Rumah?
Ayra tidak memiliki rumah untuk benar-benar pulang. Rumah yang seharusnya menjadi pelukan hangat justru terasa seperti dinding-dinding dingin yang membelenggunya. Tempat yang semestinya menjadi surga perlindungan malah berubah menjadi neraka sunyi yang mengikis jiwanya.
Siapa sangka, rumah yang katanya tempat terbaik untuk pulang, justru menjadi penjara tanpa jeruji, tempat di mana harapan perlahan sekarat.
Nyatanya, rumah tidak selalu menjadi tempat ternyaman. Kadang, ia lebih mirip badai yang mencabik-cabik hati tanpa belas kasihan.
Ayra harus menanggung luka batin yang menganga, mentalnya hancur seperti kaca yang dihempas ke lantai, dan fisiknya terkikis habis, seakan angin menggempurnya tanpa ampun. Baginya, rumah bukan lagi tempat berteduh, melainkan medan perang di mana keadilan tak pernah berpihak, dan rumah adalah tangan tak terlihat yang paling kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ADA APA DENGAN SYAN?
Ayra Avery Calantha adalah anak kandung Syan dan Vynessa, anak yang kelahirannya tidak pernah dianggap oleh keluarganya. Ayra tumbuh tanpa peran penting dari kedua orang tuanya, ia hanya memiliki seorang kakek yang telah merawatnya dari kecil hingga umur enam tahun.
Penderitaannya di mulai sejak neneknya meninggal, semua keluarga menyalahkannya atas musibah itu. Puncak penderitaannya pada saat sang kakek ikut pergi meninggalkan dirinya sendiri di tengah-tengah keluarga yang membencinya.
Tatapan penuh kebencian adalah pemandangan yang setiap hari Ayra lihat di mata semua keluarganya saat memandangnya, selama delapan belas tahu akhirnya dia tahu alasan dibalik keluarganya sangat membencinya.
Tetapi, ini juga bukan salah sepenuhnya kan? Dia hanya anak kecil yang baru saja lahir keduania, mengapa harus disalahkan?
Ayra seperti biasa membereskan segala pekerjaan di rumah seorang diri.
“Habis ini nyiapin sarapan, tapi sebelum itu jemur pakaian dulu.”
Ayra baru saja selesai mengepel lantai satu ruamhnya yang sangat luas dengan banyaknya ruangan, disaat yang lainnya masih menikmati udara pagi yang sejuk di bawah hangatnya selimut tebal, dia malah harus bangun sebelum ayam berkokok.
“Jam enam lewat empat puluh menit? Aku masih punya waktu buat jemur dulu semua pakaian ini.”
Kakeknya sering mengatakan kepada dirinya. “Cintai pekerjaan itu, maka pekerjaan itu akan lebih terasa jauh lebih ringan. Hati mu juga akan merasa senang melakukannya tanpa ada paksaan, lakukan dengan perasaan senang.”
Tubuhnya yang kecil dengan balutan seragam sekolah, membawa setumpuk pakaian itu dengan sedikit kesulitan.
“Kok, jadi makin berat si?”
&&&
“Kemana anak itu?”
Agista menatap sekeliling ruangan ini, mencari keberadaan Ayra yang tak kunjung dia lihat. Agista menatap dapur yang sepertinya masih belum di sentu, begitu juga dengan meja makan yang masih kosong denga apapun.
“Anak sialan! Pasti dia sengaja bangun kesiangan hingga tak membuat sarapan pagi,” omelnya menatap lorong menuju kamar Ayra.
Dengan langkah cepat, wanita tua itu menuju kamar Ayra. Saat sampai, pintu kamar Ayra terbuka dengan lebar tanpa ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya.
“Kemana dia?”
Agista kembali pergi, tujuannya adalah ruang utama. Sepertinya semua penghuni rumah sudah bangun, tetapi sumber emosinya di pagi-pagi ini masih belum tampak hilalnya.
“Kenapa ma?” Tanya Syan. Pria itu terlihat sudah rapi dengan setelan kerjanya.
Agista duduk dengan wajah kesalnya. “Apa anak itu sering seperti ini?” Tanyanya tanpa menjawab Syan.
Syan mengangkat satu alisnya. “Maksud mama apa?”
“Cih, anak pembunuh itu. Apa anak itu sering kesiangan menyiapkan sarapan untuk kalian? Sudah jam tuju kok masih belum ada apa-apa di meja makan,” omelnya.
Syan melihat sekelilingnya, ruangan ini sudah bersih begitu juga dengan ruangan lainnya. Itu berarti Ayra sudah membersihkannya, tetapi jika pekerjaan ini sudah selesai, kemana anak itu?
“Mama sudah mengecek ke kamarnya?” Syan bangkit.
“Sudah, tapi anak itu tidak ada.” Agista terlihat masih kesal.
Syan pergi tanpa kata, tujuannya hanya satu. Yaitu rooftop rumahnya, langkahnya semakin cepat menaiki anak tangga satu persatu.
&&&
“Kenapa juga pakai jatuh segala si jemurannya? Kan harus kerja dua kali lagi.”
Wajah itu terlihat kesal, mengembungkan pipinya yang tembem karena kesal oleh jemuran yang malah tumbang tanpa memberinya aba-aba. Pakaian yang sudah selesai dijemur itu terjun sia-sia, lalu membuatnya harus membilas kembali.
“Untung aja kerannya udah dibenarin, kalau ngak harus turun lagi buat bilas semuanya.”
Gadis itu terlihat sangat cantik saat sedang mengomel, wajahnya sedikit merah, keringat kecil yang menghiasi keningnya. Bahkan seragam sekolahnya sudah tidak rapi lagi.
“Nah, selesai juga.”
BRAK!
“Astaga, kaget!”
“Oh, a-yah.”
Syan menendang pintu dengan keras, benarnya. Orang yang Agista cari ada di sini, tatapan tajam dan dingin Syan menatap sekitarnya. Hingga tatapannya jatuh pada keran air yang masih mengalir dengan baskom yang menjadi wadahnya.
“Apa kamu mencuci pakain itu di sini?” Tanya Syan dengan pelan. Tatapannya mulai menusuk Ayra.
Ayra menggeleng, menunduk takut saat Syan perlahan mendekat. “T-idak ayah, a-ku tidak mencuci di s-,”
Plak!
Syan menampar wajah Ayra sebelah kanan dengan cepat dan tentunya keras. “Apa kamu sengaja mencuci semua pakaian itu di sini, hingga membuat mama saya mencari mu?”
Ayra menggeleng kembali. “Ti-da-k a-y-ah,” jawabnya dengan suara bergetar.
Plak!
“Apa kamu sengaja membuang waktu sampai lupa menyiapkan sarapan untuk kami?” Syan melipat lengan kemejanya hingga batas sikunya.
Ayra lagi-lagi menggeleng pelan. “T-idak a-yah, a-ku tidak sengaja. T-adi jemurannya jatuh dan ak-,”
Plak!
Syan menarik lengan kiri Ayra, adegan selanjutnya Syan memaksa tubuh Ayra untuk duduk dan kemudian Syan kembali menekan kepala Ayra ke ember yang berisikan bekas bilasan pakaian.
Ayra berusaha menahan kepalanya yang ditekan oleh Syan dengan kedua tangan masing-masing menahan tubuhnya walau itu semua sia-sia.
“A-yah, maaf ayah. Jangan-,”
Syan semakin menekan kuat kepala Ayra, tidak perduli permohonan anaknya. Pria itu benar-benar tega, menyiksa putrinya dengan kejam.
“Mati saja kamu sialan!”
Syan menarik rambut Ayra, melihat Ayra yang menghirup udara dengan rakus. Bahkan seragam anaknya itu sudah basah, dengan keras Syan mendorong kuat tubuh Ayra hingga terjatuh dengan keras.
“Turun, lalu siapkan sarapan.”
Syan hendak meraih gagang pintu rooftop itu, tetapi terhenti dan kembali bekata tanpa melihat Ayra. “Dengan kamu mengikuti olimpiade tingkat nasional, bahkan mendapatkan posisi pertama. Sama sekali tidak membuat saya terkesan,” ucapnya.
“Bagi saya, kamu hanya anak pembunuh yang saya tampung di rumah ini.”
&&&
Ayra berjalan dengan tatapan kosong, tamparan Syan masih meninggalkan bekas pada kedua pipinya yang putih namun sekarang terlihat merah.
Ayra bahkan tidak menyadari bus yang biasa ditumpanginya untuk ke sekolah beberapa menit lalu telah berangkat, dia masih betah duduk di halte bus itu. Gadis cantik dengan wajah murung itu masih memikirkan ucapan Syan, ayahnya tetap membencinya.
Ayra memang pintar dan cerdas, kepintarannya itu menurun dari Vynessan tentunya. Very, sang kakek juga selalu mengajarinya banyak hal hingga dia bisa memiliki kecerdasan ini.
“Padahal aku sama sekali tidak memikirkan membuat ayah terkesan dengan aku ikut lomba kemarin.”
Dengan tinggi 155 cm, kedua kakinya mengayun bebas. Orang-orang yang memiliki kaki panjang sepertinya akan merasa iri pada gadis itu.
“Ayah benar-benar membenci aku,” lirihnya. Kepalanya tertunduk dalam, melihat kedua kakinya dengan mata berkaca-kaca. “Andai kakek ada di sini, se tidaknya aku punya tempat berlindung dan menceritakan semuanya.”
“Kakek memang selalu bersamamu nak.”
Ayra segera mengangkat wajahnya, pemilik suara itu berhasil membuatnya terpaku di tempatnya. Raut wajah keget milik gadis itu tergantikan dengan raut wajah haru dengan kedua mata menahan bulir bening yang siap terjun bebas.
“Kenapa menangis sayang? Siapa yang berani menyakiti cucu kakek ini? Hum?”
Benarkah Very kembali ke dunia ini? Apakah ini hanya hayalan Ayra saja karena merindukan kakeknya? Apakah ini mimpi? Apa ini hanya halusinasinya? Ayra rasa ini nyata.
Bibir kecil itu tersenyum getir. “K-ka-k-ek d-i s-i-n-i?”
Very tersenyum, membuka lebar kedua tangannya meminta Ayra untuk segera memeluknya. Tanpa membuang waktu lama, gadis itu segera berhambur ke dalam dekapan hangat yang telah lama ia tidak rasakan lagi.
SEPERTINYA AYRA SEDANG BERHALUSINASI ATAU ANAK ITU BENAR-BENAR SANGAT MERINDUKAN SANG KAKEK.
MALANGNYA.
SEPERTI BIASA TINGGALKAN JEJAK 👣 KALIAN DAN TERIMAKASIH KARENA TELAH MAMPIR😗😗
FOLLOW JUGA AKUN INSTAGRAM AUTHOR @rosssss
SEE YOU DI PART SELANJUTNYA👋👋👋
thor . . bantu dukung karya chat story ku ya " PUTRI KESAYANGAN RAJA MAFIA "