantungnya berdetak kencang. Ia berusaha menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan mendorong Bryan menjauh. “Apa yang kau lakukan?!” suaranya terdengar lebih seperti bisikan panik daripada teriakan.
Bryan mengerang pelan, lalu membuka matanya dengan kantuk yang masih melekat. Alih-alih panik atau terkejut, ia justru tersenyum tipis. “Apa maksudmu? Kita sama-sama menginginkannya, Clara.”
Clara terdiam. Kilasan malam itu berputar dalam ingatannya, bagaimana ia menyerahkan dirinya, bagaimana ia tidak menolak sentuhan Bryan, bagaimana ia membiarkan segalanya terjadi, bahkan menginginkannya.
Pikirannya berantakan. Ia bisa saja menyalahkan Bryan, menyalahkan dirinya sendiri, tetapi apa gunanya? Semua telah terjadi. Tidak ada yang bisa diubah.
Bryan bangkit, menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang, menatap Clara yang masih membeku dengan sorot lembut namun penuh arti. Ia mengulurkan tangan, menyentuh bahunya dengan hangat. “Clara, jangan terlihat seperti menyesali ini. Aku akan bertanggung jawab.”
Clara tersenyum kecut, entah kepada dirinya sendiri atau kepada kenyataan yang harus ia hadapi.
Bryan melanjutkan, suaranya terdengar lebih tenang, namun ada nada harapan yang terselip di dalamnya. “Semalam kita melakukannya berulang kali… Jika beruntung, mungkin kau akan hamil.”
Clara menegang. Ia menoleh ke arah Bryan, matanya membesar. Kata-kata itu menggema di pikirannya, menimbulkan perasaan yang tidak bisa ia jelaskan.
Bryan, di sisi lain, tampak puas. Ia tahu, jika Clara hamil, maka semuanya akan menjadi lebih mudah baginya.
Pernikahan akan segera menyusul, dan pada akhirnya, ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan.
***
Hania baru saja selesai mengeringkan rambut Ziyo ketika Prastyo masuk ke ruangan dengan ekspresi cemas. Ia melirik sekilas ke arah Hania, ragu sejenak sebelum berbicara.
Ziyo, yang bisa merasakan keraguan itu, hanya berkata dengan tenang, “Bicaralah, Pak Pras. Tidak masalah jika ada orang lain di sini.”
Prastyo masih tampak ragu, tapi akhirnya ia menghela napas dan berkata, “Posisi Tuan saat ini sedang tidak bagus. Sebagian besar pemegang saham mulai condong ke pihak Nyonya Diva.”
Ziyo tidak bereaksi, tetapi ekspresinya mengeras.
“Dengan kondisi Tuan saat ini…” Prastyo melanjutkan dengan hati-hati, “… mayoritas pemegang saham kemungkinan besar akan mendukung Nyonya Diva.”
Hania yang berdiri di sudut ruangan merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.
“Tapi jika kita memiliki investor yang cukup besar dan berpihak pada kita, Tuan bisa bertahan di posisi Tuan.”
Sejenak, ruangan itu dipenuhi keheningan.
Ziyo terdiam, mencerna kata-kata Prastyo dengan penuh pertimbangan. Jemarinya yang bertumpu pada sandaran kursi bergerak perlahan, seperti sedang menimbang sesuatu di pikirannya.
“Investor besar, ya?” gumamnya pelan, nyaris seperti berbicara pada diri sendiri.
Wajahnya tetap tanpa ekspresi, namun ada kilatan ketajaman dalam sorot matanya yang kosong. Ia tahu dunia bisnis tidak mengenal belas kasihan. Jika tidak bertahan, maka akan tersingkir.
“Kita butuh seseorang yang tidak hanya punya modal, tapi juga keberpihakan yang jelas.” Suaranya tenang, tapi ada ketegasan di dalamnya. “Bukan sekadar uang, tapi seseorang yang benar-benar ingin melihatku tetap berdiri di sini.”
Ziyo menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Pertanyaannya, Pak Pras... siapa yang bisa kita percaya?”
Prastyo menatap Ziyo dengan sorot mata penuh pertimbangan. Ia tahu Tuan Muda-nya ini tidak akan menerima jawaban asal-asalan.
“Seseorang yang bisa kita percaya…” Prastyo mengulang kata-kata itu pelan, lalu menghela napas. “Sejujurnya, Tuan, opsi kita terbatas. Para pemegang saham yang masih setia pada Tuan tidak cukup kuat untuk melawan arus. Jika kita ingin investor besar, maka harus ada seseorang yang benar-benar berani menaruh uangnya pada kita, bukan hanya mencari keuntungan jangka pendek.”
Ziyo bersandar pada sandaran kursinya, kedua lengannya terlipat di depan dada. Ia tampak berpikir keras.
“Berapa yang kita butuhkan?” tanyanya akhirnya, suaranya tenang meskipun ada ketegangan yang sulit disembunyikan.
Prastyo melirik sekilas ke arah Hania, yang sejak tadi hanya diam mendengarkan. Wanita itu tetap mempertahankan ekspresi netralnya, seolah tidak terlalu memahami urgensi situasi ini.
Dengan suara mantap, Prastyo menjawab, “Minimal seratus triliun. Jumlah ini cukup untuk menjaga stabilitas perusahaan, mengamankan proyek besar yang bisa meningkatkan valuasi perusahaan, sekaligus memperkuat posisi Anda agar tidak bisa digulingkan.”
Ruangan itu kembali sunyi.
Ziyo tidak langsung merespons. Jemarinya perlahan mengeratkan genggamannya pada sandaran kursi roda. “Seratus triliun… Itu jumlah yang tidak kecil.”
Prastyo mengangguk. “Tapi dengan jumlah itu, kita bisa menutup beban keuangan jangka pendek, memperkuat struktur kepemilikan, dan memberi ruang bagi kita untuk mencari solusi jangka panjang tanpa tekanan dari pihak luar.”
Hania menundukkan kepalanya sedikit, pura-pura terkejut dengan angka yang disebutkan. Padahal, dalam hati, ia sudah memperhitungkan semuanya dengan matang.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
Hania pergi ziyo ada yg hilang walaupun tidak bs melihat wajah hania ziyo bs merasakan ketulusan hania walaupun ada yg disembunyikan hania....
Dalang utama adalah diva ingin mencelakai ziyo dan pura2 baik didepan ziyo bermuka dua diva ingin menguasai perusahaan.....
Dasar ibu diva hanya mementingkan diri dan tidak mementingkan kebahagiaan Zian..
Diva tidak akan tinggal diam pasti akan mencelakai ziyo lagi....
bagus hania bantu ziyo sembuh dan pulih lagi musuh msh mengincar ziyo....