Gita terjatuh saat merenovasi balkon bangunan yang menjadi tempatnya bersekolah saat SMA.
Saat terbangun, ia berada di UKS dan berada dalam tubuhnya yang masih berusia remaja, di 20 tahun yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Verlit Ivana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesan Tersembunyi
Gita yang merasa pening, mengintip ke arah sumber suara. Ia mendapati Gio tampak mengamati seisi ruangan, lalu melemparkan pandangan pada dirinya dan Karen bergantian.
Gio menilai situasi. Ternyata situasinya lebih aman dari bayangan saya. Hah, sepertinya saya jadi terlalu impulsif hanya gara-gara Gita, eh?
Oh tidak ... tidak. Ini pasti gara-gara rasa tanggung jawab saya untuk menjaga kedamaian sekolah sebagai ketua OSIS. Ya, pasti karena itu.
Ketua OSIS penuh dedikasi itu mengela napas lega saat melihat semuanya terkendali. Lelaki tinggi itu mengeluarkan sapu tangan warna navy, kemudian mengelap keringatnya yang bercucuran, akibat berlarian ke sana ke mari mencari Gita.
Lalu ia pun memasuki ruangan dan menghampiri Gita yang masih menahan sakit kepala.
"Saya dapet laporan kalau Kamu akan bertengkar dengan Karen. Tapi sepertinya keliru," ujar Gio.
"Tapi apakah Kamu ... baik-baik aja?" tanya Gio meihat Gita yang agak pucat.
Gita mengangguk, "Iya. Santai aja. Ini si Yuli ngadu ke lo atau gimana?" tanyanya.
"Enggak, bukan Yuli yang kasih info. Tapi, kalau soal keberadaan Kamu di sini, memang Yuli yang kasih tau," jawab Gio, masih menatap khawatir pada Gita.
Karen mendengus, melihat pemandangan di depannya. Ia merasa lebih ringan. Hatinya terasa lega, sekaligus hampa.
Kemarahan yang selama ini memenuhi benaknya sudah meluap ke luar. Kini, ruang tak kasat mata dalam dadanya itu seakan berongga.
"Gue udah mengatakan apa yang harus gue ungkapkan. Semoga Lo paham kalau semua yang Lo alami ini pun ada andil dari tindakan Lo sendiri," tukas Karen seraya berdiri.
Gita terkekeh. Tetep aja sekali pun kecewa, gak dibenarkan buat nge-bully gue, bocah! Hah! Dasar abege labil!
Tapi gue masih pensaran soal lukisan yang gue kasih ke Gio. Gue rasa Karen bukan membahas lukisan itu karena cemburu.
Bahkan yang gue lihat, dia gak tertarik sama Gio, fokus Karen cuma pada gue dan luk—
"Gita!" seru Yuli seraya memasuki ruang kelas dengan tergopoh-gopoh.
Napas gadis berkulit tan terang itu tampak terengah-engah, namun langsung memeriksa kondisi Gita. "Lo gak apa-apa kan? Atau dia yang kenapa-napa?" tunjuknya ke arah Karen yang sudah berjalan ke luar kelas.
"Tenang Yuli, saya rasa tidak ada yang berkelahi di sini," ujar Gio yang merasa capek melihat kehebohan Yuli.
Yuli menghela napas lega, lalu duduk di sebelah Gita. "Gila! Capek banget gue, ngikutin Lo dan Karen sambil ngumpet. Udah kayak ninja aja. Eh ternyata Gio juga nyariin lo, kok bisa sih? Hati kalian udah terhubung ya? Ciyeee...."
Gio memutar bola matanya jengah. Sedangkan Gita hanya terkekeh. Namun matanya masih mengawasi Karen yang sudah berjalan di koridor luar kelas itu.
Gita mengatur kembali napasnya, meredakan sakit kepala yang tadi menyerangnya secara tiba-tiba. Lalu menoleh pada Yuli dan Gio bergantian.
"Ada yang mau gue bahas sama lo berdua, soal sketsa dan lukisan yang gue kasih ke Gio," tutur Gita.
"Lukisan itu, bukannya udah Kamu ambil dari saya waktu di ruang OSIS?" Gio kemudian duduk bersandar di kursi yang tadi digunakan Karen, lalu menyilangkan tangannya di depan dada.
"Bukannya masih ada satu lagi yang tersimpan di Lo?" selidik Gita.
Gio terlihat mengingat-ingat. "Oh, apa ... maksud Kamu sketsa wajah saya yang pernah dipajang di mading?"
Gita mengangguk dan Yuli menyimak sambil senyum-senyum, ia melihat interaksi Gita dan Gio, yang tampak manis di matanya.
Mata Yuli berbinar. Mereka ngomongin bukti perasan Gita tapi kayak bahas soal ujian, pemandangan romantis yang aneh, tapi gue suka. Eh tunggu-.
"Gio, kok Lo tau kalau itu buatan Gita?" tanya Yuli dengan senyum penuh arti.
"Iya, karena gaya sketsanya Gita banget, karena saya sudah sering liat dia bikin sketsa waktu di kelas satu," tutur Gio.
"Tapi sebenarnya, saya menangkap ada maksud lain dari sketsa itu. Sepertinya sketsa itu bukan ditujukan buat saya, apa benar?" tanya Gio melirik Gita.
Yuli mendadak bingung dan menoleh pada Gita, meminta penjelasan.
Gita mengangguk. "Gue sama Gio sekelas waktu kelas satu, dan tebakan Gio tadi itu benar," jawabnya singkat pada Yuli.
Ingatan yang datang perlahan tadi mulai tersusun, saat mengerjakan sketsa itu, Gita sebenarnya memang bermaksud memberi tahu sesuatu pada orang-orang, yang ia samarkan dalam sketsa wajah Gio.
"Gue mau kasih tau ke orang-orang, kalau Denting diserang," tukas Gita, "tapi enggak ada yang nangkep, padahal gue tulis dengan jelas."
"Tulisan? Lo nulis di mana?" tanya Yuli penasaran, "Seinget gue gak ada tulisan, cuma gambar doang."
Sedangkan hati Gio gentar mendengar orang yang ia kenal mengalami penyerangan. Penyerangan? Di sekolah ini? Bagaimana bisa? Terlebih itu menimpa ... dia.
"Gue tulis di kacamata Gio," jawab Gita sambil mengayun-ayunkan kakinya.
Gio terperangah. Kemudian mencoba mengingat-ingat sketsa yang ia simpan itu. Di sketsa itu saya pakai baju ala-ala film matrix, terus kacamatanya itu—
Gio meraih ponsel, dan menghubungi nomor telepon di rumahnya.Tak lama, panggilan pun terhubung, dengan suara bibik pengurus rumah yang menjawabnya.
Lelaki itu berdiri, berjalan ke arah pintu dan memberi instruksi pada bibik untuk memeriksa meja belajarnya.
Lalu usai mendengarkan dengan seksama, kemudian Gio menutup sambungan telepon itu dan menoleh pada Gita seraya terkekeh, membuat Gita dan Yuli saling tatap heran.
"Gita ... Gita, Kamu nulis di gambar itu pake kode morse," ujar Gio. Gita bikin tulisan itu seolah hanya garis arsiran.
Gita menaikkan alis. "Iya emang? Ah iya bener. Wah pinter ya gue." Gita berdecak kagum akan kinerja otak remajanya.
"Ya tapi ga solutif juga, buktinya orang sepinter Gio aja baru ngeh sekarang," ujar Yuli.
Gita kini menyadari kepolosannya sendiri yang mengira orang-orang langsung bisa paham maksudnya yang tersembunyi. Kayaknya gue kebanyakan baca komik detektif.
"Tapi ... kenapa harus sketsa wajah saya, ya?" tanya Gio.
"Soalnya waktu itu gue lagi naksir Lo," jawab Gita, yang langsung menepuk keningnya sendiri, sedangkan Yuli berseru heboh dan Gio salah tingkah.
"Mak-maksud gue, karena wajah Gio itu unik dan menarik jadi objek gambar," ujar Gita menutupi semburat merah di wajahnya. Ish gue kok pake blushing dan gagap gini. Inget Gita, jangan terbawa perasaan diri lo yang masih abege.
"Bilang aja Gio ganteng dan lo teringat-ingat terus sama wajah dia. Pake ngeles segala," goda Yuli yang mulai menepuki bahu Gita dengan gemas.
Gio berdehem. Ia merasa harus segera mengalihkan pembicaraan.
"Kalau urusannya sudah tuntas, ayo kembali ke kelas masing-masing," titah Gio.
"Dan jangan lupa rencana kita pulang sekolah nanti." Gio mengingatkan seraya melangkah ke luar kelas.
Gita setuju dan melompat turun dari meja, dan Yuli mengikutinya dengan malas. Gagal sudah rencana Yuli untuk bolos.
Gita berjalan di belakang Gio. Lukisan yang gue buat Gio, masih ada yang mengganjal tentang itu.
Karen mungkin kesal karena gue malah melukis untuk cowok yang gue suka setelah melewatkan lomba penting.
Tapi apa masih ada hal lain tentang lukisan itu yang belum berhasil gue ingat kembali?
***