HALIM
Di dunia yang dikuasai oleh kegelapan, Raja Iblis dan sepuluh jenderalnya telah lama menjadi ancaman bagi umat manusia. Banyak pahlawan telah mencoba menantang mereka, tetapi tidak ada yang pernah kembali untuk menceritakan kisahnya.
Namun, Halim bukanlah pahlawan biasa. Ia adalah seorang jenius dengan pemikiran kritis yang tajam, kreativitas tanpa batas, dan… kebiasaan ceroboh yang sering kali membuatnya berada dalam masalah. Dengan tekad baja, ia memulai perjalanan berbahaya untuk menantang sang Raja Iblis dan kesepuluh jenderalnya, berbekal kecerdikan serta sistem sihir yang hanya sedikit orang yang bisa pahami.
Di sepanjang petualangannya, Halim akan bertemu dengan berbagai ras, menghadapi rintangan aneh yang menguji logikanya, dan terlibat dalam situasi absurd yang membuatnya bertanya-tanya apakah ia benar-benar sedang menjalankan misi penyelamatan dunia atau justru menjadi bagian dari kekacauan itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ILBERGA214, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 31: Jejak Kegelapan yang Mengintai
Langit malam masih diselimuti kabut tipis, dan di kejauhan, kilatan merah samar-samar menyala. Halim berdiri tegap di depan rumah tempat Luna beristirahat, sorot matanya dipenuhi tekad.
"Kak, itu pasti dari arah hutan barat!" Rian menunjuk dengan cemas. "Apa menurut Kakak... serigala iblis lainnya muncul lagi?"
Halim mengepalkan tangan, pikirannya berputar. "Kemungkinannya besar. Kita nggak bisa nunggu lebih lama lagi."
Luna yang duduk di tepi ranjang menatap Halim dengan khawatir. Meski tubuhnya masih lemah, dia tahu bahaya yang mengintai semakin dekat.
"Halim..." suaranya pelan, hampir seperti bisikan. "Hati-hati. Jika itu benar-benar serigala iblis, kemungkinan besar mereka sudah terhubung dengan sesuatu yang lebih besar."
Halim mengangguk. "Aku ngerti. Terima kasih, Luna."
Tanpa membuang waktu, Halim menarik tangan Rian, mengajaknya bergegas keluar menuju arah sumber cahaya merah yang terus berkedip di langit malam.
Perjalanan menuju hutan barat terasa menegangkan. Pepohonan yang menjulang tinggi menciptakan bayangan-bayangan gelap, seolah mengawasi setiap langkah mereka.
"Jadi... Kakak yakin kita bakal baik-baik aja?" Rian bertanya dengan nada ragu.
"Yakin," jawab Halim mantap. "Tapi kita harus tetap waspada. Kali ini nggak ada yang tahu seberapa kuat musuh kita."
Di sepanjang perjalanan, suara gemerisik dedaunan terus terdengar, membuat suasana semakin mencekam. Namun Halim tetap fokus, pandangannya tajam menelusuri setiap sudut gelap di antara pepohonan.
Setelah hampir satu jam berjalan, mereka tiba di sebuah tanah lapang yang dipenuhi bekas pertempuran. Pohon-pohon tumbang, tanah terbelah, dan aroma darah tercium di udara.
"Kak, lihat itu!" Rian menunjuk ke arah beberapa tubuh yang tergeletak di tanah. Mereka adalah para petualang yang sebelumnya mereka lihat kabur dari serigala iblis.
Halim mendekat dengan hati-hati, memeriksa salah satu tubuh yang masih hangat. Wajah pria itu penuh luka cakaran, matanya terbuka lebar dengan ekspresi ketakutan yang masih membekas.
"Mereka nggak selamat..." gumam Halim.
"Tapi kenapa? Bukannya mereka berhasil kabur?" Rian bergidik ngeri.
"Sesuatu mengejar mereka," jawab Halim. "Dan itu bukan cuma serigala iblis."
Jejak kaki besar berlumuran darah terlihat di tanah, melingkari area tersebut. Namun ada sesuatu yang aneh — jejak itu terlihat semakin dalam, seolah makhluk yang melangkah semakin berat.
"Kita harus terus maju," kata Halim tegas. "Kalau kita bisa menemukan sumber kekuatan ini, mungkin kita bisa menghentikannya."
Semakin jauh mereka berjalan, kabut di sekitar semakin pekat. Suara-suara aneh terdengar samar di kejauhan, seperti bisikan yang memanggil-manggil.
Rian meneguk ludah. "Kak... aku ngerasa nggak enak."
"Aku juga," jawab Halim pelan. "Tapi kita nggak bisa mundur sekarang."
Tiba-tiba, sosok bayangan melintas cepat di antara pepohonan.
"Apa itu?!" Rian terlonjak, mundur beberapa langkah.
Halim mencabut pedangnya, siap siaga. "Siap-siap, Rian. Kita nggak sendirian di sini."
Dari balik kabut, perlahan muncul sosok bertudung hitam. Auranya memancarkan energi gelap yang begitu menekan, membuat Rian merasa sesak.
"Kalian terlalu berani untuk datang sejauh ini," suara sosok itu bergema, dingin dan penuh ancaman.
"Siapa kau?" tanya Halim tegas.
Sosok itu tertawa kecil, suaranya menggema seperti bisikan yang menghantui. "Aku hanyalah seorang penjaga. Tapi... sepertinya kau jauh lebih menarik daripada yang kuduga."
Tanpa peringatan, bayangan itu melesat cepat ke arah Halim.
Halim menangkis serangan itu dengan pedangnya, percikan api memancar saat logam bertemu logam. Sosok bertudung hitam terus menyerang dengan gerakan cepat dan mematikan.
"Kak, awas!" Rian berteriak.
Halim menghindar dengan sigap, lalu membalas dengan tebasan cepat. Namun sosok itu melompat mundur, menghilang sejenak di balik kabut.
"Tch... cepat banget," Halim menggeram.
"Fireball!"
Bola api melesat dari tangan Halim, menerangi kabut yang pekat. Namun serangan itu hanya menghantam udara kosong.
"Di mana dia?!" Rian mencari-cari dengan panik.
"Di atas!" Halim mendongak, namun terlambat. Sosok itu melayang di udara, menghunuskan belati hitam ke arahnya.
Clang!
Dengan kekuatan penuh, Halim menangkis serangan itu lagi. Kali ini, dorongan energi dari serangan tersebut membuatnya terdorong ke belakang.
"Kamu kuat," suara sosok itu bergema. "Tapi sekuat apapun kamu... kegelapan tetap akan menang."
Namun, sebelum sosok itu kembali menyerang, tiba-tiba dia berhenti. Matanya menyipit, seolah merasakan sesuatu.
"Tch... sepertinya waktuku habis."
Dia berbalik, dan dalam sekejap, tubuhnya memudar bersama kabut.
"Dia pergi?" Rian masih terengah-engah.
"Untuk sekarang, iya," jawab Halim, menyarungkan pedangnya. "Tapi aku yakin dia bakal balik lagi."
Halim memandang ke arah jejak yang ditinggalkan sosok bertudung itu. Energi gelap yang tersisa masih terasa di udara, membuat bulu kuduk Rian berdiri.
"Kita nggak bisa berhenti di sini," kata Halim. "Kalau mereka beneran mencoba ngebangkitin sesuatu, kita harus menghentikannya sebelum terlambat."
Rian menggigit bibirnya, lalu mengangguk dengan tekad bulat.
"Kalau gitu, aku bakal ikut Kakak. Apapun yang terjadi."
Dengan langkah yang mantap, mereka berdua kembali melangkah ke dalam gelapnya hutan. Namun kali ini, mereka lebih siap. Apapun yang menanti di depan, Halim bersumpah untuk melindungi adiknya — dan dunia yang mulai diselimuti kegelapan.
sekarang semakin banyak yang mengedit dengan chat GPT tanpa revisi membuat tulisan kurang hidup. saya tahu karena saya juga pakai 2 jam sehari untuk belajar menulis. Saya sangat afal dengan pola tulisan AI yang sering pakai majas-majas 'seolah' di akhir kalimat secara berlebihan dengan struktur khas yang rapih.
ya saya harap bisa diedit agar lebih natural.
Udah baca eps 1 ini, ceritanya lumayan menarik. Kapan² gue kesini lagi ya kalau ada waktu, Semangat.